Thursday, June 22, 2017

Pevi Permana dan Pemuda Hijrah

Sekitar tahun 2010, saya jalan-jalan ke sebuah event di ITB. Ketika itu ada acara skateboarding juga di sana. Skateboarder terkenal dari Bandung kumpul di sana. Datanglah salah seorang dari mereka ke arena. Dia pakai kacamata hitam, rambut gondrong, tangannya menenteng papan seluncur dan tali yang terhubung ke leher anjing chihuahua. Orang ini Pevi Permana. Beberapa hari lalu, saya ketemu lagi sama Pevi. Kesan saya tentang dia berubah. Ternyata sekarang Pevi nggak “setinggi” itu. Pevi saya wawancara sebagai seorang muslim yang berhijrah. Pindah dari kehidupan lama ke hidup baru yang lebih agamis. Obrolan kami digelar di sela aktivitas padatnya di Jakarta-Bandung-Bali. Pevi meluangkan waktu sekitar dua jam di kantornya di Gudang Selatan, Bandung. Kami berbincang selama sekitar 10 menit di depan sebuah cafĂ© di dalam gudang artistik itu. beberapa kali Pevi menunduk, terutama ketika bercerita tentang masa lalunya. Sebelum Hijrah Pevi Permana lahir tahun 1988. Pada tahun 1999, ia mengenal papan skateboard dari teman sepermainannya. Sementara teman-teman yang mengenalkannya kepada skateboard berhenti bermain skate, Pevi terus menekuni hobi ini hingga bertahun-tahun setelahnya. Empat tahun kemudian, dia mulai ikut kejuaraan. Dalam dua kompetisi pertama sepanjang karirnya, Pevi berhasil menembus babak final. Di kali ketiga, juara ketiga langsung dia sabet. Tahun 2005 ia menjadi juara tingkat nasional. Dua tahun setelah itu gelar tingkat Asia ia raih, hingga di tahun 2009, Pevi Permana mencatatkan namanya sebagai skateboarder peringkat ke-40 tingkat dunia. Dari berbagai prestasinya tadi, Pevi mulai hidup mandiri. Kemandirian ini, yang dilengkapi dengan prinsip “tanpa aturan main” dari permainan skateboard, membuat pevi lekat dengan sebuah gaya hidup.
Yang saya alami ketika saya punya uang dari skateboard mulai hedonisme. Mulai merasa dirinya sebagai bintang. Mencukup keuangan karena pertandingan sering, juara sering, dapet hadiah. Selalu setiap bulan ada 3-4 kali. Dapet juga gaji dari sponsor. Di situ mulai, yang namanya kalau kata (bahasa) sundanya mah hidup aing kumaha aing.
Hijrah Selain karena sang istri, hidup Pevi kemudian berubah setelah ia menyerah dengan ajakan seorang teman. Adalah Fani Inong, seorang skateboarder yang aktif berpapan seluncur sejak tahun 90an. Selama dua tahun, Inong terus mengajak Pevi ikut pengajian.
Tidak mau, sibuk, ada acara, harus main skateboard. Seribu alasan yang saya punya. Tapi ketika (itu) selalu istiqomah teman saya ngajak. Dan akhirnya saya merasa nggak enak karena sering diajakin dan akhirnya saya ikut ke kajian itu. Ternyata kajian itu sangat bermanfaat, kayak mengisi nutrisi hati dimana hati itu kosong ga ada apa-apa tiba-tiba dikasih nutrisi. Hati itu menjadi lebih baik, dan hati dari yang hitam pekat itu bisa jadi abu-abu. Dari situ saya mulai luluh dan nggak keras hati. Dari situ saya mengenal yang namanya solat.
Kajian yang dimaksud Pevi, adalah kegiatan yang digelar kelompok Pemuda Hijrah. Diakui Pevi, ceramah keagamaan yang biasa diikutinya di sana terasa lebih ringan. Saya pernah hadir ke sebuah acara yang digelar di mesjid Trans Studio Mal Bandung. Waktu itu saya tiba pas solat isya tiba. Masjid besar yang ada tepat di sebelah pusat perbelanjaan itu penuh. Saya dan ratusan orang lain sampai harus nunggu giliran buat bisa ikut solat. Itu pun bukan di dalam mesjid, tapi di area parkir. Konten ceramah Ustad Hanan memang dekat dengan kalangan muda. Ketika berbicara tentang Nabi Musa, Ustad muda kelahiran 1981 ini bisa sekaligus membahas tentang gaya milenials di medsos instagram. Saya mengajukan permintaan wawancara dan peliputan Pemuda Hijrah sejak bulan April. Hingga akhir bulan Juni ini, jawabannya sama: komunitas The Shift atau Pemuda Hijrah, belum mau tampil di televisi. Saya juga berusaha mewawancarai Inong, yang juga aktif di Pemuda Hijrah. Sayangnya ia berhalangan. Tapi Pevi sempat cerita, tentang apa alasan Inong mengajaknya hijrah. Katanya, kenikmatan hijrah sama seperti asiknya bermain skateboard.
Dia sekarang mendalami agama. Dan sekarang sudah sangat dalem paham banget soal agama, makanya dia mau mengajak bahwa 'ya saya tau skateboard itu enak, fun. Makanya saya selalu ngajak orang main skateboard. Halnya sama kayak agama itu enak, agama itu fun. Makanya saya mau ngajak kamu ke tolabul ilmu, mengajak ke yang lebih baik. Karena enak.' Menurut dia seperti itu.
Pasca Hijrah Maghrib tinggal belasan menit lagi. Tadinya Pevi mau solat maghrib di mesjid Al Latif, mesjid yang bisa dibilang markas komunitas Pemuda Hijrah. Rencana itu batal karena katanya harus beresin kerjaan di kantor HLWD. HLWD ini brand buatan Pevi yang semula bernama Hellwood. Produknya berupa papan skate dan busana yang spiritnya skateboarding. Hellwood berubah jadi HLWD setelah Pevi hijrah.
Ketika itu memang lagi hell banget. Saya pun bikinnya secara tidak sadar. Ketika saya pikir-pikir sekarang, aduh berat banget namanya takut kebawa-bawa sampe akhirat, akhirnya saya ganti jadi HLWD. Dan sekarang mau manufacturing juga jadi Landed Club, karena sudah landing. Filosofinya di sana karena sudah mulai mendarat semuanya sudah mulai kondusif biar lebih enak terdengar juga.
Lalu, apakah pasca hijrah, Pevi berhenti bermain skateboard? Jawabannya tidak. Kini bahkan ia jadi atlet nasional. Ketika dimintai waktu wawancara pekan lalu, Pevi berhalangan karena lagi ikut pelatnas. Di kesempatan lain ketika saya minta kesempatan ambil gambar pas main skateboard, Pevi bilang besok aja di Bali pas perayaan skateboarding day 21 Juni 2017. “Berarti lusa bukan besok,” saya mengingatkan. “Oh iya berarti lusa,” Pevi jawab setelah diam dulu. “Akang terlalu excited nih kayaknya.” :)

