Saya baru tamat baca buku kumpulan esai buatan Galih Nugraha Su. Dia saya kenal sebagai vokalis Deugalih and Folks. Album Anak Sungai jadi soundtrack keseharian saya di tahun 2015. Sebelumnya, di sekitar tahun 2011 saya pernah nonton kolektif ini di panggung pertunjukan Dago Tea House, Bandung. Sebelum saat itu, Galih ternyata sudah aktif menulis. Di antaranya, tahun 2003-2004 sebagai penulis cerpen di Air Zine. Dalam rentang masa aktifnya, Galih juga mengajar. Buah pikirannya soal pendidikan, dibukukan.
Judul buku ini Pendidikan yang Menjajah. Isinya ada 8 esai yang 7 di antaranya punya subjudul. Dalam buku ini, Galih tidak hanya berbagi pemikiran, tapi juga pengalaman. Tulisan pertama dalam rangkaian tulisan setebal seratusan halaman ini, menceritakan kesan Galih ketika mendampingi ”7 anak yang berjuang dengan dirinya untuk melampaui apa yang disebut keterbatasan, bukan untuk dimaklumi."
Pengalaman sebagai pendidik juga memberi muatan dalam kritik atas jalannya pendidikan di Indonesia. Tulisan yang menurut saya paling kaya, berjudul “Apakah Lagu Anak Masih Diperlukan?”. Titel ini pertama kali dimuat di situs Jurnal Ruang. Di dalamnya, Galih mempertanyakan argumen bahwa anak-anak harus punya “lagu anak”. Paparan ini kaya data. Untuk menjawab pertanyaan di judul tadi, penulis menyandingkan peran macapat dan lagu yang dibawa bangsa Portugis ke Nusantara pada abad ke-15. Suntikan pengalaman yang ia sodorkan sebagai solusi, juga tak luput dituliskan. Galih mengakui bahwa “tulisan ini bertujuan mengembalikan peran rumah dan sekolah menjadi tempat anak berkarya, bereksperimen dan bertualang."
Representasi judul Pendidikan yang Menjajah, juga Galih tampilkan melalui potret kehidupan seorang anak jalanan yang diurus PSK di Bandung tahun 2001. Selain itu, dorongan tentang “pendidikan yang tidak datang melalui mulut yang menasihati mereka dalam bentuk pemerintah, guru, dan orang tua” turut diperlihatkan lewat kondisi pendidikan di wilayah adat. Bahasan yang satu ini dilengkapi argumentasi Cak Nun dan Paulo Freire yang ditulis Galih sebagai: satu pemikiran.
Sayangnya, keputusan Galih untuk menerbitkan buku ini tanpa melalui editor, berdampak ke kualitas tata susun kata. Saya tidak terbiasa membaca paragraf yang diawali angka—seperti tampak di tulisan “Yang Melihat Dunia Dari Teras Rumah”. Di bagian kata pengantar, penulis memang mengakui bahwa absennya editor memang sebuah upaya untuk “tidak bergantung pada industri yang banyak pakem”. Padahal, jika Galih punya semacam sparring partner dalam menyusun buku ini, barangkali judul Homeschooling di Tengah Pandemi akan terasa lebih kaya. Tapi toh itu pilihan penulis sendiri. The medium is the message. Saya masih bisa menangkap pesan yang ingin dia sampaikan. []
No comments:
Post a Comment