Sunday, May 31, 2020

Jalan Terus

Kemarin saya mampir cukup lama di sebuah tweet.
Satu per satu, saya baca juga balasan tweet itu. Menarik melihat judul-judul yang direkomendasikan banyak orang. Ada yang belum saya tonton, dimasukkan ke daftar “My List”, atau yang “rasanya nggak usah ditonton”. Beberapa di antara lainnya, ada juga yang sudah ditonton dan saya lupa gimana sensasi nonton film itu. Lalu saya buka blog ini.

Beberapa posting di blog yang dulunya bernama domain Can I Say Magz ini, memang tentang ulasan film yang saya tonton, tapi bukan sembarang ulasan. Biasanya saya berusaha menambahkan konteks.

Seseorang mendapuk Bukaan 8 sebagai film yang menurutnya “mengajarkan kehidupan”. Film itu bercerita tentang seorang pendengung di Twitter (buzzer) yang berjuang memenuhi kebutuhan kelahiran anak pertamanya. Saya nonton itu sekitar sebulan setelah anak saya lahir. Ketika itu kami sekeluarga terpisah jarak karena saya harus bertugas di Bandung.

Ada pula yang menyebut film Wonder. Saya mengingatnya sebagai pengingat bahwa semua orang punya masalahnya sendiri, seterlihat santai apapun dia. Kesan itu saya rekam pula di sebuah posting. Memang begitulah tujuan saya menulis di sini: mengabadikan kesan.

Yang di luar dugaan: tulisan dibaca banyak orang. Biasanya, satu posting dibaca kurang dari 20 orang. Bukan masalah karena artinya sejumlah itulah orang yang tertarik membaca. Tapi ada satu tulisan yang diakses 593 kali. Tentang film Oeroeg.

Awalnya saya nggak akan nulis soal itu, karena pernah dibagikan di sebuah rangkaian instagram story. Ternyata, banyaknya pengunjung ke posting itu menunjukkan bahwa berbagi hal yang sama—apalagi dari medium berbeda—sah-sah saja. Apalagi punya kedekatan dan aktualitas yang pas: rilisnya trailer film De Oost buatan salah satu dari duo Yellow Claw, Jim Taihutu—yang keturunan Ambon.

Begitu ada tantangan 31 Hari Menulis, saya merasa ini momen tepat buat giat menulis. Katanya kemampuan menulis itu seperti skill menaiki sepeda: harus terus dilatih. Apalagi keseharian saya berkaitan dengan penulisan. Klop.

Lalu, saya menerapkan beberapa kriteria. Satu, tulisan di sini sebisa mungkin harus berkaitan dengan buku, film atau musik. Dua, total katanya setidaknya berjumlah sekitar 300. Tiga, harus ditulis setiap hari. Dan inilah tulisan terakhir dalam serial 31 Hari Menulis.

Meski begitu, saya tetap bertekad menulis rutin. Kalau pun nggak sehari seposting, setidaknya di hari berikutnya ada posting lain yang menambal kekosongan hari tanpa tulisan. Jalan terus! []

Saturday, May 30, 2020

Kosong

Masa pandemi yang memaksa kita #dirumahaja, bikin ada semacam ruang kosong di keseharian. Kamu merasa begitu? Saya sih, iya. Ada semacam jeda yang kita sadari. Nggak ngapa-ngapain. Kerjaan beres, rumah bersih, makan udah, mau tidur nggak ngantuk, baca bosen, nonton males, keluar jelas berisiko. Tapi saya jadi bisa merasakan Ma.

Dalam sebuah ulasan, Insider menguak sisi eksotis dari film Hayao Miyazaki, Spirited Away. Menurut analisa itu, ada satu hal yang membuat spesial kartun pemenang Best Animated Feature di Academy Award alias Oscar 2003 ini. Dalam rangkaian adegannya, ada sesuatu bernama Ma, bermakna kekosongan.

