Sunday, December 26, 2021

Inuyashiki: Tua-Tua jadi Superhero

 Tua dan Tak Bermakna

Tiada yang lebih mengerikan dari menjadi tua, tak relevan, tidak diinginkan. Sialnya, itu yang dialami Inuyashiki. 


Di usia paruh baya, ayah dua anak ini dikisahkan payah. Bosnya memarahi karena memang dia menghambat performa tim. Di rumah, komunikasi bersama keluarga kurang lancar. Bahkan si sulung terang-terangan mengaku malu jika temannya tahu siapa sang ayah. Menyedihkan.


Sampai tiba suatu malam, Inuyashiki mengejar anjing telantar yang hendak ia pelihara--meski dilarang istrinya. Di sebuah taman, tiba-tiba cahaya menyilaukan berpendar di langit. Inuyashiki setengah sadar. Dalam samar, dia lihat beberapa siluet sosok merekayasa tubuhnya. Dan dia bukan satu-satunya.


Muda dan Berbahaya


Anak sulung Inuyashiki punya seorang teman sekolah. Dia diperankan Takeru Satoh--karena ada dialah, saya menyaksikan film ini. 


Setelah direkayasa, Si Satoh ini ternyata berubah jadi manusia super. Dari punggungnya, sepasang mesin jet bisa keluar dan menerbangkannya serupa pesawat terbang. 


Tangannya pun bisa jadi senapan. Cukup arahkan telunjuk ke sasaran, konsentrasi, katakan "dor!", dan matilah semua--burung, botol, manusia. Satoh diberkahi tubuh superior dan menjadikannya mesin pembunuh.


Lain halnya dengan Inuyashiki, yang menguba tubuhnya justru sebagai mesin penyembuh. Dia lalu punya semangat hidup lagi.


Pada akhirnya, si baik dan si jahat, nantinya akan bertemu. Mereka bertarung dalam sebuah duel epik. Katakanlah, setara serunya dengan Iron Man yang gelut dengan Captain America di film Marvel, Civil War.


Baik-Jahat, Soal Pilihan


Bagiku, Inuyashiki menawarkan cara pandang khas superhero bahwa seseorang yang lemah, bisa jadi sebenarnya kuat. Spiderman misalnya, punya kecenderungan itu. 


Dalam semesta manusia laba-laba versi Tom Holand, tokoh Flash Thompson si tukang bully, pada akhirnya harus mengakui bahwa korbannya ternyata si superhero--meskipun pada akhirnya dia tetap bisa memanfaatkan ke-spiderman-an Peter Parker (ingat dialog tentang promosi masuk kampus MIT di film "Spider-Man: No Way Home"?).


Di sisi lain, film Inuyashiki juga hadirkan paradigma bahwa seorang berkekuatan--yang sebenarnya semalang si protagonis--pada akhirnya memilih jadi antagonis. Penonton bisa kaitkan bahwa itu barangkali karena keluarga si Satoh di film itu nggak utuh, atau karena tingkat pengendalian emosi di tahap usia remaja, beda dengan psikologis pria paruh baya. Yang jelas, kita jadii mafhum bahwa mungkin, orang baik dan orang jahat bisa lahir dari kondsi yang sama.


Pada akhirnya, tokoh Inuyashiki memilih tetap dikesankan sebagai pecundang. Setidaknya di hadapan si sulung yang tega mengaku tidak bangga--meski anak ini akhirnya tahu bahwa bapaknya punya kekuatan super. Pilihan konsisten juga nampaknya tetap dijalani si rival. []

Sunday, December 19, 2021

Trilogi Before, overrated?

Saya nonton tiga film legendaris garapan RIchard Linklater: Before Sunrise, Before Midnight, Before Sunset. Kesan pertama saya, justru muncul sebuah pertanyaan: seberapa realistis sih momen asam-manis di film itu?


Oke, oke. Ini bukan dokumenter, bukan pula diilhami dari kejadian nyata atau pun reka ulang realita. Ini roman tentang seorang Amerika Jesse yang bertemu Orang Perancis Celine di kereta. Mereka menghabiskan malam berdua dalam perjalanan dan obrolan di Denmark, sebelum fajar tiba. Maka judulnya: Before Sunrise.


Dahi saya bekernyit ketika, emang di eropa sana bisa ya dua orang asing baru kenalan dan langsung nyambung? Emang semudah itu pedagang wine ngasih sebotol barang jualannya? Emang ga ada nyamuk pas Jesse dan Celine rebahan di rumput? Nah, rumput. Semut ga ada gitu? 


