Padahal ekspektasi saya tinggi sama film ini.
Novel Gading-Gading Ganesha sudah terlebih dulu dikenal. Pertama saya
tahu soal buku itu dari adik saya yang memang kuliah di kampus ITB.
Katanya novel 3G itu dibuat film juga. Ketika saya menemukan film Bahwa
Cinta Itu Ada, yang ditambahi embel-embel adaptasi dari 3G, saya
antusias, terlebih ada nama-nama besar dibalik produksi film itu.
Ternyata, sejak durasi awal film saya harus
menurunkan standar kepuasan menikmati karya ini. Ada beberapa adegan
absurd, dialognya yang seakan tidak wajar, dan beberapa blunder kecil
yang menurut saya cukup fatal. Film ini berlatar tahun 1980an, masa udah
ada the used (yang
baru berdiri tahun 2001) di kaos Rizki Hanggono pas dia ngapel? masa
udah ada bukunya robert kiyosaki (yang terbit tahun 2007) di masa
perjuangan di Rizki Hanggono (berarti itu masih 90an awal/80an akhir
kali ya). Ada juga adegan yg menunjukkan seorang mahasiswa pakai kaos silverchair (band yang berdiri sejak 1992). Gaul sekali.
Yang saya suka
dari film ini adalah pesan dari tiap tokoh yang mengajarkan kebanggaan
identitas lokal. Biasanya, seorang anak daerah justru malu memiliki
logat daerah asalnya, lantas bangga ber-"gue-elo".
Kalau
dibandingkan sama film lain berlatar kehidupan kampus (jomblo
misalnya), film ini sebenarnya masih kalah. Tapi setidaknya dengan
menonton ini, kita bisa tau film hasil kolaborasi nama besar semacam
dalang serba bisa sudjiwo tedjo (director), musisi vicky sianipar
(penata musik), politisi hatta radjasa (produser eksekutif), dll.
Teks oleh Rheza Ardiansyah
No comments:
Post a Comment