Sebenarnya, definisi literal Ma menurut sang sutradara: jeda waktu di antara tepukan tangan. Maksud dia, kalau film diisi ruang momen, bangunan tensi jadi punya dimensi lebih luas. Kadang itu berupa adegan makan nasi sambil nangis, sesuatu yang nggak berkonsekuensi signifikan di film Spirited Away. Dan durasi totalnya bisa 6 menit sendiri buat momen semacam ini dari keseluruhan 2 jam 5 menit.

Pemanfaatan konsep Ma, kayaknya juga dipake di sebuah film yang—secara nggak sengaja—saya tonton semalam: The World of Married Couple. Film idola sejuta kaum ibu itu bercerita tentang pecahnya kehidupan rumah tangga akibat orang ketiga.

Cerita semalam: tokoh suami duduk dan makan mie. Sumpitnya berbahan besi. Panci buat masak mie tadi dibawa ke meja makan, dialasi potongan kayu. Mie disantap, setelah disajikan dulu ke piring kecil. Ini bukan adegan biasa.

Hal ringan sesederhana makan mie aja, bisa jadi media promosi budaya Korea. Istri saya target korbannya. Cara dia makan samyang, kurang lebih persis kayak di film itu. Bagi saya yang nggak ngerti konteks keseluruhan adegan makan mie, potongan itu kosong-kosong saja. Ma.

Bagi istri saya, ternyata pemaknaannya nggak berhenti di situ. Ketika lagi nikmat makan mie tadi, si suami dikasih kimci sama istri (muda)nya. Orang Korea ternyata memang biasa menyantap mie yang digabung potongan sawi putih dingin. Kalau kimcinya ketinggalan dimakan, berarti ada yang salah. Di situlah poin utamanya. Adegan makan berkait ke alur kisah berikutnya.

Dengan Ma tadi, film Spirited Away bisa jadi terasa bertele-tele. Adegan makan mie juga terasa trivial. Nggak penting-penting amat. Tapi buat orang-orang yang bisa menikmati sensasi Ma, bisa jadi itu penting—dalam istilah film Hayao Miyazaki: magical. Sama halnya dengan Ma di keseharian kita—jika memang kita mau menyebutnya demikian. Lagipula, yang bikin kita menjadi manusia justru kan pencarian makna. Ma itu mungkin salah satu sarananya. []

Friday, May 29, 2020

Paham-Hampa

Semalam istri saya belanja.

“Hayo, Coca Cola lagi!” komentar saya spontan.

Windi sedikit muram. Saya tanggapi dengan bertanya:

“Kamu tahu ga ekofasisme?” iya, ini bukan cara bagus buat mencairkan suasana. Windi menggeleng. Paparan berikut ini juga bukan teknik terbaik menjelaskan tanpa terkesan membosankan.

Ekofasisme terdiri dari dua suku kata: eko dan fasisme. Eko memiliki makna “berkaitan dengan lingkungan”. Fasisme, berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya terbaik. Nazisme salah satu contohnya. Penganut ideologi itu, yakin bahwa ras mereka layak sintas. Sisanya bisa dibasmi.

Ekofasisme maksudnya, bersikap fasis atas dasar keyakinan ekologis. Seolah-olah, seorang ekofasis merasa dirinya paling ramah lingkungan. Selain dia, orang lain musti berubah atau ekstrimnya, nggak usah ada. Dan itu bahaya.

Kepada Windi, saya bilang bahwa mungkin tabiat saya punya kencenderungan serupa itu. Meskipun sedikit.

“At least aku sadar bahwa itu salah,” saya membela diri.

Windi lalu menimpali bahwa hal-hal yang di mata saya tidak ideal, ada alasannya. Seperti lazimnya semua fenomena. Permakluman atas latar belakang itulah yang pada akhirnya bisa melahirkan sikap empati.

Di masa pandemi ini, ekofasisme jelas berbahaya. Indikator kualitas lingkungan yang bernada positif seringkali ditafsirkan bahwa dunia lebih enak ditinggali. Padahal, ada jutaan nyawa manusia yang harus dibayar untuk itu. Dan seorang ekofasis tidak akan benar-benar peduli. Baginya, asalkan bumi lestari. Persetan kemanusiaan—meskipun dia sendiri manusia.

