Thursday, August 16, 2018

Grohl

Kamis minggu lalu, Foo Fighters merilis video musik/ dokumenter tentang dave grohl selama 30 menit. Delapan menit awal video itu bercerita tentang 22 menit performa musik yang akan dia tampilkan. Dia lalu mengenalkan anak-anak dari sebuah studio musik bernama Join The Band. Di studio berumur 20 tahun itulah anak Dave belajar main musik. Dia juga mewawancarai pemilik studio dan anak-anak didiknya. Dari perbincangan itu, Dave kemudian merasa melakukan hal yang sama. Memperbaiki diri, mencoba hal baru yang belum pernah dia lakukan. Salah satunya, merekam lagu sepanjang sekitar 23 menit dengan 7 instrumen yang dia mainkan sendiri secara live recording. Jadilah: Play.

Kalau dipecah, lagu Play menurut saya setidaknya bisa jadi tiga sub lagu. Judul pertama bisa ada di interval menit ke-9 sampai 19:11. Potongan kedua di rentang 19:12-23:27. Nah sisanya, masih di hitungan satu sub lagu, meskipun ada bagian melambat jelang akhir durasi. Yang menarik, intro paruh ketiga lagu ini, rasanya mirip intro lagu Smells Like Teen Spirit milik Nirvana.

Dave Grohl memang alumni trio Nirvana, sebagai penggebuk drum. Akhir-akhir ini, saya lagi baca lagi biografi Kurt Cobain, vokalis Nirvana yang meninggal tahun 1994 karena bunuh diri. Di biografi berjudul Heavier Than Heaven itu—dicomot dari nama salah satu tur promo album Nirvana di awal karir—ada kisah tentang pertama kali Dave masuk Nirvana.

Dalam bab berjudul Love You So Much, dikisahkan bahwa kala itu (Mei-Desember 1990), Nirvana gonta-ganti drummer. Dari Chad Channing sampai Dan Peters. Mereka nggak betah di Nirvana karena tabiat gitaris bandnya yang destruktif.
“Sudah menjadi hal umum bagi Kurt saat itu untuk menerjang drum Chad..Di Boston, Kurt malah sempat melemparkan satu teko kaca penuh air ke arah Chad, yang untung saja meleset beberapa inci dari kupingnya.” (hal. 215)
“Show itu menjadi show Dan Peters yang pertama dan terakhir bersama Nirvana meski saat itu dia bermain amat baik. Pendatang baru itu bernama Dave Grohl, 21 tahun, yang aslinya berasal dari Virginia.” (hal. 227)
Buku  Heavier Than Heaven belum khatam lagi saya baca. Sebelum ini, saya khatamkan biografi karangan Charles R. Cross ini tahun 2007 atau 2008. Barangkali kalau dibaca dengan bekal pengalaman dan pengetahuan di usia yang lebih tua 10 tahunan, ada persepsi lain yang muncul dari bacaan satu ini. []

Monday, August 6, 2018

Kolaborasi

Intan mengangkat tangan. Dia memang paling aktif pagi itu. Matanya selalu memancarkan binar antusiasme. Meskipun yang dia kisahkan sebenarnya cerita pilu. Intan yang kini duduk di kelas 11, punya seorang kerabat yang gagal melanjutkan studi ke SMA. Musababnya, sistem zonasi. Maksudnya, siswa yang domisilnya jauh dari sekolah yang ingin dia masuki, saat seleksi akan kesulitan buat bersaing dengan siswa yang lebih dekat ke sekolah. Orang yang diceritakan Intan akhirnya lanjut belajar di SMK, karena tinggal di luar kecamatan Limbangan.

Soal sistem zonasi, Novia punya pendapat beda. Siswa kelas 12 yang menyandang sabuk cokelat karate ini memandang skema penerimaan siswa baru tahun ini sudah bagus. Katanya agar kualitas pendidikan merata. Benarkah demikian? 

Saya lalu bertanya ke siswa kelas satu. Sayangnya nggak ada yang berani bercerita di hadapan 20 orang lebih di ruangan itu. Saya sampai harus minta tolong Yayu sang ketua OSIS buat tunjuk adik kelasnya biar bicara. Saya memaksa karena memang mereka harus berani berpendapat di depan banyak orang. Dan keberanian itulah salah satu hal yang ingin kami tumbuhkan di dalam diri adik-adik kami, pelajar di Limbangan (khususnya).

Saya bercerita tentang pengalaman kami bertiga: Reza, Rizki, Aldi. Kami hadir ke SMAN 13 Garut buat berbagi pengalaman. Persis semacam kelas inspirasi (KI), cuma targetnya aja yang beda—KI bicara di depan siswa SD, kami presentasi di hadapan remaja SMA. Tapi golnya sama. Kami mau, anak-anak dari Kecamatan Limbangan bisa punya banyak pilihan untuk berprofesi. Untuk berkontribusi ketika indonesia menuai bonus demografi.

Tulisan ini, selain berupa ulasan sekaligus juga ajakan buat siapa pun profesional asal Limbangan Kabupaten Garut (khususnya), untuk ikut berbagi pengalaman. Tentang masa SMA yang menyenangkan sekaligus menegangkan, tentang dihidupi dan menghidupkan renjana (passion), tentang hal-hal positif yang bisa ditiru remaja di kampung kita. Bisa jadi, dari SMA Limbangan akan lahir seorang sutradara visioner di kemudian waktu. Hari ini dia getol bikin film, bermodal kamera handphone. Siapa sangka pula, nanti bakal ada pengarang berpengaruh dari SMA ini. Sekarang dia masih cari cara publikasikan kumpulan tulisannya. Saya bertemu mereka. Ngobrol sama mereka. Di Limbangan. Dan nggak mau mereka jadi bagian dari video lagu Lentera Jiwa yang menampilkan orang-orang dengan keseharian di bidang kerja yang tidak mereka suka—kami sempat tayangkan video itu sebagai selingan.

Di kesempatan berikutnya, mereka mau dikenalkan lagi dengan luasnya dunia. Bukan cuma dari mata jurnalis, farmasis, geofisis. Sambil menunggu kepastian jadwal pertemuan kedua, untuk sementara kami berkomunikasi dulu lewat grup whatsapp. Bisa bahas pelajaran sekolah, latihan berbahasa inggris, atau mungkin saling bantu kalau ada kesulitan di aplikasi belajar coding yang kami pakai. Intinya, kita berkolaborasi. Mari!