Ganti Hati

Buku Ganti Hati saya baca ketika ada tugas meliput kisah Sel Penyembuh untuk program 360 Metro TV. Sel penyembuh yang dimaksud tentu saja sel punca atau stem cell, sel muda yang dimodifikasi sehingga bisa mengobati macam-macam penyakit. Dalam rangka penyusunan kisah itu, saya perlu seorang narasumber yang pernah merasakan manfaat stem cell. Pilihan terkuat jatuh ke mantan menteri BUMN Dahlan Iskan. Pada akhirnya saya berhasil mewawancarai pemilik grup media Jawa Pos ini ketika ia sedang berobat di Cina. Dan sebelum perbincangan jarak jauh itu dimulai, saya membekali diri dengan baca buku Ganti Hati. Pada tahun 2007, Dahlan Iskan didiagnosa menderita kerusakan hati. Buku Ganti Hati memang langsung dimulai dengan paparan latar belakang itu. Di dalamnya ditulis pula bahwa kerusakan yang ia alami sebenarnya sudah cukup parah. Saluran pencernaan bagian dalam Dahlan mirip balon yang siap meletus. Belum lagi organ limpa membesar, sehingga kekurangan darah putih. Sebagai pembaca, saya dibuat paham bahwa ini bukan penyakit ringan.
Kenapa ada virus hepatitis B di liver saya? “Karena liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan masuk ke dalam liver saya.” Kenapa badan saya tidak kebal? “Karena saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya masih bayi/kecil.” Kenapa waktu itu tidak menjalani vaksinasi? “Karena tidak tahu.” Kenapa tidak tahu? “Karena tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena negara waktu itu masih sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau rebutan posisi.”
Hal Lain Selain Ganti Hati Buku ini ternyata tidak hanya berkisah tentang pengalaman Dahlan bertarung melawan penyakit hepatitis B selama 2 tahun, tapi juga rangkuman biografi hidupnya. Bab yang paling saya suka berjudul “Tersenyum ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan”. Dalam tulisan ini, sebenarnya Dahlan memaparkan analisa tentang mengapa sakit liver bisa ia derita, tapi pembahasannya diambil dari sudut pandang unik yang kritis dan bisa mendekatkan kepada pembaca.
                Jelaslah bahwa karena kemiskinan dan kejumudan yang melatarbelakangi, saya menderita sakit liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di kapupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame.Kami bisa menikmatinya bersama-sama.
Buku ini juga nggak garing. Selain terasa seperti mendengar curhatan seorang teman, si teman yang sedang kit abaca kisahnya ini juga humoris.
Untung, tidak ada penilaian bahwa siapa yang meninggal dengan payudara besar berarti dimurkai Tuhan. (Bab 25) [ketika berbicara tentang wajah menghitam akibat sirosis hati, dikaitkan dengan azab tuhan]
Simak lagi contoh paparan jenaka satu ini:
Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua tahun menghitam, kini kembali… hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang aslinya. Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya sudah boleh dibilang kembali seperti hitamnya kereta api (duile!), meski hitam banyak yang antre. Imbuhan kata terakhir itu bukan asli ciptaan saya. Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil dalam kongres para pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka. (Bab 26)
Kisah Ganti Hati, juga menyisipkan sejumlah pengetahuan baru. Saya diperkenalkan dengan konsep tasawuf sathariyah, prinsip sangkan paraning dumadi, ilmu mantiq, usul fiqih, bahkan tips menulis yang baik.
… bahwa bikin tulisan itu harus deskriptif dan detil, gunakan kalimat pendek dan kutipan singkat. Agar imajinasi pembaca dari sebuah tulisan lebih kuat disbanding paparan audio-visual. (Bab 27)
Pada akhirnya, Ganti Hati menutup diri dengan keberhasilan operasi yang dijalani Dahlan di Cina. Ia mendapat donor potongan hati dari seseorang asal Bandung yang lahir tahun 1985. Orang ini tidak disebut identitasnya dengan jelas, namun diperkenalkan sebagai orang yang pernah gagal menyelamatkan ayahnya yang hatinya rusak. Dahlan juga menutup buku ini dengan caranya menyikapi penyakit yang timbul akibat kerja (terlalu) keras. Kutipan yang akan saya lampirkan ini memang panjang, tapi paragraf inilah yang membelokkan premis yang semula terbentuk, bahwa bekerja terlalu keras itu mematikan.
Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda mati-matian bekerja sampai mengorbankan kesehatan untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu untuk membeli kembali kesehatannya—dan banyak yang gagal. Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata untuk mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya kerja keras itu. Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya mengurus sepak bola itu.

