Friday, April 30, 2021

Dua Hal Tentang Aliens

 Ada dua hal yang bikin saya merasa perlu segera nonton film Aliens dari tahun 1986. Pertama, ulasan vokalis Seringai Arian13 tentang artwork album metal/ hardcore.


Seseorang nambahin bahwa beberapa album musik sangar, dibuat seniman yang juga ngedesain karakter Aliens. Dialah A.R. Giger yang sampul-sampul album buatannya bisa kamu simak di foto sebelah.


Kayaknya saya bakal menikmati film ini seperti liat pameran visual art, dan memang begitu ternyata. Detil set-nya gelap dan menjijikkan.


Alasan kedua, Netflix suka punya tanggal kadaluarsa buat nampung film-film lama. Misalnya film American Psycho yang untungnya sempat saya tonton. Film dokumenter Senna baru saya tamatin setengah. Besoknya udah ilang.


Pas agak senggang, saya tontonlah Aliens. Takutnya film garapan James Cameron ini keburu lenyap dari My List kayak iRobot—yang kelamaan saya anggurin.


Alhasil tuntaslah rasa penasaran saya. Yang awalnya muncul setelah nonton film Prometheus. Keduanya ternyata punya beberapa kesamaan.


Ada tokoh humanoid—saya lebih suka David di Prometheus dibanding Bishop di Aliens. Tokoh utama perempuan—jangan bandingin cewek, dosa. Haha. Dan tentu saja, dua judul itu nampilin alien berupa makhluk buas yang punya siklus hidup unik. Ada yang kayak terumbu karang, kalajengking, sampe wujud xenomorph yang legendaris itu.


Bedanya, Alien nyeritain Ripley yang balik ke lokasi dia dan kru diserang xenomorph. Prometheus, tentang Shaw yang penasaran sama asal-usul manusia. Dua-duanya sama-sama seru. Saya sih suka. []

Saturday, April 24, 2021

Kongspirasi

Kong vs Godzilla sempat jadi titik cerah di ujung lorong kegelapan industri bioskop. Sampai 80an persen dari 50 persen kapasitas maksimum bioskop, katanya rata-rata bisa terisi.


Alasannya, karena memang film ini menyajikan pengalaman sinematik yang tak tergantikan dengan teknologi lain selain sensasi sinematik ruang bioskop. Saya sendiri nonton di teater 4DX, demi impresi maksimal.


Selain alasan cinematic experience, sutradara film ini juga menarik. Adam Wingard saya ikuti karyanya sejak VHS.


Meskipun Death Note versi Netflix bikin dahi bekernyit, kesadisan yang jadi ciri khas Adam dari film pertamanya, nggak hilang. Maka, eksplorasi “sidik jari” itulah yang sepertinya menarik buat saya lihat di pertarungan antara Kong dan Godzilla.


Lain dari itu, alur kisah duel raksasa ini juga terkait dengan sebuah teori konspirasi. Salah satu tokoh dalam film ini, ahli bumi. Dan planet bumi yang ditempati dalam jagad mereka, adalah bumi bolong.


Hollow earth atau bumi yang bagian dalamnya berongga, jadi salah satu teori konspirasi yang berusaha memperpanjang pendeknya pengetahuan manusia tentang planet ini. Kondisi imajiner ini pada akhirnya berkaitan dengan ujung bentrok antara Kong dan Godzilla. []

Jobs, Apple, Kematian

Saya baca bab awal dan akhir buku biografi Steve Jobs setebal 600an halaman. Penulisnya Walter Isaacson, yang juga nulis biografi Einstein sampai Leonardo da Vinci.


Di judul pertama buku tentang pendiri Apple ini, Walter cerita tentang permintaan Steve untuk dibuatkan buku biografi tentang dirinya. Dan dia menolak.


Itu tahun 2004. Tahun 2009, istri Steve membocorkan bahwa suaminya punya kanker. Itu sinyal bahwa “sekaranglah saatnya” untuk membuat biografi sang tokoh revolusioner. Dua tahun kemudian, buku ini dirilis.


Penulisnya bilang bahwa Jobs membebaskan dia menulis sesuai apa yang ingin dia tulis, tanpa intervensi sang subjek. Artinya dia bebas menulis dengan (menurut istilah yang dipakai penulis) se-“adil dan transparan” mungkin. Meski begitu, Walter tetap tawadu dengan bilang bahwa dirinya bisa saja terjebak “efek rashomon”—kecenderungan perbedaan kisah karena perbedaan ingatan tiap narasumber.


Bab Pendahuluan berakhir dengan kalimat pancingan yang mengarahkan pembaca mengikuti kisah hidup Steve Jobs secara kronologis. Dimulai dari kisah kedua orang tuanya.


Bab berjudul Warisan, menutup buku. Ada ulasan bahwa konsep Zen sangat berpengaruh terhadap temuan-temuan yang dicetuskan Jobs—sehingga ia berpersona kharismatik dan inspiratif. Meski begitu Zen juga tak mampu membuatnya menahan diri, hingga juga dikenang sebagai (menurut istilah penulis) si bedebah.


