Hari
sabtu itu harinya musisi. Boleh lah istilah itu kita setujui, hari
sabtu kan memang biasa digelar berbagai event apresiasi seni (musik
khususnya). Menghadiri sebuah pagelaran musik, tentu menjadi hal yang
sangat penting. Apalagi tujuannya kalau bukan mengapresiasi, berekspresi
dan terinspirasi buat bikin karya yang lebih kreatif. Untuk menjaga
siklus kreatifitas itu terus bergulir, saya cukup aktif memburu berbagai
panggung, bahkan untuk beberapa event, saya dan Fan rela
bolak-balik Bogor-Bandung. Betul, bolak-balik Bogor-Bandung bukan
berarti ga cinta gig lokal, tapi di Bogor setau saya kok jarang ya ada
acara beginian, ya jadinya Bandung pun diladeni. Tapi sekarang (bahkan
mungkin sejak dulu. cuma gue aja yang baru ngeh :p) Bogor udah punya
acara rutinan, diantaranya ada Bogor Rendezvous yang rutin dibuka tiap 2 minggu di O-Lounge, ada juga MKKK yang diadakan di Cafe Kebun Kita, dll.
Sabtu ketiga di bulan April 2011, Bogor kedatangan tamu spesial. Sebuah band legendaris asal ibu kota tampil di kota hujan. Ya, mereka adalah Naif. Kuartet pria yang bermusik sejak 1994 itu tampil dalam event A Mild As You Like It. Saya berkesempatan menyaksikan aksi mereka, bahkan mengikuti sesi check sound-nya, bahkan ngobrol sama David, bahkan makan pecel lele bareng Jarwo. Beneran, Fajar Enda Taruna si gitaris gondrong yang kharismatik itu, makan pecel bersama saya. Ga percaya? Kalau begitu saya ceritakan kronologi kejadiannya yah. Mari simak!
Foto-foto diatas saya ambil saat Naif melakukan check sound. Jadi begini ceritanya. Saya hadir ke Braja Mustika sekitar jam setengah 5, karena saya kira batas akhir penukaran undangan sampai pukul 6 sore. Ternyata di meja registrasi belum ada petugas, tapi musik Naif sudah mengalun dari balik tirai. Saya lalu menuju pintu masuk. Melalui pintu masuk saya lihat Naif memang sedang berada di atas panggung, tapi tidak ada keramaian penonton, hanya bantal-bantal bisu (halah) yang menemani kru dan keluarga para personil yang akan berpentas. Tanpa saya duga, seseorang menyuruh masuk. Mungkin dia kira saya salah satu kru Naif juga. Akhirnya saya masuk, keluarkan kamera, dan tembak. Usai sesi check sound, saya menghampiri David Bayu Danang Jaya, sang biduan yang aduhai saya jujur suaranya bagus dan khas. Di pintu keluar saya mewawancara beliau. Topiknya cukup banyak, mulai dari korelasi lingkungan kampus terhadap bakat musikal mahasiswa, hingga tips untuk para musisi kampus pertanian agar total dalam bermusik. Rekaman pembicaraan kami bisa Kamu cek disini , atau unduh disini.
Setelah David pergi makan, saya juga mau makan. Sejak menuju perjalanan ke arena konser, sebuah kedai pecel saya tandai, "nanti kamulah yang akan jadi tempat saya mengisi amunisi". Saya lalu masuk kesana, duduk di kursi di seberang seorang pria bertopi berbaju hitam. Saya perhatikan wajah sang pria, dia menengok lalu buang muka. Saya terus tatap dia, lalu dia balik melihat saya. "Mas Jarwo?" saya beranikan diri menebak. Pria itu lalu angkat alis. Aha, berarti dia benar-benar Mr. J. Tanpa pikir panjang, saya dekatkan posisi duduk, menjabat tangannya, mengeluarkan ponsel, menekan tombol record. Mulai!
Selalu menyenangkan berdiskusi dengan orang-orang yang ada di luar kotak. Demikianlah alasan saya rajin merekam percakapan dengan mereka. Obrolan dengan Jarwo berlangsung selama sekitar setengah jam, namun hanya sekitar 18 menit yang berhasil direkam. Skripsinya di IKJ, kesannya terhadap IPB, rutinitas hariannya adalah beberapa topik bahasan kami. Saya ceritakan beberapa OK. Jarwo adalah seorang musisi yang total dalam berkarya. Pembicaraan kami diawali dengan pandangan gitaris bernama asli Fajar Enda Taruna itu bahwa bermusik itu modal utamanya adalah berani beda, kreatif dan PD. "Jangan bikin hal yang pernah ada," begitu katanya. Berani menunjukkan karya juga pelajaran yang perlu dicontoh dari abang ini. Saya jadi ingat kisah Van Gogh yang lukisannya ternyata baru menjadi tren setelah dia meninggal. Bayangkan bagaimana jadinya jika saat ia masih ada, lukisannya menjadi ekor aliran yang menjadi kiblat sesaat, tentunya aliran pasca-impresionisme (menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Vincent_van_Gogh ) belum tentu menjadi tenar.
