Mata pelajaran sejarah katanya mau dijadikan mata pelajaran pilihan. Ternyata, mendikbud klarifikasi bahwa itu sumbernya dokumen internal yang isinya “permutasi”—demikian Pak Nadiem menyebut istilah untuk (kurang lebih) “berbagai kemungkinan” penyusunan mata pelajaran. Pada akhirnya, Menteri Nadiem bilang mata pelajaran sejarah bakal tetap ada.
Di satu sisi, polemik ini menunjukkan bahwa ada masalah komunikasi di Kementerian Pendidikan. Di sisi lain, publik jadi punya perspektif baru soal mata pelajaran sejarah. Tulisan di Tirto ini ditulis seorang mantan guru sejarah SMA Petrik Matanasi. Dia bilang, harusnya mata pelajaran sejarah diajarkan dengan menerapkan tingkat perkembangan siswa.
Seharusnya di SMA dan SMK pelajaran Sejarah lebih menekankan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, serta ekonomi di dalam dan luar negeri. Semestinya siswa SMA jurusan IPS dan SMK rumpun ekonomi belajar tentang sejarah perekonomian Indonesia dengan, misalnya, menampilkan Hatta sebagai ekonom atau paling tidak menyinggung sejarah kewirausahaan di Indonesia.
Kasus ditutup. Sekarang, saya mau cerita tentang buku sejarah yang baru tamat saya baca. Bulan Agustus lalu, saya pernah ulas singkat sih buku yang judulnya “dari Buku ke Buku” ini. Kali ini, perspektif ulasan saya akan lebih banyak bahas tentang “pentingnya sejarah”.
Polycarpus Swantoro, penulis buku ini, menempuh pendidikan formal bidang sejarah di IKIP Sanatha Dharma Yogyakarta—selain dikenal juga sebagai salah satu dedengkot Kompas Gramedia. Meski buku ini bahas buku-buku bersejarah tentang Nusantara, kisahnya dibungkus dalam judul-judul tematik.
Pak Swantoro membuka dengan judul Bermula dari Gambar Berwarna. Swantoro kecil terkenang dengan gambar lambang kotapraja Hindia-Belanda tahun 1930-an. Dari sanalah minat studi sejarahnya bermula.
“’Historia docet’, kata sebuah adagium, ‘sejarah itu mengajar’. Masih ada sebuah adagium lagi yang erat kaitannya dengan sejarah... ‘di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan’.” (Hal. 6)
Bahasan soal sejarah di buku “dari Buku ke Buku” ternyata ada juga yang terkait dengan tulisan di Tirto yang saya kutip di atas. Pak Swantoro mengutip pendapat Denys Lombard, penulis buku Nusa Jawa. Katanya, “ia tidak mengajarkan sejarah sebagai rentetan peristiwa, tetapi sebagai metode.” Dalam tulisan Tirto tadi, Petrik menulis bahwa justru mata pelajaran sejarah sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari saat ini.
Bagi saya, pelajaran Sejarah seharusnya melatih mereka menggali dan mengklarifikasi informasi. Pelajaran Sejarah sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk melawan hoaks dan disinformasi, karena dalam pembelajaran sejarah sifat kritis seseorang adalah wajib dan sejarawan mesti melakukan kritik sumber ketika meriset dan menulis.
Artikel yang diterbitkan Tirto juga mengkritisi bahwa sejarah yang disajikan di sekolah, terlalu dominan bermuatan politik. Seandainya begitu, mungkin sejarah bakal jadi pelajaran favorit. Setidaknya bagi saya. Sayangnya, kata Pak Swantoro menutup buku yang saya bahas ini: “kata ‘seandainya’ tidak terdapat dalam kamus sejarah kehidupan siapa pun”. []
No comments:
Post a Comment