Foto oleh Rheza Ardiansyah diambil dari sini
Seperti pertama kali. Biasanya malam tak kebingungan
saat gelap duduk disampingnya. Menjabarkan hening, disela detak-detak yang tak
mampu bising. Aku seperti dimainkan oleh peran, mengakhiri cerita dan memulai
episode berikutnya. Seperti hidup yang memutuskan tali nasib dan berjingkrak
sendiri.
Aku dan perasaan, berdiam bersama. Sebagai sebuah
kisah yang ditelaah oleh detik dan masa. Saat ini, hatiku seolah tengah
dipenjara dengan rapi di balik bui mimpi. Menahan ratusan kata yang berdebat,
bertarung untuk tetap terkurubg. Mungkin kekal hingga ajal. Jeda ini hanya
mampu beriringan dengan dentangan detik jarum jam yang tak bisa diam. Sedang
aku, berjalan bersisian dengan tembok dingin, mendengar tanpa binger, bertahan
buta dengan kata.
Kehidupanku sempat terbunuh oleh hati yang mati
-serupa hati yang mati rasa. Saat sayap-sayap adam melenggang menjadi jubah
hitam. Sampai saat ini, biar saja, aku lelah bertanya kenapa. Tembok-tembok
tegak sekeliling, mengotak-ngotakan mimpi, harapan, cita dan cinta padamu.
Mereka tumbuh dengan sendirinya. Tanpa panggilan, tanpa pondasi. Seperti
isyarat angin untuk hujan, mengarang mendung pada paparan awan.
Mungkin seperti hatiku, yang menutup pintu saat
mendengar namamu.
No comments:
Post a Comment