Saturday, March 2, 2013

Sebuah Reuni yang Membangkitkan Inspirasi

                Para legenda Madchester akhirnya datang menuju Indonesia. Pastinya euforia melanda para pecinta jenis musik ini baik kalangan tua, muda, maupun diantaranya, tak terkecuali saya sendiri. Begitu euforianya, karena setelah disband selama 15 tahun, mereka akhirnya memutuskan untuk reuni pada tahun 2011 kemarin, dan mereka datang ke Indonesia untuk pertama kalinya. Menjadi fans berat dari band asal Manchester ini sejak kecil, akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menonton dan menikmati mereka langsung pada tanggal 23 Februari 2013 yang lalu, di Lapangan D Senayan Jakarta.


               
Sebuah keberuntungan bagi saya karena berbekal ID Pers resmi yang saya miliki, saya dapat langsung berjejal-jejalan dengan umat britpop lainnya di barisan depan. Kondisi Lapangan D Senayan pada saat itu memang sangat menunjang untuk melakukan Monkey Dance ala sang vokalis, Ian Brown, dimana lapangan dalam kondisi becek dan hanya diselubungi serangkaian lighting yang luar biasa. Setelah menunggu sekian lama akhirnya dari sisi kiri panggung muncullah Ian Brown, John Squire, Mani, dan Reni yang segera menempati posisinya masing-masing. Sorakan penonton semakin tak terkendali, apalagi begitu intro lagu “I Wanna Be Adored” dimainkan, sontak membuat seluruh penonton hingar bingar. Dan hal ini bukanlah akhir dari segalanya.
                The Stone Roses langsung menggeber lagu-lagu andalannya seperti “Mersey Paradise”, “Song For My (Sugar Spun Sister), dan tak ketinggalan juga lagu favorit dari seluruh penonton, “Sally Cinamon”. Lalu tibalah saatnya bagi para personil untuk memperlihatkan atraksi mereka dengan instrumennya masing-masing pada lagu “Fool’s Gold” yang berdurasi 9 menit yang diiringi Ian Brown melakukan aksi panggung yang cukup konyol, sebuah atribut yang selama ini melekat kuat dalam dirinya. Tabulature gitar yang dimainkan John Squire pada lagu “She’s Waterfall” seolah-olah seperti sebuah sinyal bagi penonton untuk ikut bernyanyi bersama dan bertepuk tangan. Seperti sebuah fantasi bagi saya untuk dapat melihat band ini dari jarak sekian meter saja.
         Lalu muncullah lagu “This Is The One”. Layaknya sebuah guru olahraga yang mengkomando siswanya untuk melakukan senam, Ian Brown mengkomando penonton untuk mengacungkan telunjuk ke udara sepanjang chorus lagu ini. Tak cukup hanya lagu “This Is The One”, pada lagu “Made of Stone” dan “Love Spreads”, Ian Brown juga mengkomando penonton untuk melakukan monkey dance. Dan akhirnya konser diakhiri dengan lagu “I am The Resurrection”, lagu paling epik menurut saya yang terdapat di album debut mereka.
             Walaupun set list nya kebanyakan berasal dari album pertama mereka, namun hal tersebut cukup memuaskan dahaga para pecinta britpop, khususnya madchester scene yang tiba ke Lapangan D Senayan. Terlebih berbagai tindakan Ian Brown banyak mengundang tawa para penonton, seperti mengibarkan bendera Manchester United pada saat lagu “I am the Resurrection”, atau pada saat seorang penonton berteriak “Happy birthday Ian!!” namun Ian Brown hanya membalas “Fuck You”. Sebuah pertanda cinta Ian Brown dengan fans-fans asal Tanah Air ini.
              Dua jam yang sangat luar biasa. Seluruh penonton pulang dengan senyum mengembang di wajah mereka, tak terkecuali saya. Menyaksikan sebuah legenda hidup yang mengubah skema musik Inggris merupakan sebuah hal yang tak terlupakan. Mereka telah melakukan sebuah gebrakan besar di dunia musik Inggris di masa lalu. Benar, sebuah movement. Tepat seperti yang dibutuhkan oleh industri musik Indonesia pada masa kini. Sebuah konser yang melahirkan inspirasi demi menciptakan kondisi bermusik Indonesia yang (semoga) memiliki movement yang cukup kuat di masa depan.

No comments:

Post a Comment