Mereka menyebut musik ini sebagai musik indie. Ada
yang mengatakan bahwa musik indie kini sudah menjadi sebuah genre musik
tersendiri, sehingga mereka mengurai sebuah sistem alam semesta bernama musik yang
terbagi menjadi beberapa galaksi bernama genre mulai dari pop, rock, jazz,
klasik, blablabla dan lalu munculah genre indie. Album musik indie akan diberi
rating tinggi di berbagai media musik dibandingkan dengan album-album musik
mainstream. Dan orang yang mendengarkan musik indie lebih berkelas dibandingkan
mendengarkan musik mainstream. Lalu apakah anda serius membaca paragraf ini? Baiklah,
sebenarnya saya tidak serius menulis paragraf ini. Hal-hal berbau sok tahu
diatas merupakan hasil pola pikir saya yang merupakan fusi dari naif dan
pragmatis yang sampai sekarang diksi dari percampuran pola pikir tersebut mungkin
belum dapat anda temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sebenarnya alasan saya menulis paragraf di atas
bermula pada saat saya menunggu angkot dalam perjalanan menuju kampus. Suatu
hari saya melihat sekelompok anak berseragam SMA sedang mengamati poster sebuah
pentas seni SMA lain yang akan diselenggarakan beberapa waktu kemudian. Sembari
melihat poster tersebut, salah satu dari kelompok tersebut berkata “Kita dateng
aja yuk, headline nya band indie bro, keren banget”. Menanggapi hal tersebut,
dengan polosnya, siswa lain bertanya “Lah emang lu udah denger band nya kayak
apa?”. “Belom sih bro, tapi kan yang indie-indie itu biasanya bagus dan keren.
Udah gak jamannya kali denger yang mainstream-mainstream-an…”. Penasaran dengan
pernyataan sang siswa tersebut, saya (yang kebetulan saja menguping pembicaraan
mereka) sontak berkata dalam hati, wah bagus sekali sekarang musik indie sudah
menjadi media dikotomi sosial dengan asosiasi yang cukup positif.
Padahal melihat dari sejarahnya, gerakan indie
tidak didesain untuk kondisi demikian. Gerakan independen bermula pada tahun
50an dimana terdapat ketidakpuasan atas perlakuan major label terhadap
kreatifitas musisi pada saat itu, yang memaksa para musisi tersebut untuk
melakukan apa yang ingin mereka lakukan secara DIY. Mereka rentan untuk
dipublikasikan secara masif dan memilih untuk berada di bawah permukaan. Kondisi
yang terjadi pada saat itu kemudian memicu berbagai peristiwa penting pada
skena musik lainnya, yang kemudian memicu peristiwa lain di kemudian hari.
Seperti sebuah efek domino lebih tepatnya. Siapa yang lupa akan pergerakan
Madchester Scene? Siapa yang lupa akan adanya pergerakan grunge? Siapa yang
lupa akan pergerakan shoegaze? Atau yang lebih ekstrim, siapa yang lupa akan
pergerakan punk? Movement tersebut merupakan sebuah bentuk asimilasi
kreatifitas yang muncul akibat eksplorasi selama bertahun-tahun tidak menuruti apa
yang dikehendaki oleh publik. Pemberontak. Ya, mereka adalah pemberontak
nilai-nilai estetika umum yang berlaku di masyarakat. Mereka lebih memilih
untuk menciptakan sesuatu yang baru yang dapat memaksimalkan utilitas dalam
bermusik, suatu cara untuk lebih mengaktualisasikan diri terhadap sesuatu yang
mereka cintai pula terhadap kondisi sosial yang sedang dihadapi. Maka tak
heran, apabila pada jaman baheula terdapat beberapa musisi yang lebih condong
melakukan semuanya dengan cara menyimpang dalam bermusik, memiliki asosiasi
negatif di mata masyarakat pada umumnya. Para musisi tersebut tak pernah merasa
keren dengan mengelola musik secara indie, mereka hanya ingin kebebasan yang
dilandasi etos “untuk apa menunggu apabila dapat menciptakan perubahan sendiri”.
