Seorang mahasiswa terlempar ke masa depan dan menyadari bahwa dosen yang mengajarnya, telah mengembangkan temuan yang bisa berakibat fatal jika disalahgunakan. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana akhirnya teknologi itu digunakan? Jawaban itu ada dalam film Solum ini.
Solum terkesan dibuat dengan perlengkapan seadanya. Meski demikian, ide yang disajikan begitu segar, unik dan mampu memancing emosi penonton untuk turut merasakan ketegangan. Film ini sebenarnya berpotensi menjadi karya yang berkesan dalam, jika beberapa hal berikut tidak perlu terjadi. Ketika Diraf bertanya dimana ia berada, wanita yang bersamanya begitu fasih menjelaskan bahwa ia berada di Bogor pada tanggal dan bulan sekian. Sebenarnya ia cukup menyatakan bahwa ia di Bogor. Penambahan Desember 2011 malah mengesankan bahwa si wanita itu tahu Diraf terjebak dalam lorong waktu. Wanita itu juga terkesan tak ingin tahu tentang Profesor Diraf yang hidup lagi, bahkan jauh lebih memuda. Padahal, ia cukup punya banyak waktu untuk menanyakan itu. Keberadaan mesin waktu, juga mengundang tanda tanya tersendiri. Bagaimana bisa Diraf maju ke dimensi dengan jarak berpuluh-puluh tahun? Bagaimana bisa profesor yang menjadi dosen Diraf tidak tertarik dengan apa yang membawa Diraf ke masa depan? Dibalik keganjilan tadi, sebenarnya Solum ini menarik disimak. Visualisasi yang ditampilkan sudah menunjukkan bahwa dengan alat yang sepertinya seadanya, para kreator film itu sudah menghasilkan luaran maksimal. Pemakaian musik latar, pembagian sekuen dengan bunyi ledakan, penggambaran adegan kejar-kejaran, sudah cukup nyaman dinikmati di film ini. Solum, bisa jadi film fiksi sains yang dicari, ketika di masa depan nanti, Ciptran Production House telah menghasilkan film sci-fi yang membanggakan Indonesia di mata dunia.
No comments:
Post a Comment