Di tengah atmosfer diskursus publik yang tertuju ke “silicon valley”, sepertinya buku ini jadi relevan lagi. Meski sekali lagi, ini biografi salah satu tokoh di balik silicon valley, bukan bahas silicon valley itu sendiri.


Biografi Steve Jobs ditutup dengan perbincangan Walter dan Steve tentang filosofi kematian. Jobs ternyata menerapkan kepercayaannya soal itu dalam desain peranti Apple.


Jika kontemplasi tentang kematian mengakhiri buku tebal ini, maka kematian Steve pulalah yang mengawali penerbitan buku bersampul Jobs menyentuh dagu ini. Ia wafat tanggal 5 Oktober 2011, sementara buku biografinya dirilis 24 Oktober 2011 pula. []

Wednesday, April 21, 2021

Gara-Gara Lelaki Harimau

Ini cerita tentang pengalaman saya membaca novel buatan Eka Kurniawan berjudul Lelaki Harimau. Bukunya saya beli sebelum masa pandemi, dan baru beres dibaca akhir pekan lalu, karena Eka menulis dengan kalimat yang beranak-anak dan banyak koma, sehingga rasanya bertele-tele meskipun mungkin penting untuk menggambarkan suasana atau hal lain di tokoh utama, semacam kalimat yang saya tulis ini.

“Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.”

Tuh kan. Satu kalimat loh itu. Jadi kalimat pertama novel setebal 190 halaman ini. Saya sampai harus menggarisbawahi nama tokoh. Buat tetep bisa berdiri di jalur alur cerita yang digariskan penulis. Intinya biar tetap paham. Hehe. Bahwa ini kisah pembunuhan. Margio membunuh Anwar Sadat.

Sejak awal kisah, Margio mengakui bahwa yang membunuh Sadat bukan dirinya, melainkan seekor harimau putih. Benarkah begitu? Lembar demi lembar yang saya lahap ternyata mengungkap hal yang lebih dalam.

Apresiasi

Di halaman muka novel yang sampulnya didesain oleh Eka Kurniawan sendiri, ada titel “Prince Claus Award 2018”. Penghargaan ini diberikan kerajaan Belanda buat pencapaian bidang kebudayaan dan pembangunan.

Begitu sampul dibuka, puja-puji lain langsung kita jumpai dari banyak nama besar di jagat kepenulisan. Misalnya Bernard Batubara yang menulis di Jawa Pos bahwa “membaca novel-novel Eka Kurniawan adalah membaca karya-karya pengarang dunia di dalam satu buku.”

Susie Rodarme, dari Book Riot, menyanjung bahwa Kurniawan telah dibanding-bandingkan dengan Gabriel Garcia Marquez. Penulis asal Kolombia itu terkenal dengan genre bernama magical realism.

Sentuhan magis berupa kehadiran harimau di dalam tubuh Margio, mewarnai realisme situasi yang dihadapi para tokoh utama. Barangkali itulah yang dimaksud realisme magis ala Eka Kurniawan.

Diawali O

Selain pernah menonton film yang disadur dari cerpennya, saya membaca karya Eka dimulai dari O. Waktu itu saya beli novelnya setelah dia baru dirilis. Penulis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat ini ternyata sudah aktif sejak tahun 2000an. Lelaki Harimau ini saja terbit perdana tahun 2004, meskipun versi sampul bergambar muka orang berkumis kucing baru dirilis 10 tahun setelahnya--dan didesain oleh Eka sendiri.

O berkisah tentang monyet yang jatuh cinta kepada manusia. Sesederhana itu premisnya. Dari pertalian kisah Si Monyet O yang ingin berubah jadi manusia, berpilin cerita lain yang tak kalah dramatik. Meskipun, sekali lagi: ada bagian yang terasa bertele-tele. Mungkin saya memang nggak se-sastrawi itu.

Memburu Lelaki Harimau

Pengalaman membaca O membuat saya merasa untuk tidak perlu melanjutkan judul lain yang ditulis Eka. Nyatanya, jalan hidup kita kadang ditentukan algoritma media sosial. Ketertarikan buat beli dan baca Lelaki Harimau, sebenarnya bermula dari sebuah caption Instagram di akun Klub Baca Bandung.

Di luar dugaan, Lelaki Harimau memancing saya lagi buat baca buku Eka Kurniawan lain. Soalnya, Kyai Jahro katanya terkait dengan novel Cantik Itu Luka. Dan karangan pertama Eka Kurniawan itulah yang mengantarkan dia disebut-sebut sebagai The Next Pramoedya Ananta Toer—begawan sastra Indonesia.

Apalagi, dalam waktu dekat novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bakal muncul versi filmnya. Katanya sih roman rilisan tahun 2014 ini lebih badass dibanding karya Eka lain.

Yang Terlewat

Sebelum melanjutkan ke judul-judul itu, saya tergelitik dengan satu ulasan lagi di halaman awal Lelaki Harimau. Dalam Koran Tempo, Aquarini Priyatna Prabasmoro menulis “Dalam Lelaki Harimau, Margio bukan hanya jatuh cinta pada ibunya sendiri, namun juga menghargai kegilaan ibunya.”