Mari, lanjut ke Before Midnight. Bertahun kemudian, Jesse dan Celine ketemu lagi. Setelah mereka melanggar janji masing-masing buat ketemu di tempat terakhir berpisah. 


Saat mereka ketemu lagi di sebuah toko buku terkenal di kota Paris, Jesse dikenal sebagai penulis yang baru rilis buku fiksi yang diilhami dari pertemuan mereka, 11 tahun lalu. Uniknya film ini, pengambilan gambarnya memang dipisah jarak waktu selama itu, dan terasa natural--Richard Linklater melakukan teknik yang sama saat menggarap film Boyhood.


Sambil jalan, Celine cerita kalau dia di tahun 2013 itu kerja di sebuah organisai nirlaba, NGO bidang lingkungan. Lantas mereka berdebat soal apakah kondisi dunia lebih baik atau sebaliknya. Terungkap pula bahwa salah satu dari mereka sudah menikah--ya kan?


Sore itu, Tokoh utama kita sampai di rumah Celine. Celine yang diperankan Julie Delpy menyanyikan sebuah lagu, bagus banget. Jesse yang diperankan Ethan Hawke terpukau. Kisah pun berakhir. Sebelum malam, makanya film ini dikasih judul: Before Midnight.


Tibalah saya ke trilogi terakhir: Before Sunset. Kali ini, ternyata Jesse dan Celine sudah menikah. Mereka ada di Siprus, sebuah pulau yang status kenegaraannya problematik--baru-baru ini, wartawan favoriku Johnny Harris bahas soal Cyprus.


Jesse makin terkenal. Setidaknya dia nyebut nama Lech Walesa dalam obrolan bersama Celine itu. Mereka baru pulang dari sebuah pertemuan dengan para penulis, atau katakanlah sastrawan. 


Kelak, percumbuan keduanya di ranjang berujung pertengkaran yang melibatkan pertemuan sastrawan tadi--setidaknya begitu yang disebut Celine dalam pisuhannya. Mentari tenggelam, malam menjelang. Singkat kisah, Jesse dan Celine rujuk dan menikmati senja. Before Sunset berakhir.


Dari dua seri terakhir, saya nggak nanya lagi soal "emang gitu?". Mungkin memang saya udah masuk di tahap nrimo.


Jadi, kalau pun ada pertanyaan tentang "seberapa realistis?", jadinya memaklumi kondisi bawha kadang, realita justru lebih aneh dibanding fiksi. Reality is stranger than fiction. []

Thursday, December 2, 2021

Memaknai Sejarah

The Beatles Belum Selesai

The Beatles bubar tahun 1970--Paul McCartney mundur dari band bulan April tahun itu. Kata bubar, barangkali lekat pula dengan makna selesai. Sudah. Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Meski begitu, lain hal dengan kisah dari The Fabolous Four.  

Lebih dari 50 tahun kemudian, di tahun 2021, masih ada hal baru tentang kuartet asal Liverpool itu. Sebuah film dokumenter dengan sutradara Peter Jackson, dirilis di kanal OTT Disney+ tentang masa-masa akhir The Beatles. Judulnya Get Back.


8 Days a Week

Get Back belum saya simak, tapi saya nonton film "8 Days a Week"--dokumenter buatan Ron Howard dari tahun 2016. Selama 2 jam 17 menit, kisah The Beatles dituturkan dari berbagai macam sudut pandang. Dari Larry Kane, wartawan yang ngikutin tur mereka di AS tahun 1964-1965, Howard Goodall, komposer yang bandingkan musikalitas The Beatles dengan musisi klasik, sampai tentu saja, Paul McCartney, John Lennon, Ringo Starr, George Harrison--para personel The Beatles.


Buat generasi yang nggak ngalamin popularitas The Beatles saat mereka masih ada, film ini enak ditonton. Banyak arsip penting ditampilkan dari masa itu. Karakter tiap orang di dalamnya pun sekilas tergambar. Misalnya saat semua personel mengenalkan diri. Setelah Harrison mengenalkan diri dan bilang "I play guitar", Lennon ambil gilirannya dan bilang "I play a better guitar". Haha.


Sesuai dengan subjudulnya, selain ceritakan sejarah band, film ini juga fokus ke perjalanan konser mereka. Tur ke tur. Termasuk momen pentas terakhir The Beatles tahun 1969. 


Konser itu sebenarnya bukan di atas panggung, tapi di atas gedung. Dibahasnya sekilas. Lagu "Don't Let Me Down" yang dinyanyikan dari atap kantor Apple itu juga jadi pengantar ke credit title. 