Skripsi Jarwo di IKJ adalah tentang rumah pintar. Meski hidup dalam ceruk musik, gitaris yang kini fokus pada aktifitas sebagai musisi itu ternyata jebolan desain interior. Rumah pintar yang menjadi topik kajiannya saat itu belum banyak yang mengaplikasikan. "Cuma Bill Gates saat itu yang pake (rumah pintar)," tutur bung Fajar. Rumah pintar yang dimaksud adalah rumah yang memiliki set otomatis dalam menjalankan fungsinya. "Baru nyampe beberapa meter, pintu udah kebuka," papar Jarwo meyakinkan. Dari topik teknologi rumah pintar, isu lain juga akhirnya kami senggol, dari pendidikan, lingkungan hingga hukum, kasus Antasari Azhar diantaranya. Seru ngobrol sama Jarwo.
"Apa kesan pertama setelah denger kata IPB?" saya tembak dia tanpa basa-basi. Setelah cukup lama bergeming, mulutnya mulai terbuka. Dia malah balik bertanya, "IPB kampus umum kan?" Dari pemaparannya, saya menyimpulkan bahwa ternyata kampus pertanian itu masih terkesan kampus yang masih banyak memiliki pembatasan. "Padahal harusnya kampus tu dibebasin aja," usul Jarwo. Topik terakhir ini juga relevan dengan isu yang ramai dibahas dalam forum internal mahasiswa IPB, salah satunya tentang jam malam. Muhammad Fikri, seorang musisi yang juga berprofesi sebagai mahasiswa (semoga yang bersangkutan tidak keberatan saya sebut demikian.hehe) berpendapat bahwa intinya pembatasan itu sebenarnya ada dalam diri kita masing-masing. Kalau tidak mau dibatasi, ya bebaskan diri kita dari aturan yang terlalu mengekang.
Kenyang dengan pecel lele dan obrolan, saya dan Budi melaju ke arena pesta. Menurut Jarwo, Naif akan tampil sekitar jam 9. Benar saja, kuartet nabi retro itu baru naik panggung sekitar jam itu. Selama menunggu acara dimulai, saya dan Budi menikmati hidangan gratis yang disediakan. Betul pemirsa, ada berbagai menu nikmat dan semuanya gratis dimakan sepuasnya. "Pecel lele? Sudah lupa tuh, ayo Bud serbu," kira-kira begitulah ajakan saya. Hehe.
Setelah menunggu sekian ratus menit, barulah Naif hadir ditengah pengapresiasinya. Berbagai permainan menarik lalu digelar. Melengkapi gambar, menyanyi diiringi Jarwo, hingga memainkan bass Emil khatam dijalani sebelum akhirnya kami masuk ke bilik berikutnya.
Piknik '72 adalah lagu pertama yang disuguhkan Naif. Rangkaian foto di bawah ini saya susun menurut waktu pengambilan gambar. Bayangkan Kamu ada di shaf kedua, duduk bersila dan ikut menyanyi sekeras-kerasnya.
Elvis Presley? Sori ga kenal, saya taunya David Naif :D
Pepeng,
David dan Emil menyimak celotehan penonton. Atmosfir malam itu
benar-benar cair. Konser ini sudah ada di tahap 2.0. Interaktif.
Ini
buktinya, David memberi kesempatan kepada seorang penonton untuk
berfoto dengan Jarwo, David memotretnya dengan kamera polaroid.
Seorang penonton pelontos beruntung mendapatkannya. David lalu mencibir Jarwo, "gondrong-gondrong sukanya yang botak" :D
Dalam formasi itu, Naif memainkan intro lagu Smells Like Teen Spirit milik Nirvana, sayang tidak dilanjutkan
Terakhir, Naif diminta menyanyikan lagu yang sudah diminta sejak awal, Mobil Balap. Simak rekaman penampilannya di bawah ini
Sekitar jam 11 gelaran itu usai, saya langsung pulang kembali menuju Darmaga. Semoga Bogor makin marak dipadati panggung apresiasi. Mari bersulang bagi kedigjayaan apresiasi dan ekspresi seni di Bogor, di Indonesia!
No comments:
Post a Comment