Apa? Jatuh cinta? Sebenarnya nggak ada gambaran jatuh cinta “erotik” dalam hubungan ibu-anak antara Margio dan Nuraeni, tapi memang ada cinta “platonik” yang diekspresikan Margio. Buat lebih merasakan itu, saya harus baca ulang. Kapan lagi kan, bisa baca buku dua kali, langsung secara berurutan. []

Saturday, April 10, 2021

Dari Buku Humor Belajar Sejarah

 Sebelum jadi presiden, tahun 1986 Gus Dur menulis kata pengantar untuk sebuah buku. Judulnya Mati Ketawa Ala Rusia—kisah menarik di balik penulisan mukadimah buku itu, bisa dibaca lewat link di bio.


Setelah Gus Dur sering kita kenang sebagai kritikus humoris, buku itu jadi semacam pusaka. Bagi saya sendiri, judul buku yang ada kata “Mati Ketawa”-nya jadi menjanjikan sebuah kesegaran. Buktinya, begitu presiden keempat RI itu baca sekilas Mati Ketawa Ala Rusia, tulisan pengantarnya juga otomatis—meski nggak seotomatis itu—menarik dibaca pula.


Tibalah saya pada sebuah pertemuan dengan Mati Ketawa yang satu ini: Ala Nazi. Rusia dan Nazi berbagi satu karakter serupa: diktatoriat. Dan kritik atas pemusatan kekuasaan itu dilawan dengan humor. Bagaimana bisa?


Ternyata memang bisa. Entah siapa penulis kata pengantar yang saya baca—nggak ada byline atau keterangan namanya. Yang jelas bukan Gus Dur. Buku ini terbitan 2014.


Paragraf pertama foreword buku seukuran genggaman tangan itu berisi kutipan kalimat. Bahwa janganlah kita melawan diktator di atas podium. Dia pasti orator ulung, kita bakal keok. Lantas lawanlah dia dengan lelucon. Hitler saja katanya takut dengan humor.


Buku ini isinya kisah-kisah singkat. Persis format lelucon sejenis yang Gus Dur sering bagikan. Googling saja pakai kata kunci “humor gus dur”. Banyak kutipan dongeng lucu dengan format yang punya alur kisah, dan diakhiri kalimat tak terduga. 


Begitu juga cerita-cerita dalam Mati Ketawa Ala Nazi ini. Satu halaman bisa berisi dua sampai empat judul. Saya tergelak di bacaan pertama, tentang presiden Jerman yang pelupa.


Menariknya, saya juga jadi belajar sejarah. Karena memang disediakan konteks informasi tentang humor yang dimaksud. Ada nama Goebels, Göring, hingga Hindenburg. Bagi orang awam macam saya, orang yang paling terasosiasi ke Nazi Jerman ya Hitler. Dan ternyata saya jadi lebih paham bahwa Hitler tak berdaya tanpa beberapa nama di atas.


Meski muatan sejarahnya cukup bergizi, tujuan saya beli dan baca buku ini sebenarnya bukan biar hafal nama dan istilah. Saya pengen humoris. Haha. Nggak tau deh, buku ini beneran bisa bantu saya jadi nggak kayak kanebo kering, atau justru bisa jadiin saya jago ngelemesin situasi. Sejauh ini sih belum keliatan efeknya. Buktinya, saya kesulitan nyari kalimat penutup yang kocak buat tulisan ini. Hehe.

Alan Karlsson di Usia 101

Allan Karlsson pernah terlibat di banyak peristiwa penting dunia. Salah satunya, ada di revolusi Spanyol. 

Saat usianya 100 tahun, dia lompat ke luar jendela dan masuk ke lingkaran mafia. Kisah ini ada di film “The 100 Year-Old Man Who Climbed Out The Window and Dissapear”—iya, judulnya panjang. Haha.

Nah, ternyata ada lanjutannya. Di usia 101 tahun, Alan masuk ke pencarian sebuah resep rahasia yang jadi kunci diplomasi AS-Rusia tahun 1971. Di kehidupan nyata, memang Nixon dan Brezhnev sepakat soal pembatasan operasional kendaraan perang.

Di cerita fiksi ini, ceritanya operasi bernama SALT itu sebenarnya kamuflase buat saling sepakat soal resep minuman rahasia. Di sinilah serunya film berjudul (siap-siap) “The 101 Year-Old Man Who Skipped Out On The Bill and Dissapear” ini.

Plus, sama kayak film pertama: unsur black comedy kental. Di film pertama, ada gengster yang ga sengaja kekurung di dalam freezer dan meninggal. Tragis, tapi kocak. Di sini, ada tokoh yang keselek tutup botol—dan meninggal. Konyol. Haha.

Dan kalau mau paham lebih detil latar belakang tiap tokoh, memang harus ngikutin film pertama dulu. Tapi tanpa itu pun, alur kisahnya tetep bisa diikutin.

Oh satu lagi. Film pertama diakhir di Bali, film kedua dimulai dari Bali juga. []