Pergerakan dan kebebasan mungkin adalah tujuan
utama yang ditawarkan dalam membuat musik indie. Namun sepertinya di Indonesia,
gerakan musik indie malah justru dijadikan batu loncatan untuk menuju industri
musik dengan pangsa pasar yang lebih luas. Ya, saya mengerti bahwa sebagai
musisi mereka menginginkan masyarakat untuk mengenal musik dan saya berasumsi
bahwa terdapat penyalahan penyerapan kata “indie” disini. Kata “indie” itu
sendiri datang dengan nilai-nilai khusus yang membentuk kultur. Maka tak heran,
penyalahan penyerapan makna tersebut merembet ke sistem sosial dan terjadilah
disposisi dalam konteks sosial. Bagaimana tidak, sudah menjadi sebuah norma
adaptif Indonesia bahwa pencitraan merupakan senjata yang ampuh agar dapat
menyandang status sosial tertentu yang dipandang dari antar pelaku sosial
lainnya. Dan sesuai ilmu sosiologi, media sosial yang dianggap efektif untuk
mencitrakan sebuah kelompok sosial adalah melalui budaya, khususnya musik dalam
konteks ini. Maka terciptalah istilah anak indie dibilang keren, yang
mainstream dibilang cupu. Sebenarnya fenomena anak indie ini juga dapat terjadi
karena mereka merasa musik mainstream Indonesia kini tak dapat dijadikan
panutan yang baik, dan sedikit banyak, secara pribadi, saya setuju dengan hal
tersebut. Namun ini bukan berarti mencari apa yang salah dan benar dalam
bermusik, ini hanya masalah memilih berbagai pilihan dalam mengaktualisasikan
konsep musik yang ada di alam kreatifitas masing-masing.
Kini indie hanyalah sebuah kedok belaka. Semua
bangga menjadi musisi indie. Bukan karena sense of belonging-nya, tetapi karena
semua ingin berlomba-lomba untuk mendapatkan status sebagai orang keren dengan
melakukan atau mendengarkan musik indie. Pemberontakan-pemberontakan tersebut
kini digadaikan demi mengejar sebuah status sosial yang fana. Menerima
pergeseran makna indie sekarang tidak semudah menerima kenyataan bahwa Tom
Gabel kini telah berubah menjadi wanita. Saya sangat berharap ada mukjizat
untuk mengembalikan makna indie dan meregenerasi semangat yang terkandung di
dalam kata tersebut. Selain itu, menjadi pelaku atau penikmat musik indie tak
akan membuat anda lebih keren. Musik itu masalah subjektif, tak bisa dinilai
dengan parameter absolut. Dan tidaklah pantas musik indie dijadikan alat
dikotomi sosial. Bukankah musik seharusnya adalah media unifikasi? Sangat sulit
memang untuk mengeluarkan konsep musik indie dari penciptaan budaya baru yang
terkesan menghakimi, namun saya yakin kondisi ini dapat kita rubah dengan
sebuah hal esensial bernama movement. Movement untuk tidak ikut serta dalam
penciptaan kultur ini. Sederhana saja bukan? (Galih Gumelar)
Dialektika indie-mainstream dibahas di buku karya joseph heath sama andrew potter,judulnya the rebel sell,versi bahasa indonesianya berjudul radikal itu menjual. disana dijelaskan kalau memang indie itu (seinget gw) intinya punya semacam siklus menjadi mainstream, lalu ada lagi hal lain yang jadi antimainstream atau 'indie' lagi. tapi gw setuju bahwa musik (indie ataupun mainstream yang dikotominya sangat relatif) memang sesuatu yang personal. movement yang diusulkan galih jelas ajakan cerdas. count me in!
ReplyDelete