Friday, June 16, 2017

Pertahanan Terakhir Qatar: Sepakbola

Timur tengah semakin bergejolak. Qatar diembargo sejumlah negara tetangganya karena emir negara pulau di teluk Persia itu terang-terangan menyatakan keberpihakan kepada Iran dan sekutunya. Meski dibantah pihak Qatar, bagi geng Arab Saudi dan kawan-kawannya, momen ini jadi pemicu ketegangan yang sebenarnya muncul sejak tahun 2011, ketika negara-negara timur tengah melakukan revolusi pemerintahan melalui rangkaian kejadian Arab Spring. Qatar berbeda pendapat tentang pihak mana yang lazimnya didukung mayoritas negara timur tengah. Antara pemberontak atau petahana. Hingga kini, blokade akses terhadap Qatar masih diberlakukan, dan beberapa negara membantu memasok kebutuhan hidup warga negara Qatar. Tapi tahukah anda, bahwa penyelamat lain Qatar ketika krisis ini terjadi adalah sepak bola. Piala dunia 2022. Baru-baru ini saya membaca buku “Brazillian Football and Their Enemies: dan cerita-cerita lainnya seputar sepakbola Indonesia dan liga-liga dunia”. Judulnya memang panjang, mungkin agar kontennya juga tergambarkan. Meski sebenarnya berjudul utama tentang sepak bola Brazil, sebenarnya bahasan tentang sepak bola negeri samba hanya seperempatnya. Pemilihan judul Brazil lebih karena buku ini terbit tahun 2014, ketika piala dunia dihelat di sana. Brazillian Football… memuat kompilasi tulisan dari para penulis yang tergabung dalam Pandit Football Indonesia. Artikel mereka sebenarnya sudah dimuat di berbagai laman situs internet. Buku ini menjadi raga bagi opini-opini itu. Selain kisah seputar piala dunia di Brazil, ada tiga bagian lain dalam buku ini: obrolan seru sepakbola, uang dan sepakbola, dan all about world cup. Di judul terakhir itulah kisah tentang Qatar ditulis. Judulnya: Terpilihnya Qatar Jadi Politisasi Terbesar dalam Sejarah Sepakbola. Ditulis Aqwam F. Hanifan, titel ini berisi awal mula terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 hingga analisa bahwa keterpilihan itu sebenarnya (selain bermotif ekonomi) juga cara Qatar menghimpun soft power dari dunia untuk bertahan ketika krisis di kawasan itu terjadi, seperti hari ini. Intinya, ketika Qatar diganggu tetangga-tetangganya, negeri kaya minyak bumi ini tidak akan terlalu khawatir, karena seperti yang tertulis di halaman 165, “dunia akan berkata: jangan coba-coba ganggu (proyek kami di) Piala Dunia! Di Balik Sepakbola Sebagai olah raga paling populer di seluruh dunia, sepakbola kaya kisah dan makna. Buku ini menelanjanginya bulat-bulat. Ada drama perjuangan manusia sepakbola yang garis klimaksnya menanjak, (Dongeng dari Modena) ada pula yang antiklimaks (Hanya Ada Satu Heleno de Freitas). Ada tentang wajah politik di dalam sepakbola yang dicitrakan apolitis, ada juga terkait nilai ekonomi dari balik lapangan hijau. Buku ini membantu pecinta sepakbola mengenal lebih dalam permainan yang mereka sukai hingga bagian dalamnya. []

Tuesday, June 6, 2017

Hai, Selamat Tinggal

Hari-hari ini saya seperti hilang arah. Maksud saya, mungkin terlalu banyak yang ingin saya lakukan sementara saya terlalu malas untuk melakukan semuanya. Haha. Tadi pagi saya meninggalkan tempat tinggal sekitar jam 8, lalu berbelok arah di persimpangan, menuju jalan layang Pasupati. Biasanya belok kiri, jadi belok kanan. Sengaja, ada yang ingin saya beli di Pusdav kompleks Pusdai Jabar. Padahal ujung-ujungnya barangnya nggak ada. Sebelum akhirnya seperti biasa mendarat di tempat kerja, saya mampir dulu ke tempat pangkas rambut. Karena belum buka—meski sebenarnya kalau mau sabar nunggu 15 menit lagi rambut saya udah rapi—saya batal cukur rambut. Di seberangnya ada toko buku. Saya mampir dan beli sekopi majalah. Di lapangan Siliwangi, saya push up 30 kali, pull up 5 kali dan menyiksa otot perut dengan sebuah gerakan. Itu tadi saya lakukan masih dengan kostum celana jins formal, sepatu kantoran, dan seragam di dalam jaket. Sudah saya bilang, saya terlalu banyak mau. Salah satunya badan kekar. Hahaha. Oke, sekarang saya di meja kerja. Rupanya majalah Hai yang tadi saya beli nggak semenarik dulu. Terlalu banyak ulasan acara. Tapi tunggu, bukankah itu edisi terakhir versi cetaknya? Masa nggak tertarik baca lebih detil? Sebelum saya ceritakan kesan membaca edisi penting ini, saya mau bernostalgia dulu dengan majalah remaja Hai. Jika Anda membaca Bobo di masa kecil, saya yakin hasrat membaca Anda juga akan tersalurkan melalui majalah Hai. Oke, dengan catatan tambahan bahwa anda laki-laki. Hai memang majalah remaja pria. Edisi yang paling saya kenang dari majalah ini adalah yang covernya Erix Soekamti. Edisi pertama dengan logo baru yang saya beli sekitar tahun 2005 atau 2006. Edisi itu bahas tentang punk. Dari band, sejarah, manifesto, sampai perbedaan punk dan punx. Sekitar tahun 2007, majalah itu dituker sama seorang teman. Untuk melepas satu keping edisi itu, saya dikasih tiga kaset tiga album pertama SUM41. Ketika itu saya belum suka kuartet asal Kanada tadi. Sampai kegemaran bermain game ketika itu membuat saya mendengar lagu Fat Lip dari album kedua. Luar biasa. Melodius dan menghentak. Pada akhirnya, Half Hour of Power, All Killer No Filler, dan Does This Look Infected? jadi konsumsi harian. Ah, segar! Nah sekarang kita kembali lagi ke majalah Hai. Bulan ini, terbit edisi terakhir Hai dalam wujud cetak. Selanjutnya ia akan hadir di platform digital. Sebagai pembaca rilisan fisik, saya lebih nyaman membaca semua informasinya dalam satu bundle cetakan. Di edisi kali ini, tiap artikel tampil berupa versi pendek, sementara bagian panjangnya bisa diakses melalui QR Code yang menyertai tiap judul. Agak merepotkan, tapi memang begitulah gimmick-nya. Sebelum Hai benar-benar sepenuhnya dibaca lewat sambungan internet, edisi ini memberikan transisi. Hijrahnya Hai ke wujud digital, memperpanjang barisan media yang beradaptasi dengan kondisi pasar. Saya terlalu malas buat menambahkan data tentang media-media yang pada akhirnya gak bikin edisi cetak lagi. Yang jelas, Hai berhenti berwujud fisik setelah berusia 40. Maka dengan perjuangan sepanjang itu, saya ingin mengucap selamat atas kelulusan brand sekaligus para awak redaksinya. Di bagian akhir edisi itu orang-orang dari dapur Hai berfoto menggunakan toga, sekaligus menuliskan kalimat terakhir mereka. Yang paling saya suka, dari orang yang mengutip pernyataan Nyai Ontosoroh: “Kita telah melawan Nak. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” []

