Tuesday, April 28, 2015

Menyaksikan Bangkitnya Bogor Kreatif

Hari sabtu lalu saya datang ke sebuah acara peluncuran kembali komunitas Bogor Kreatif. Komunitas itu aktif di pengolahan daur ulang barang bekas untuk dijadikan kreasi baru yang lebih bernilai. Mereka punya galeri yang berlokasi di Jalan Tentara Pelajar Bogor. 


Sebenarnya komunitas itu sudah ada sejak tiga tahun lalu, tapi dimeriahkan kembali biar orang-orang tahu ada komunitas semacam itu. Kalau bermain-main ke galerinya, kita bisa lihat sejumlah koleksi unik, seperti koper yang terbuat dari kertas tebal, sampai buku yang membahas Bogor di tahun 1800an.


Yang juga menarik di acara malam itu, adalah sejumlah penampil di panggung kecilnya. Berikut ini foto dan video penampil yang sempat saya abadikan. Video penampilan asphoria kepotong karena memori handphone gak cukup pas rekam lagu ketiga. Waktu rekam lagu kedua, malah kepencet tombol lain jadi video keputus. Hehe. [rhezaardiansyah]


Nonton adopta live. Band post rock keren dari bogor. Musiknya mirip lagu2 moonlit sailor
Menyaksikan dangdut didendangkan orkes pemuda madu. Vokalisnya gimbal, pemain bass nya sipit, pemain gitarnya pakai efek musik metal, pemain tamtamnya rancang menabuh alatnya. Jadi inget drummer forgotten. Si pemain tamtam dan drummer konsentrasi dengan alatnya saat main. Indah sekali. Aku mau bisa bermain tamtam, dan memainkan musik dangdut 
Fan pakai helm skate untuk menghormati pembuatan skate park di bogor dan menghindari kejahatan begal

Sunday, April 19, 2015

Guru Bangsa Tjokroaminoto: Biopik yang Musikal dan Wayangesque


Saya terkesan sekali dengan film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Filmnya bagus. Jalannya cerita meliuk indah, gambarnya bagus, akting para pemeran tokoh-tokoh di dalamnya pun jempolan. Tak sia-sia, saya menghabiskan lebih dari dua jam setengah hingga lewat tengah malam demi film besutan Garin Nugroho itu.

Guru Bangsa Tjokroaminoto dimulai dengan adegan berwarna hitam putih di penjara yang mengurung guru para pendiri bangsa itu selama enam bulan. Tjokro sedang diinterogasi seorang Belanda, dan seorang sekutunya. Dengan keangkuhan yang elegan, ia menolak diatur. Tjokro pun memperkenalkan diri dengan tatapan tajam ke arah penonton. Ialah Tjokroaminoto, seorang bangsawan yang menolak tunduk di hadapan dominasi bangsa kolonial. 


Tidak ada bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa dia rendah atau merendah. Demikian pernyataan yang saya ingat diucapkan Reza Rahadian ketika tampil di acara Mata Najwa. Dan bahasa tubuh itu, berhasil ia tampilkan selama 160 menit film diputar. Itu dikuatkan dengan pernyataan cicit sang guru bangsa, yang juga hadir di acara yang sama. Tjokro selalu berpenampilan rapi, untuk menunjukkan bahwa ia dan bangsa tetamu dari Eropa itu juga setara. Kala difoto, kakinya mengangkat seolah menantang. Dan memang begitulah ia, menantang. 

Suatu ketika Tjokro pernah bekerja untuk seorang Belanda. Sang tuan marah karena pribumi pembawa cangkir teh tak menggunakan sarung tangan. Tjokro memberontak dengan pola yang selalu ia lakukan jika menghadapi kondisi serupa: meminta lawannya duduk. Dan si rival menurut. Lalu dengan kata-katanya yang bulat ia kukuhkan kemenangan. Indah sekali. Jurus serupa juga tampak ketika Tjokro menghadapi seorang pendatang dari Yaman yang tak pro pribumi. Jurusnya sama: meminta lawannya duduk, jadikan dia memandang dengan tengadah, dan taklukkan mereka dengan kata-kata.


Di balik sikap keras yang melekat pada Tjokroaminoto, ada kesan egaliter, romantis, juga filosofis. Lihat bagaimana ia menyikapi Semaoen yang sudah jarang ikut kegiatan Syarikat Islam. Rasakan juga bagaimana Tjokoro bercanda tentang kapas dengan istrinya. Lalu ikut larutlah dalam pertanyaan "apakah ini hijrahku?" yang selalu mengiringi jalannya film itu. 

Dari segi pemeranan, film ini juga apik. Soeharsikin, istri Tjokroaminoto berhasil diperankan Putri Ayudya yang sukses memerankan sosok perempuan jawa dengan berbagai laku lampahnya. Semaoen juga diperankan secara brilian oleh Tanta Ginting, yang dalam film Soekarno memerankan Sjahrir. Murid-murid Tjokro lain juga begitu terasa hidup dengan perannya masing-masing.