Saya lalu ingat satu baris kalimat dari puisi Joko Pinurbo. Judulnya Kamus Kecil. Dalam wawancara dengan Fenty Effendi, Najwa Shihab sebagai Duta Baca Indonesia membacakan puisi ini. Dia menambahkan, bahwa karya Jokpin dari Buku Latihan Tidur jadi representasi keindahan Bahasa Indonesia. Najwa menyitir definisi dari Sapardi Djoko Damono bahwa inti puisi itu bunyi.
Bahwa lidah memang pandai berdalih 
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa 
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman
Baris kedua itu seiring juga dengan keluhan istri saya soal ekspresi beberapa gagasan yang baru saya pelajari. Dia takut saya terlalu idealis—meskipun saya merasa cukup pragmatis. Saya takut pertumbuhan kami nggak beriring lagi. Mungkin memang beberapa hal jangan dipahami terlalu jauh. []

Thursday, May 28, 2020

Los Angeles

Di Los Angeles Amerika sana, ada dua orang seniman yang dihormati banyak artis. Namanya Estevan Oriol dan Mark Machado alias Mr. Cartoon. Keduanya terkenal karena memberi sentuhan artistik khas Amerika Latin di kota yang namanya aja udah latin banget. Arti Los Angeles: The Angels.

Estevan banyak bantu beberapa band dari LA sebagai fotografer. Dia juga bikin logo kelompok hiphop Cypress Hill. Singkatnya, dia ikut membentuk wajah skena hiphop West Coast.

Selain musik rap, musisi lain dari California juga ikut dia bangun. Misalnya, Blink-182. Video musik Always disutradarai Estevan. Melibatkan beberapa teman tongkrongannya dan bertempat di sejumlah lokasi ikonik khas LA—misalnya viaduct yang dipakai ketika adegan dikejar polisi.

Kontribusi Estevan di Blink-182 bukan cuma di sana. Foto yang muncul di cover belakang album Greatest Hits, dipotret Oriol. Dia juga ikut ketika trio pop-punk itu jalan-jalan ke pangkalan militer AS di timur tengah. Lewat film dokumenter berdurasi satu setengah jam ini, kita bisa simak footage plus wawancara Travis dan Mark.

Selain Estevan, ada satu sosok lain yang juga selalu jadi penyerta karya seniman-seniman LA. Nama populernya Cartoon. Travis terlihat bangga ada tato nama belakangnya di bagian kepala. Rajah itu dibuat Cartoon. Begitu pula dengan Mark yang di masing-masing pergelangan lengannya ditulisi tato tulisan Jack dan Skye. Masih buatan pria bernama asli Mark Machado itu.

Cartoon awalnya fokus melukis graffiti. Lama-lama, medianya pindah ke kulit. Dan bukan kulit sembarang orang. Dari Eminem sampai (almarhum) Kobe Bryant bangga pernah ditato Cartoon. Kobe bahkan bercerita. Suatu ketika dia berkunjung ke Tiongkok. Di sana, ada yang nyadar bahwa satu tato di tangannya pasti buatan Cartoon—which is true.

LA Originals juga memperlihatkan bahwa budaya hiphop, lowrider hingga dandanan khas Chicano, juga “laku” di negara lain, misalnya Jepang dan Jerman. Di bagian akhir film yang kaya footage dari tahun 90an ini, graffiti artist Shepard Fairey berujar tentang relevansi seni Chicano:
“with all the racism, xenophobia that’s going on in the US, for Chicano art to just be pushed as hard as possible, wether it’s a direct political message or just as a style, is a great thing.” []

Wednesday, May 27, 2020

Kesuburan


Saya nonton ulang film besutan sutradara Joko Anwar: Modus Anomali. Waktu pertama kali tayang tahun 2011, saya nonton di bioskop. Rasanya menegangkan. Film itu memang minim dialog dan banyak menampilkan momen diam—suasana yang dalam film Hayao Miyazaki bernama Ma: “kekosongan”.