Monday, June 5, 2017

Ramadan di Pavilion 19

Malam itu saya lagi makan capcay, sambil nonton B-roll film Wonder Woman. Dua buah apel yang baru dibeli juga udah siap disikat setelah mangkok ini kosong. Di tengah situasi itu datanglah seorang pria, Ian namanya. Ia dan istrinya, Diana, pemilik tempat ini. Empat malam terakhir saya memang nginap di Pavilion 19. Tempat ini sebenarnya rumah biasa, tapi ada dua kamar yang disewakan melalui Airbnb. Pavilion 19 punya daya tarik tersendiri karena desain kamarnya yang unik. Satu kamar bernuansa terbuka dengan halaman luar berrumput hijau, kamar lain berdesain interior kekinian. Orang yang ada di balik kreasi ini adalah Diana, yang sehari-hari menjadi desainer interior. Suaminya seorang arsitek. Maka demikianlah, Pavilion 19 pun disewakan sejak setahun lalu. Di Pavilion 19, saya tinggal di kamar yang memiliki halaman terbuka. Awalnya, tempat ini teras rumah biasa. Sebagian luas lahannya lalu ditutupi lantai kayu buat jadi teras lain yang baru. Teras lamanya, dibangun ulang sehingga jadi kamar. Sebenarnya ruangannya nggak terlalu luas, tapi pas. Ada kursi single di sebelahnya yang secara estetik senada sama bantal di kasur. Secara fungsi, kursi ini juga klop dengan aktivitas saya di pagi menuju siang. Bagian atap teras ditutupi bahan transparan, jadi kalau siang kita duduk di sana bisa kepanasan. Nah kursi itulah yang saya gunakan buat baca-baca santai sambil selonjorin kaki ke kasur sambil pintu kamar dibuka, angin bebas masuk. Nggak butuh AC selain memang gak ada alat itu pula. Coba Windi dan Aksara jadi ikut, makin lengkap lah itu baca sambil liatin Windi nemenin Aksara tidur siang. “Gara-gara proyek ya?” Ian nebak. “Gara-gara proyeknya ada masalah. Hahaha” saya jawab sambil ketawa. Sebagai sesama arsitek, Ian pasti paham dengan kondisi Windi itu. Tadinya saya dan keluarga kecil kami, memang mau pemanasan tinggal di Bandung di penginapan ini. Rencananya, dalam waktu dekat Windi dan Aksara akan menemani saya kerja di ibu kota Jawa Barat ini. Pavilion 19 dipilih sebagai perkenalan sama suasana Bandung sekaligus menikmati desainnya yang khas. Kami beruntung diberi izin buat menginap. Padahal, nggak semua calon klien Ian dan Diana diizinkan tinggal di sini loh. Ternyata mereka hanya terima pasangan yang sudah menikah, itu pun belum tentu semua dikasih. Dan kebanyakan, tamunya berasal dari luar negeri. Yang paling sering sih dari Malaysia. Apalagi kalau bukan bulan puasa, di depan rumah ini ada orang jualan nasi uduk. Bagi orang Malaysia, itu semacam nasi lemak yang biasa mereka santap di kampung halamannya. Ada juga kisah pasangan kakek-nenek yang traveling keliling dunia pakai sepeda. Mereka nginapnya di Pavilion 19. Selain mereka, di kamar lain ada seorang turis dari Arab Saudi yang tinggal selama sebulan. Jamal namanya. Saya sempat liat orangnya di saf pertama ketika solat taraweh. Lalu ketemu dia besok paginya dan ngobrol. Katanya di Arab panas. Enak di sini adem. Kata Ian, Jamal ini kalau hujan malah hujan-hujanan. Saking senengnya. Padahal badannya gede. Jauh dari imaji bahwa yang suka hujan-hujanan biasanya anak kecil. Diana lalu gabung. Dia keluar dari pintu di belakang tempat saya duduk, masih dengan kemeja putih dan kalung berwarna cerah yang tergantung. Diana baru pulang dari Jakarta untuk urusan pekerjaan. Sebelum saya menginap di sini, dia sempat kirim SMS juga soal itu. Rupanya memang begitulah tradisi jika kita menggunakan jasa Airbnb. Pengalaman traveling bisa lebih lengkap dengan obrolan bersama host rumah yang kita singgahi. Diana sebenarnya nggak duduk dan ngobrol lama. Dengan ramah, dia bertanya