Sunday, June 30, 2019

Identitas

Awalnya sempat takut ga kesampaian otak saya kalo baca buku yang ditulis Profesor Ariel Heryanto ini. Haha. Soalnya formatnya ilmiah banget: banyak catatan kaki, banyak kutipan dari buku atau penelitian lain, dll. Ternyata, pas dibaca sampe tamat, Identitas dan Kenikmatan asik-asik aja. Mungkin karena subjek penulisnya “saya” (terasa lebih cair), bukan “penulis”—yang biasanya terdengar kaku.

Di dalam buku ini, dibahas pencarian identitas keindonesiaan yang ternyata tidak sesederhana melabeli dengan satu lapis. Maksudnya, ada banyak kondisi dan tampilan yang menunjukkan bahwa itulah bangsa indonesia di saat itu. Dan semua dianalisa berdasarkan budaya layar: produk sosiologis yang tampak melalui layar ponsel, televisi, bioskop, dan sejenisnya.

Pertama, identitas berdasarkan kecenderungan menyikapi gelombang post-islamisme—definisi ini tidak dijelaskan secara gamblang, tapi saya menangkap bahwa post-islamisme bermakna penggunaan islam untuk tujuan “nonislami” (penyimpulan tentang post-islamisme saya rujuk dari pengertian populer post-rock: membuat musik rock dengan suara yang kurang nge-rock. Dalam pembahasan tentang konservatisme ini, sampel yang diuji, tentang fenomena pasca penayangan film ayat-ayat cinta dan perempuan berkalung sorban.

Kedua, identitas berdasarkan cara bangsa indonesia menyikapi perang ideologi kapitalisme-komunisme. Di dalam buku ini, dibahas juga beberapa film yang menandingi gagasan fiktif film pemberontakan g-30-s/pki. Para pembuat film tandingan ini digolongkan ke dalam 3 kategori: pembuat film yang merupakan korban (yang tergabung dalam organisasi tertentu) seperti: tjidurian 19, pembuat film yang tidak terkait dengan peristiwa 1965 tapi tetap mengajak para korban seperti: the act of killing, dan pembuat film yang bukan korban dan tidak memainkan korban selamat genosida seperti: sang penari—sebenarnya, film feature pertama yang angkat tema geger 1965 dibuat oleh garin nugroho, bukan sang penari yang disutradarai ifa isfansyah, menantu garin nugroho. Tiga kategori ini saya tulis sesuai ingatan saya. Mungkin salah. Hehe. Yang jelas banyak dijelaskan judul filmnya—dan kamu bisa telusuri di internet untuk ditonton online.

Ketiga, identitas berdasarkan perlakuan terhadap etnis tionghoa. Di sini juga dijelaskan, tentang alasan kenapa warga indonesia etnis tionghoa selalu termarjinalisasi. Jawabannya berkaitan dengan politik kekuasaan. Pembahasan tentang ini, kemudian berlanjut juga dengan analisa terhadap gempuran budaya dari negara asia timur lain: halyu wave dari korea selatan. Ada satu kutipan menarik tentang ini. Kurang lebih: di masa orde baru, keturunan tionghoa dipaksa ganti nama untuk menutupi identitas keasiatimurannya. Sekarang, fans k-pop rela melabeli diri dengan nama oriental. Hal yang sama berlaku dengan tren berkerudung.


Intinya, buku ini direkomendasikan untuk dibaca oleh orang yang tertarik untuk menganalisa fenomena budaya pop—produk budaya yang diproduksi secara massal. Satu sumbangan penting lain buku ini adalah kesadaran untuk tidak terjebak ke dalam kategorisasi identitas. Identitas itu semu, kemanusiaanlah yang nyata ada dan harus terus diperjuangkan. []