Tentang Sejarah, dari The Beatles

Film "8 Days a Week" memang terkesan seperti kita melihat The Fab Four dari "pandangan helikopter". Momen penting dalam perjalanan band memang terlihat, tapi terkesan terlalu tampak permukaan. FIlm Get Back, mendalami satu periode utama The Beatles--jelang mereka bubar. 


Kisah The Beatles, ternyata belum usai. Faktanya sebuah kejadian ternyata bisa saja tak habis dibahas. Itulah sejarah. Sebuah peristiwa, dimaknai ulang sesuai temuan terbaru. Atau temuan lama dengan konteks baru.


Tentang 1965

Pembaruan serupa, saya alami ketika baca-baca peristiwa geger 1965. Tahun itu orang tua saya baru lahir. Saya dan keluarga pun sangat beruntung karena sama sekali jauh dari dampak langsung kejadian itu: pembantaian ratusan ribu orang. Namun, momen pasca-65 mau nggak mau musti dipelajari kalau kita mau memahami lagi tentang tempat kita tinggal, Indonesia.


Tahun ini, ada tiga sumber yang saya baca. Pertama, buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 buatan Wijaya Herlambang. Kedua, majalah Tempo Edisi tanggal 4-10 Oktober 2021, judulnya Umi Sardjono dan Stigma Gerwani. Ketiga, majalah Intisari edisi bulan September bertajuk Tragedi '65 Dalam Ingatan.


Pemahaman Baru

Bacaan yang pertama, baru saya baca sampai halaman 73, dari 333 halaman. Hal baru yang saya dapat dari disertasi doktoral yang dibukukan ini, pemahaman tentang pembiaran. 


Di halaman 37, almarhum doktor dari University of Queensland Australia ini menulis: "...pembenaran atas praktik kekerasan melalui produk kebudayaan merupakan bentuk kekerasan juga yang disebut Galtung sebagai 'kekerasan budaya'."


Sudut pandang--yang sekali lagi bagi saya baru--itu menarik karena ternyata, pembiaran atas meninggalnya ratusan ribu orang karena sebuah stigma, dilanggengkan oleh sesuatu yang nampaknya menyenangkan: produk budaya. 


Terlalu Sadistis

Bacaan kedua, berupa majalah. Tempo punya tradisi cukup panjang dalam mengingatkan kita soal bahaya peristiwa di tahun 1965 itu. Tepatnya, mengingatkan dan menyajikan sudut pandang lain.


Dalam hal penceritaan Umi Sardjono, saya nggak yakin mana lebih dominan. Soalnya bacanya nggak selesai. Saya nggak kuat baca deskripsi nonmanusiawi tentang apa yang dialami seorang perempuan di masa kelam itu. Bahkan binatang pun nggak diperlakukan serendah itu. 


Ingatan tentang Tragedi '65

Majalah intisari usianya tahun 2021 ini sudah masuk bilangan 58. Terbitan sekepalan tangan dengan jargon histori, biografi dan tradisi ini rilis edisi berjudul "Tragedi '65 Dalam Ingatan". 


Ingatan tentang hidup pasca hari naas itu, dikisahkan dari 7 orang hidup manusia. Dari santri yang "belok kiri", saintis yang terbuang di Eropa, hingga seorang tokoh kunci malam tanggal 30 September itu: Letkol Untung.


"Kisah-Kisah Lucu Seputar Gestapu" melengkapi edisi ini. Lucu tanpa terkesan menertawakan duka. Misal, dikutip dari Kompas 4 Desember 1965: seorang pemuda gentar karena merasa diikuti dua perempuan dengan pisau yang ia takuti sebagai Gerwani--dengan stigma terhadap anggota organisasi itu yang sedemikian fantastis. Ternyata, mereka hanya mau bantu hajatan. "Beginilah nasib termakan rumor tidak jelas." Begitu bunyi kalimat penutup rubrik itu.


September Nanti, Apa Lagi?

Tahun depan, September bakal datang lagi. Lalu apa? Setidaknya dua. Nomor satu, berhati-hatilah dengan siapa pun yang berkuasa. Di ranah mana pun. Kedua, waspadalah dengan siapa pun yang mengatasnamakan narasi yang dibuat si penguasa untuk melakukan sesuatu terhadapmu.


Setidaknya, dua itulah yang saya pahami kali ini. Lain kali, mungkin beda lagi. Tergantung pemaknaan baru atau temuan baru tadi. 


Dan sejauh yang saya tangkap soal bubarnya The Beatles, pangkalnya ada di salah ucap Lennon soal Yesus Kristus. Mirip kasus Ahok di Indonesia tahun 2016 lalu. Coba kita tonton Get Back, barangkali ada yang motong kalimat penistaan itu. []