tentang kesan saya tinggal di rumahnya. “Sesuai ekspektasi”, kata saya. “Tapi ada kayak bekas bulu kucing di bantal satunya, jadi saya balik”. Diana langsung menanggapi bahwa nanti akan diganti. Kata Ian, itu karena setelah dibersihkan pintu kamarnya kebuka jadinya kucing masih bisa masuk. Obrolan sama Ian malam itu lalu berlanjut lebih lama. Kemeja hijau tuanya mengesankan sensasi formal dari persona Ian. Dia baru pulang dari 347, perusahaan yang awalnya distro, sekarang udah berkembang merambah banyak bidang, meski tetap bernyawa desain. Rupanya Ian ini teman dekat para petinggi 347. Saya sendiri tadinya mau main ke sana, setelah lihat di instagram Sir Dandy bahwa ia akan tampil di perayaan dua dekade salah satu perintis industry distro itu. Rencana itu lalu batal dan di sinilah saya saat itu. Ngobrol sama ayah dua anak ini tentang banyak hal. Dari hiu paus di Gorontalo, tempat hiking asik di Bandung, program-program televisi sampai buku-buku yang kami baca. Nggak kerasa udah hampir jam 11 malam. Sebelum kembali ke ruangan masing-masing, saya diizinkan lihat koleksi buku di lantai satu rumah mereka. Kebanyakan majalah desain. Di lantai dua, kata Ian buku agama lebih banyak. Dari rak buku di lantai bawah itu, saya pinjam dua buku. “Saya selesaikan sampai sahur!” Janji yang tentu saja sulit ditepati. Waktu sahur tiba, jam 3 Ian bangunkan saya. Ia bawakan sekotak menu. Sebenarnya ada dua kotak, satu lagi buat Jamal di kamar seberang. Menu sahur malam itu rendang, lengkap dengan perkedel, sambal cabe ijo, sayur dan kerupuk. Di hari lain menunya ganti lagi, tapi dengan kualitas dan variasi serupa. Tadi malam misalnya, saya dikasih ayam goreng kremes plus kerupuk, sambal dan sayur kacang yang kuahnya manis. Di malam pertama, menunya lebih mengejutkan lagi. Pasalnya Ian sempat ngira saya nggak puasa. Jadinya belum disediakan makanan dari catering. Alhasil ketika jam 3 pagi saya ngetok rumahnya, dia cuma bisa janjikan roti, dan saya oke-oke saja. Beberapa saat kemudian justru menu rumahan yang disajikan. Ramadan di Pavilion 19, ada enaknya ada enggaknya. Tergantung sih, apakah Anda melihat fasilitas ini kelebihan atau kekurangan. Yang saya maksud, lokasinya yang tepat ada di sebelah mesjid. Bayangkan, suatu malam di masjid itu penceramahnya pidato bergaya Soekarno. Benar-benar mirip Bung Karno sampe saya rekamin suaranya buat dikirim ke Windi. Untung kontennya nggak radikal. Di kesempatan lain lebih selow sih khatib nya. Tapi ya tetep aja namanya pake pengeras suara, dan itu tepat di sebelah kita tinggal, buat yang nggak biasa rasanya mungkin mengganggu. Ian menceritakan pengalaman seorang traveler bule yang kaget dengan tradisi khas Indonesia ini. Katanya mereka kebangun saking kencengnya suara adzan subuh. Ian lalu jelaskan bahwa itu adzan, panggilan solat. “Emang ada yang dateng?” Mereka nanya. Hehe. Kita tahu bahwa tentu saja ada yang datang, dan itu luar biasa buat orang Eropa. Ian lalu sediakan penutup kuping di ruangan, dan peringatkan calon tamunya sebelum mereka memesan melalui airbnb. Bagi saya, lokasi yang berdekatan dengan masjid justru menguntungkan. Saya bisa solat berjamaah di kamar, toh instruksi gerakannya tetep kedengeran. Dengerin tausiah pun bisa sambil ngapa-ngapain. Pagi ini beberapa jam lagi saya check out. Ada pesan dari Diana masuk ke akun Airbnb saya. Ia berterima kasih atas kunjungan ini, meski juga menyayangkan Windi dan Aksara ga bisa gabung. Katanya, saya dapat diskon 10% untuk kunjungan berikutnya. Hehehe. Lumayan. Semoga ada kesempatan lain buat tinggal di sini sesuai rencana awal. Bersama keluarga. [] [envira-gallery id="1777"]