Film Guru Bangsa Tjokroaminoto, adalah film biopik yang musikal dan wayangesque. Sebuah krikit menyayangkan sisipan musik yang dinyanyikan Reza Rahadian dan Putri Ayudya. Bagi saya, justru itu memperkaya gaya penyampaian dan penggambaran film itu. Nyanyian tadi, seakan mengatakan "dan demikian suasana riuh riang mengiringi perjalanan waktu di rumah peneleh" atau semacamnya. Visualisasi dan personalisasi ala wayang, juga menambatkan kesan yang sama.

Simaklah Stella yang diperankan Chelsea Islan. Ia bagaikan dalang yang menjembatani adegan dan memuatkan konteks. Sama halnya dengan Stella yang fiktif, Bagong pun demikian. Inilah nampaknya tanda tangan sineas yang pernah membidani film Opera Jawa yang kolosal itu. Bagong bertingkah ala Stella, bahkan berdampingan. Tengok juga tampakan ketika Tjokro dan Samanhudi diarak pendukungnya. Mereka bergerak menyamping dari kanan ke kiri layar. Lalu muncullah Sneevlit dari arah berlawanan. Persis cara wayang muncul dalam sebuah pementasan.


Kalau pun saya harus menyisipkan kritik, barangkali keberadaan Reza Rahadian yang terlalu jago beraktinglah yang saya ada-adakan. Secara gestur ia berhasil menampilkan nilai sifat Tjokro. Tapi saya berandai-andai, alangkah lengkapnya jika hidung Reza dibuat lebih kecil sehingga lebih menyerupai Tjokro. Meski demikian, secara keseluruhan tetap saja ini film penting yang akan sangat sayang sekali kalau kamu tak tonton. Mumpung masih ada layar bioskop yang menayangkan, saran saya: segeralah tonton! [rhezaardiansyah]

Record Store Day Buktikan Bahwa Pembajakan Bisa Kalah

Pada pekan ketiga bulan April, penggemar musik di seluruh dunia merayakan hari toko rekaman atau Record Store Day (RSD). Di Indonesia, pesta ini dirayakan di 13 kota secara serentak. Sebuah lapangan futsal di dekat terminal Blok M, menjadi salah satu panggung perayaan RSD di Jakarta. Selama masing-masing 12 jam pada dua hari penyelenggaraan acara, pecinta musik bisa membeli berbagai wujud produk musik, termasuk yang dirilis khusus di hari besar itu. Ada 51 rilisan yang dijual khusus dengan stok terbatas. Semuanya dikemas dalam wujud cakram padat (CD), kaset, piringan hitam berbagai ukuran atau gabungan ketiganya. begitu pintu gerbang arena penjualan dibuka, puluhan pengunjung berhambur masuk. Mereka pun bergegas menuju gerai produk musik yang tersaji.

Antusiasme demikian, seturut dengan pendapat Anthono Oktariandi, project manager perusahaan rekaman Demajors. Menurutnya, meski kebiasaan berbagi lagu mengancam bisnis produk rekaman, ia tak khawatir. "Buktinya Demajors bertahan 15 tahun," ujarnya yakin. Anthon juga mengaku bahwa sekitar 75 persen pendapatan Demajors, berasal dari penjualan rilisan fisik produk musik. Selain CD, Demajors juga merilis piringan hitam dalam jumlah maksimal sekitar 400 keping. Namun berbeda halnya dengan CD yang pembuatannya mengikuti permintaan pasar. CD album Gajah milik penyanyi Tulus, merajai peringkat penjualan CD produksi label rekaman yang berkantor di Jakarta Selatan itu. Gajah sudah terjual hingga 80 ribu keping, sementara rilisan band White Shoes and The Couples Company dan Endah N Rhesa, menyusul di belakangnya. Dengan demikian, Anthon tak khawatir dengan kebiasaan unduh ilegal atau berbagi file musik. "Kalau suka sama band-nya, si orang yang file sharing itu pasti akan beli merchandise, datang ke konsernya," tutup pria berkacamata itu.

Strategi berbeda dilakukan Anoa Records. Perusahaan rekaman yang berusia tiga tahun ini, menjual karya band yang diampunya dalam wujud voucher album. Sebuah kartu seukuran kartu nama mereka jual dengan harga beragam, tergantung artis dan jumlah lagu di dalamnya. Salah satu pendiri Anoa Records, Peter Wallandouw, menjelaskan bahwa kartu voucher itu bertuliskan kode untuk mengunduh lagu dan hanya bisa digunakan sekali. Dengan demikian, potensi kebocoran karya artis mereka, bisa dicegah. Meski menjual album artisnya secara digital, Anoa Records tetap mencetak dan menjual kaset dan CD band mereka. Dari CD album Barefood bertajuk Sullen, hingga kaset Black Mustang mereka jajakan dalam gelaran dua hari itu. "Kita percaya pembelian online tetap hidup, dengan catatan selalu berdampingan dengan penjualan fisik," tutupnya. [rhezaardiansyah]

Para pendiri Anoa Records dan produk jualannya
Anthon di lapak Demajors
Antusiasme pengunjung perayaan Record Store Day