Dear david bermula dari Laras, seorang siswi berprestasi. Dia ketua OSIS, sumber kebanggaan sekolah, juara lomba kepenulisan.
Sebagai penulis, Laras punya saluran rahasia. Sebuah blog, ia isi fantasi romantik-erotik dengan objek teman sekelas bernama David.
Laras tentu berupaya mempertahankan citra baik yang selalu melekat dalam dirinya, demi terus mendapat keringanan biaya sekolah dan lancar mengejar cita-cita masuk UI. Sialnya, laras gagal logout dari komputer sekolah dan seseorang menyebarkan cerpen dari dalam akunnya.
Peristiwa itu mengenalkan privasi kepada sasaran utama penonton ini, remaja. Apakah sikap sekolah berlebihan? Apa Laras sudah sebaiknya melindungi diri?
Dalam Dear David, kepala sekolah memimpin orkestra infiltrasi ke ruang privasi murid atas nama kondusivitas. Seorang siswa berbisik ke laras, "lo kan ketua osis, harusnya lo bisa berbuat lebih". Mereka memprotes perampasan ponsel.
Di luar film, negara juga masuk ke ranah privat warganya. Masih ingat skandal Aipda Ambarita? Dia merazia handphone sembarang orang demi konten, padahal salah.
Satu lagi yang lebih anyar: putusan MK tentang pernikahan beda agama. Pelapor uji materi undang-undang merasa dirugikan karena menurut sebuah pasal dalam peraturan yang lahir di tahun 1974, sepasang calon suami-istri harus punya agama yang sama saat menikah.
Editorial Majalah Tempo menilai, itu bentuk pengaturan berlebihan negara kepada warganya, karena sudah masuk ranah privat. Seperti dilaporkan oleh CNN Indonesia, dua dari sembilan hakim MK sendiri mengakui bahwa perlu ada perbaikan tentang aturan itu, dimulai dari pihak pemerintah dan DPR.
Mengenal privasi, baru satu dari bahasan lain yang bisa kita baca atau renungkan dari film Dear David. Hal lainnya: bullying, pengaruh media sosial ke kehidupan nyata, kesehatan mental, inklusivitas dan (ehem) cinta segitiga. []
No comments:
Post a Comment