Ramadan di Pavilion 19

Malam itu saya lagi makan capcay, sambil nonton B-roll film Wonder Woman. Dua buah apel yang baru dibeli juga udah siap disikat setelah mangkok ini kosong. Di tengah situasi itu datanglah seorang pria, Ian namanya. Ia dan istrinya, Diana, pemilik tempat ini. Empat malam terakhir saya memang nginap di Pavilion 19. Tempat ini sebenarnya rumah biasa, tapi ada dua kamar yang disewakan melalui Airbnb. Pavilion 19 punya daya tarik tersendiri karena desain kamarnya yang unik. Satu kamar bernuansa terbuka dengan halaman luar berrumput hijau, kamar lain berdesain interior kekinian. Orang yang ada di balik kreasi ini adalah Diana, yang sehari-hari menjadi desainer interior. Suaminya seorang arsitek. Maka demikianlah, Pavilion 19 pun disewakan sejak setahun lalu. Di Pavilion 19, saya tinggal di kamar yang memiliki halaman terbuka. Awalnya, tempat ini teras rumah biasa. Sebagian luas lahannya lalu ditutupi lantai kayu buat jadi teras lain yang baru. Teras lamanya, dibangun ulang sehingga jadi kamar. Sebenarnya ruangannya nggak terlalu luas, tapi pas. Ada kursi single di sebelahnya yang secara estetik senada sama bantal di kasur. Secara fungsi, kursi ini juga klop dengan aktivitas saya di pagi menuju siang. Bagian atap teras ditutupi bahan transparan, jadi kalau siang kita duduk di sana bisa kepanasan. Nah kursi itulah yang saya gunakan buat baca-baca santai sambil selonjorin kaki ke kasur sambil pintu kamar dibuka, angin bebas masuk. Nggak butuh AC selain memang gak ada alat itu pula. Coba Windi dan Aksara jadi ikut, makin lengkap lah itu baca sambil liatin Windi nemenin Aksara tidur siang. “Gara-gara proyek ya?” Ian nebak. “Gara-gara proyeknya ada masalah. Hahaha” saya jawab sambil ketawa. Sebagai sesama arsitek, Ian pasti paham dengan kondisi Windi itu. Tadinya saya dan keluarga kecil kami, memang mau pemanasan tinggal di Bandung di penginapan ini. Rencananya, dalam waktu dekat Windi dan Aksara akan menemani saya kerja di ibu kota Jawa Barat ini. Pavilion 19 dipilih sebagai perkenalan sama suasana Bandung sekaligus menikmati desainnya yang khas. Kami beruntung diberi izin buat menginap. Padahal, nggak semua calon klien Ian dan Diana diizinkan tinggal di sini loh. Ternyata mereka hanya terima pasangan yang sudah menikah, itu pun belum tentu semua dikasih. Dan kebanyakan, tamunya berasal dari luar negeri. Yang paling sering sih dari Malaysia. Apalagi kalau bukan bulan puasa, di depan rumah ini ada orang jualan nasi uduk. Bagi orang Malaysia, itu semacam nasi lemak yang biasa mereka santap di kampung halamannya. Ada juga kisah pasangan kakek-nenek yang traveling keliling dunia pakai sepeda. Mereka nginapnya di Pavilion 19. Selain mereka, di kamar lain ada seorang turis dari Arab Saudi yang tinggal selama sebulan. Jamal namanya. Saya sempat liat orangnya di saf pertama ketika solat taraweh. Lalu ketemu dia besok paginya dan ngobrol. Katanya di Arab panas. Enak di sini adem. Kata Ian, Jamal ini kalau hujan malah hujan-hujanan. Saking senengnya. Padahal badannya gede. Jauh dari imaji bahwa yang suka hujan-hujanan biasanya anak kecil. Diana lalu gabung. Dia keluar dari pintu di belakang tempat saya duduk, masih dengan kemeja putih dan kalung berwarna cerah yang tergantung. Diana baru pulang dari Jakarta untuk urusan pekerjaan. Sebelum saya menginap di sini, dia sempat kirim SMS juga soal itu. Rupanya memang begitulah tradisi jika kita menggunakan jasa Airbnb. Pengalaman traveling bisa lebih lengkap dengan obrolan bersama host rumah yang kita singgahi. Diana sebenarnya nggak duduk dan ngobrol lama. Dengan ramah, dia bertanya tentang kesan saya tinggal di rumahnya. “Sesuai ekspektasi”, kata saya. “Tapi ada kayak bekas bulu kucing di bantal satunya, jadi saya balik”. Diana langsung menanggapi bahwa nanti akan diganti. Kata Ian, itu karena setelah dibersihkan pintu kamarnya kebuka jadinya kucing masih bisa masuk. Obrolan sama Ian malam itu lalu berlanjut lebih lama. Kemeja hijau tuanya mengesankan sensasi formal dari persona Ian. Dia baru pulang dari 347, perusahaan yang awalnya distro, sekarang udah berkembang merambah banyak bidang, meski tetap bernyawa desain. Rupanya Ian ini teman dekat para petinggi 347. Saya sendiri tadinya mau main ke sana, setelah lihat di instagram Sir Dandy bahwa ia akan tampil di perayaan dua dekade salah satu perintis industry distro itu. Rencana itu lalu batal dan di sinilah saya saat itu. Ngobrol sama ayah dua anak ini tentang banyak hal. Dari hiu paus di Gorontalo, tempat hiking asik di Bandung, program-program televisi sampai buku-buku yang kami baca. Nggak kerasa udah hampir jam 11 malam. Sebelum kembali ke ruangan masing-masing, saya diizinkan lihat koleksi buku di lantai satu rumah mereka. Kebanyakan majalah desain. Di lantai dua, kata Ian buku agama lebih banyak. Dari rak buku di lantai bawah itu, saya pinjam dua buku. “Saya selesaikan sampai sahur!” Janji yang tentu saja sulit ditepati. Waktu sahur tiba, jam 3 Ian bangunkan saya. Ia bawakan sekotak menu. Sebenarnya ada dua kotak, satu lagi buat Jamal di kamar seberang. Menu sahur malam itu rendang, lengkap dengan perkedel, sambal cabe ijo, sayur dan kerupuk. Di hari lain menunya ganti lagi, tapi dengan kualitas dan variasi serupa. Tadi malam misalnya, saya dikasih ayam goreng kremes plus kerupuk, sambal dan sayur kacang yang kuahnya manis. Di malam pertama, menunya lebih mengejutkan lagi. Pasalnya Ian sempat ngira saya nggak puasa. Jadinya belum disediakan makanan dari catering. Alhasil ketika jam 3 pagi saya ngetok rumahnya, dia cuma bisa janjikan roti, dan saya oke-oke saja. Beberapa saat kemudian justru menu rumahan yang disajikan. Ramadan di Pavilion 19, ada enaknya ada enggaknya. Tergantung sih, apakah Anda melihat fasilitas ini kelebihan atau kekurangan. Yang saya maksud, lokasinya yang tepat ada di sebelah mesjid. Bayangkan, suatu malam di masjid itu penceramahnya pidato bergaya Soekarno. Benar-benar mirip Bung Karno sampe saya rekamin suaranya buat dikirim ke Windi. Untung kontennya nggak radikal. Di kesempatan lain lebih selow sih khatib nya. Tapi ya tetep aja namanya pake pengeras suara, dan itu tepat di sebelah kita tinggal, buat yang nggak biasa rasanya mungkin mengganggu. Ian menceritakan pengalaman seorang traveler bule yang kaget dengan tradisi khas Indonesia ini. Katanya mereka kebangun saking kencengnya suara adzan subuh. Ian lalu jelaskan bahwa itu adzan, panggilan solat. “Emang ada yang dateng?” Mereka nanya. Hehe. Kita tahu bahwa tentu saja ada yang datang, dan itu luar biasa buat orang Eropa. Ian lalu sediakan penutup kuping di ruangan, dan peringatkan calon tamunya sebelum mereka memesan melalui airbnb. Bagi saya, lokasi yang berdekatan dengan masjid justru menguntungkan. Saya bisa solat berjamaah di kamar, toh instruksi gerakannya tetep kedengeran. Dengerin tausiah pun bisa sambil ngapa-ngapain. Pagi ini beberapa jam lagi saya check out. Ada pesan dari Diana masuk ke akun Airbnb saya. Ia berterima kasih atas kunjungan ini, meski juga menyayangkan Windi dan Aksara ga bisa gabung. Katanya, saya dapat diskon 10% untuk kunjungan berikutnya. Hehehe. Lumayan. Semoga ada kesempatan lain buat tinggal di sini sesuai rencana awal. Bersama keluarga. [] [envira-gallery id="1777"]

