Jakarta asik juga kalo lagi sepi. Waktu itu Minggu, 31
Desember 2023.
Saya sekeluarga datang ke kawasan Blok M sekitar jam makan
siang. Kami langsung ke Futago Ya.
Ini kedai ramen favorit saya dan Windi. Kuahnya enak dan
dagingnya empuk.
Selesai makan siang, kami melipir ke seberang: Taman
Literasi Martha Tiahahu. Di sana, anak kami senang liat-liat buku di dalam
perpustakaan yang adem.
Di dekat situ juga ada lemari buku Jakarta Book Hive. Isinya
sedikit dan berantakan, saya lupa bawa beberapa judul buku buat disumbangkan.
Dari selatan Jakarta kami melesat ke arah pusat. Sore itu
jalanan lancar. Tipikal gejala sub-urbanisasi.
Istilah itu merujuk ke kondisi ruang sebuah kota yang bergantung
ke pembagian waktu. Jakarta lengang banget di satu waktu, tapi padet banget di
waktu lain. Menurut Avianti Armand dalam buku “Arsitektur yang Lain”,
sub-urbanisasi atau counter-urbanization ibarat “aspirin untuk sakit gigi”.
Dua puluh menitan kemudian kami sampai di Galeri Nasional.
Ada dua area pameran yang kami datangi.
Pertama, Ruang Keluarga dan Anak. Ada instalasi lantai berpasir
yang diseraki sampah plastik.
Anak kita bisa “pungut” sampah itu dengan scan sebuah
barcode di dekatnya. Nantinya, proyektor akan menampilkan hewan laut yang
ceritanya hasil daur ulang sampah tadi.
Interaksi serupa juga ada di gedung lain area Galnas. Sebuah
imaji hewan bisa muncul setelah kita teriak di sebuah corong. Kami lantas
pulang setelah hujan yang datang dari arah Bogor reda.
Malam harinya, kami tidur seperti biasa. Meski nggak nunggu
sampai jam 00:01, saya akhirnya kebangun juga.
Dari balik jendela kembang api menyalak bergantian. Lampu mobil
yang parkir di bawahnya juga nyala, sebuah false alarm.
Dua jam kemudian saya baru bisa tidur lagi setelah koor
lagu tentang patah hati terdengar sayup dinyanyikan dari entah bar sebelah
mana. Menara Blok M Square—yang motif kotaknya mirip motif roket di komik
Tintin—tetap gelap.
Jakarta, selamat datang di tahun 2024. []
No comments:
Post a Comment