Saturday, September 1, 2018

Bahasa


Tengah pekan ini, Bandung diguyur hujan gerimis. Nggak deras banget. Cukup sampai bikin aroma petrichor menguar. Semacam ngemrat kalau istilah bahasa sundanya. Artinya membasahi. Tekniknya dengan menyebar titik air ke sebidang tanah. Bisa disemprot tipis-tipis atau air disebar pakai gayung atau ember. Biasanya objeknya lapangan.

Saya jadi ingat opini Dandhy Laksono, tentang ancaman kepunahan bahasa daerah. Menanggapi berita tentang menteri pendidikan yang berkomentar tentang penyederhanaan bahasa daerah. Salah satu inisiator Alianji Jurnalis Independen itu, menyitir data bahwa 11 bahasa daerah sudah punah dan 16 lainnya terancam. Lalu, dia bercerita tentang nasib Bahasa Dawan berdasarkan pengalamannya mengunjungi kerajaan Boti di NTT.

Baru-baru ini saya lagi bacabuku tentang bahasa. Judulnya Gara-Gara Alat Vital dan Kancing Gigi: Bunga Rampai Bahasa. Penulisnya Gustaaf Kusno, seorang dokter gigi militer. Dia rajin nulis di Kompasiana sampai akhirnya terbitlah buku ini sebagai kumpulan tulisannya di situs blogging itu. Buku terbitan 2013 ini udah dibaca sampai halaman 90 dari hampir 190 halaman. Di dalamnya ada 6 tema besar yang dipecah lagi jadi sekitar 9-10 bab. Saya sendiri sudah khatam baca tulisan-tulisan bertema Serunya Indonesia! dan Asal Bahasa.

Dari buku ini, saya jadi tau sejarah sejumlah kata. Misalnya istilah kongkalikong yang ternyata diserap dari bahasa belanda “konkelen” (bersekongkol). Atau misalnya pengetahuan baru bahwa istilah “hutan” sebenarnya muncul dari nama perusahaan di masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1916 yang memuat kata “houtaankap”, artinya penebangan kayu (hout: hayu, aankap: memangkas).
Buku ini juga senada dengan argumen Dandhy bahwa bahasa itu menyimpan pengetahuan. Bukan cuma alat komunikasi. Kata ngemrat atau emrat di atas misalnya. Maka tepat pula kalau Dandhy bilang:
Bila sebuah bahasa lokal punah, tak ada lagi referensi pengetahuan lokal yang bisa dirujuk []