Ramadan di Pavilion 19

Malam itu saya lagi makan capcay, sambil nonton B-roll film Wonder Woman. Dua buah apel yang baru dibeli juga udah siap disikat setelah mangkok ini kosong. Di tengah situasi itu datanglah seorang pria, Ian namanya. Ia dan istrinya, Diana, pemilik tempat ini. Empat malam terakhir saya memang nginap di Pavilion 19. Tempat ini sebenarnya rumah biasa, tapi ada dua kamar yang disewakan melalui Airbnb. Pavilion 19 punya daya tarik tersendiri karena desain kamarnya yang unik. Satu kamar bernuansa terbuka dengan halaman luar berrumput hijau, kamar lain berdesain interior kekinian. Orang yang ada di balik kreasi ini adalah Diana, yang sehari-hari menjadi desainer interior. Suaminya seorang arsitek. Maka demikianlah, Pavilion 19 pun disewakan sejak setahun lalu. Di Pavilion 19, saya tinggal di kamar yang memiliki halaman terbuka. Awalnya, tempat ini teras rumah biasa. Sebagian luas lahannya lalu ditutupi lantai kayu buat jadi teras lain yang baru. Teras lamanya, dibangun ulang sehingga jadi kamar. Sebenarnya ruangannya nggak terlalu luas, tapi pas. Ada kursi single di sebelahnya yang secara estetik senada sama bantal di kasur. Secara fungsi, kursi ini juga klop dengan aktivitas saya di pagi menuju siang. Bagian atap teras ditutupi bahan transparan, jadi kalau siang kita duduk di sana bisa kepanasan. Nah kursi itulah yang saya gunakan buat baca-baca santai sambil selonjorin kaki ke kasur sambil pintu kamar dibuka, angin bebas masuk. Nggak butuh AC selain memang gak ada alat itu pula. Coba Windi dan Aksara jadi ikut, makin lengkap lah itu baca sambil liatin Windi nemenin Aksara tidur siang. “Gara-gara proyek ya?” Ian nebak. “Gara-gara proyeknya ada masalah. Hahaha” saya jawab sambil ketawa. Sebagai sesama arsitek, Ian pasti paham dengan kondisi Windi itu. Tadinya saya dan keluarga kecil kami, memang mau pemanasan tinggal di Bandung di penginapan ini. Rencananya, dalam waktu dekat Windi dan Aksara akan menemani saya kerja di ibu kota Jawa Barat ini. Pavilion 19 dipilih sebagai perkenalan sama suasana Bandung sekaligus menikmati desainnya yang khas. Kami beruntung diberi izin buat menginap. Padahal, nggak semua calon klien Ian dan Diana diizinkan tinggal di sini loh. Ternyata mereka hanya terima pasangan yang sudah menikah, itu pun belum tentu semua dikasih. Dan kebanyakan, tamunya berasal dari luar negeri. Yang paling sering sih dari Malaysia. Apalagi kalau bukan bulan puasa, di depan rumah ini ada orang jualan nasi uduk. Bagi orang Malaysia, itu semacam nasi lemak yang biasa mereka santap di kampung halamannya. Ada juga kisah pasangan kakek-nenek yang traveling keliling dunia pakai sepeda. Mereka nginapnya di Pavilion 19. Selain mereka, di kamar lain ada seorang turis dari Arab Saudi yang tinggal selama sebulan. Jamal namanya. Saya sempat liat orangnya di saf pertama ketika solat taraweh. Lalu ketemu dia besok paginya dan ngobrol. Katanya di Arab panas. Enak di sini adem. Kata Ian, Jamal ini kalau hujan malah hujan-hujanan. Saking senengnya. Padahal badannya gede. Jauh dari imaji bahwa yang suka hujan-hujanan biasanya anak kecil. Diana lalu gabung. Dia keluar dari pintu di belakang tempat saya duduk, masih dengan kemeja putih dan kalung berwarna cerah yang tergantung. Diana baru pulang dari Jakarta untuk urusan pekerjaan. Sebelum saya menginap di sini, dia sempat kirim SMS juga soal itu. Rupanya memang begitulah tradisi jika kita menggunakan jasa Airbnb. Pengalaman traveling bisa lebih lengkap dengan obrolan bersama host rumah yang kita singgahi. Diana sebenarnya nggak duduk dan ngobrol lama. Dengan ramah, dia bertanya tentang kesan saya tinggal di rumahnya. “Sesuai ekspektasi”, kata saya. “Tapi ada kayak bekas bulu kucing di bantal satunya, jadi saya balik”. Diana langsung menanggapi bahwa nanti akan diganti. Kata Ian, itu karena setelah dibersihkan pintu kamarnya kebuka jadinya kucing masih bisa masuk. Obrolan sama Ian malam itu lalu berlanjut lebih lama. Kemeja hijau tuanya mengesankan sensasi formal dari persona Ian. Dia baru pulang dari 347, perusahaan yang awalnya distro, sekarang udah berkembang merambah banyak bidang, meski tetap bernyawa desain. Rupanya Ian ini teman dekat para petinggi 347. Saya sendiri tadinya mau main ke sana, setelah lihat di instagram Sir Dandy bahwa ia akan tampil di perayaan dua dekade salah satu perintis industry distro itu. Rencana itu lalu batal dan di sinilah saya saat itu. Ngobrol sama ayah dua anak ini tentang banyak hal. Dari hiu paus di Gorontalo, tempat hiking asik di Bandung, program-program televisi sampai buku-buku yang kami baca. Nggak kerasa udah hampir jam 11 malam. Sebelum kembali ke ruangan masing-masing, saya diizinkan lihat koleksi buku di lantai satu rumah mereka. Kebanyakan majalah desain. Di lantai dua, kata Ian buku agama lebih banyak. Dari rak buku di lantai bawah itu, saya pinjam dua buku. “Saya selesaikan sampai sahur!” Janji yang tentu saja sulit ditepati. Waktu sahur tiba, jam 3 Ian bangunkan saya. Ia bawakan sekotak menu. Sebenarnya ada dua kotak, satu lagi buat Jamal di kamar seberang. Menu sahur malam itu rendang, lengkap dengan perkedel, sambal cabe ijo, sayur dan kerupuk. Di hari lain menunya ganti lagi, tapi dengan kualitas dan variasi serupa. Tadi malam misalnya, saya dikasih ayam goreng kremes plus kerupuk, sambal dan sayur kacang yang kuahnya manis. Di malam pertama, menunya lebih mengejutkan lagi. Pasalnya Ian sempat ngira saya nggak puasa. Jadinya belum disediakan makanan dari catering. Alhasil ketika jam 3 pagi saya ngetok rumahnya, dia cuma bisa janjikan roti, dan saya oke-oke saja. Beberapa saat kemudian justru menu rumahan yang disajikan. Ramadan di Pavilion 19, ada enaknya ada enggaknya. Tergantung sih, apakah Anda melihat fasilitas ini kelebihan atau kekurangan. Yang saya maksud, lokasinya yang tepat ada di sebelah mesjid. Bayangkan, suatu malam di masjid itu penceramahnya pidato bergaya Soekarno. Benar-benar mirip Bung Karno sampe saya rekamin suaranya buat dikirim ke Windi. Untung kontennya nggak radikal. Di kesempatan lain lebih selow sih khatib nya. Tapi ya tetep aja namanya pake pengeras suara, dan itu tepat di sebelah kita tinggal, buat yang nggak biasa rasanya mungkin mengganggu. Ian menceritakan pengalaman seorang traveler bule yang kaget dengan tradisi khas Indonesia ini. Katanya mereka kebangun saking kencengnya suara adzan subuh. Ian lalu jelaskan bahwa itu adzan, panggilan solat. “Emang ada yang dateng?” Mereka nanya. Hehe. Kita tahu bahwa tentu saja ada yang datang, dan itu luar biasa buat orang Eropa. Ian lalu sediakan penutup kuping di ruangan, dan peringatkan calon tamunya sebelum mereka memesan melalui airbnb. Bagi saya, lokasi yang berdekatan dengan masjid justru menguntungkan. Saya bisa solat berjamaah di kamar, toh instruksi gerakannya tetep kedengeran. Dengerin tausiah pun bisa sambil ngapa-ngapain. Pagi ini beberapa jam lagi saya check out. Ada pesan dari Diana masuk ke akun Airbnb saya. Ia berterima kasih atas kunjungan ini, meski juga menyayangkan Windi dan Aksara ga bisa gabung. Katanya, saya dapat diskon 10% untuk kunjungan berikutnya. Hehehe. Lumayan. Semoga ada kesempatan lain buat tinggal di sini sesuai rencana awal. Bersama keluarga. [] [envira-gallery id="1777"]

Friday, June 2, 2017

Andy Noya

Leonardo Kamilius, cuma butuh satu buku untuk menggerakkan niatnya membantu masyarakat yang membutuhkan modal usaha di utara Jakarta: Banker to the Poor (Muhammad Yunus, 2006). Aang Permana, juga menyebut satu buku yang membuatnya bulat meninggalkan pekerjaan sebagai peneliti dan membuka usaha pengolahan ikan: Mereka Bilang Saya Gila (Bob Sadino, 2008). Setelah membaca Andy Noya: Kisah Hidupku (Adhi KSP & Andy F. Noya), saya merasa menemukan sebuah buku yang posisinya seperti dua buku di atas: meneguhkan tekad—dalam kasus saya, menjadi wartawan.

Kenapa buku ini sedemikian penting? Pertama, “Kisah Hidupku” mengupas tuntas masa lalu wartawan yang bersinar dengan program Kick Andy-nya itu. Tuturannya kronologis, dimulai dari masa kecilnya di Surabaya, hingga kiprah jurnalistik teranyarnya dan Kick Andy Foundation. Paparan kisahnya pun detil. Tiap bab (dalam buku ada 11 “bagian”) tersusun dari 4 hingga belasan subbab. Di dalam turunan bab itulah terungkap bahwa karier kewartawanan Andy bermula dari rangkaian pengalaman yang bukan cuma sudah digariskan, tapi diupayakan.

Andy lahir dari sebuah keluarga yang terpisah. Ibunya di Surabaya, sang ayah di Jayapura. Kehidupan di ibu kota Jawa Timur itu penuh perjuangan. Keluarga kecil itu harus tinggal di sebuah garasi. Belum lagi kakak Andy kena polio. Mata Andy pernah juling. Pergaulannya di sana pun menyesatkan hingga ia sempat disebut-sebut akan jadi penjahat. Sampai kemudian ia pindah ke Malang sebelum hijrah lagi ke Jayapura. Di kota pusat provinsi Papua itu, Andy menghabiskan masa remaja. Di era ini pula kenangannya bersama sang ayah terbentuk. Dalam sebuah edisi Kick Andy, pria kelahiran tahun 1960 ini pernah terbawa emosi ketika seorang narasumber berkisah tentang ayahnya. Buku ini menjelaskan alasan di balik kejadian itu.

Dari buku setebal lebih dari 400 halaman ini, saya menandai sejumlah hal. Selain simpulan dari sebuah kisah, halaman yang memuat data dan fakta tentang beberapa kejadian juga menarik untuk ditandai. Misalnya kisah-kisah ludruk yang sering Andy saksikan. Dari Lutung Kasarung, hingga Sam Pek-Eng Tay. Ada juga informasi tentang kasus cessie Bank Bali. Hal lain yang juga saya anggap penting, adalah pengalaman Andy sebagai wartawan. Berkat kegigihannya memperoleh keterangan seorang narasumber, ia kerap mendapat kesempatan mewawancarai narasumber A1. Lim Sioe Liong misalnya. Ketika itu konglomerat dengan nama lain Sudono Salim ini sangat tertutup kepada pers. Maka wajar kalau kesempatannya mewawancara menjadi kebanggaan tersendiri. Dalam hal perolehan narasumber, Andy juga mengaku gigih. Ketika turut serta dalam proyek buku Apa dan Siapa—yang kemudian jadi pijakan karir pertamanya sebagai wartawan—ia mendapat kredit khusus karena mewawancarai lebih banyak narasumber. Di awal masa kewartawanannya pula, Andy sudah berkomitmen menolak pemberian dari narasumber. Raihan-raihan semacam itulah yang lalu mengantarkannya ke anak tangga karir jurnalistik yang lebih tinggi, bahkan menjadi pemimpin redaksi.

Dari pengalamannya sebagai pemimpin redaksi, ada beberapa kisah yang saya tandai. Suatu saat ketika memimpin Seputar Indonesia, ia memperjuangkan penayangan siaran langsung dengan durasi lebih panjang. Andy harus berdebat sengit dengan jajaran direksi demi izin itu. Permintaannya kemudian dikabulkan, dan tim pimpinannya mengalahkan program saingan di stasiun TV lain. Sebagai pemimpin redaksi, Andy juga harus mempertimbangkan keamanan tim lapangannya. Kisah mendebarkan itulah yang digambarkan ketika tim liputan RCTI harus diselamatkan dari amukan massa pro-kemerdekaan Timor Timur. Ketika memimpin Metro TV, ia juga menampakkan ketegasan dengan memecat reporter yang menolak memakai dasi.

Buku ini enak dibaca. Rasanya saya seperti menyaksikan program Kick Andy, karena banyolan khas dari tayangan itu tetap ada. Tengok halaman 213 ketika ia berkisah tentang pacar yang kemudian jadi istrinya. Ada kalimat dalam tanda kurung “maaf agak lebay supaya istriku senang membaca tulisan ini.” Meski begitu, biografi rilisan 2015 ini bukan berarti tanpa cela. Sebuah resensi yang saya baca di situs Penerbit Buku Kompas lebih jeli menyampaikan koreksi lebih tajam. Jadi, jika ini buku yang (sekali lagi) meneguhkan tekad saya menjadi wartawan, buku apa yang menggerakkan Kamu? []