Sejak awal film kita diajak bertanya tentang siapa dan kenapa si tokoh utama diteror. Lantas di pertiga akhir film, perlahan penonton dibuat paham tentang semua pertanyaan di awal. Brilian—dan “sakit”.

Hal menarik lain dari film ini, tentu saja tentang keterkaitannya dengan film lain. Joko anwar dikenal punya cinematic universe-nya sendiri. Dan semuanya dikenal punya pesan eksistensial soal kelahiran. Coba lihat. Di semua filmnya, ada cerita tentang kehamilan—entah itu digambarkan dengan hampir melahirkan di dalam taksi, sampai lewat cerita tentang kesuburan melalui aliran sesat.

Tokoh utama dalam film Modus Anomali—yang cuma dikasih keterangan “man” di bagian credit title—muncul lagi di akhir film Pintu Terlarang. Film rilisan 2009 itu sendiri diadaptasi dari novel yang ditulis Sekar Ayu Asmara dengan judul yang sama.

Doa Ibu

Saya belum baca Pintu Terlarang, tapi sudah baca novel Sekar Ayu Asmara yang lain: Doa Ibu. Novel terbitan tahun 2009 ini bercerita tentang dua kisah.

Pertama, tentang pelukis bernama Ijen yang mengalami sejumlah kejadian ganjil. Seorang pengantin wanita yang juga sahabatnya, menghilang ketika dia ada di pelaminan. Sahabat Ijen yang lain pun mengalami nasib yang sama.

Kisah kedua, tentang seorang ibu bernama Madrim. Suaminya baru meninggal, dan setelahnya dia baru mengetahui bahwa sang suami punya istri kedua. Ternyata, sebuah rahasia juga dipendam Madrim. Tanpa diduga, rahasia itu berkaitan dengan eksistensi Ijen. Mereka berdua lalu bertemu dalam sebuah momen yang sureal.

Novel ini enak dibaca karena kalimat terakhir di tiap bab langsung tersambung dengan kejadian di awal bab berikutnya. Sehingga sekuensial, padahal itu dua cerita berbeda. Sekar Ayu Asmara dan Joko Anwar mempertanyakan makna kelahiran dan kehadiran anak melalui karya mereka. []

Tuesday, May 26, 2020

Watergate


Skandal watergate rasanya nggak pernah habis dibahas. Padahal kejadiannya udah lewat hampir 50 tahun lalu. Ketika itu, ada lima orang yang tertangkap menerobos masuk ke markas pemenangan partai demokrat dalam pemilu tahun 1972. Lokasi kejadian itu di hotel Watergate. Ternyata, mereka terkait dengan presiden Richard Nixon. Singkat cerita, presiden Nixon mundur dari jabatannya pada tahun 1974.

Tiga tahun kemudian, Nixon hadir dalam wawancara yang dipandu seorang broadcaster asal Australia. Wawancara ini banyak dipuji. Kisah di balik wawancara kemudian difilmkan dengan judul Frost/ Nixon.

Dalam film itu, diperlihatkan bagaimana Frost menghadapi tantangan untuk mewawancarai Nixon. Dia diminta membayar kepada narasumbernya dalam jumlah besar: 600 ribu dolar AS. Sejumlah saluran penyiaran pun menolak "patungan" karena itu bertentangan dengan prinsip ruang redaksi mereka. Pada akhirnya, pihak Frost bisa membayar dan wawancara dibagi tiga sesi di hari yang berbeda-beda.

Wawancara Frost dan Nixon ibarat pertandingan tinju. Pewawancara dibekingi produser dan periset untuk merumuskan pertanyaan jitu. Sementara narasumber, dijaga seorang asisten yang bahkan nekat memotong proses wawancara ketika pihaknya terancam.

Meski saling berhadapan di meja wawancara, Frost dan Nixon berhubungan baik di belakang layar. Ada satu momen kunci yang jadi twist utama dalam kisah Frost/ Nixon ini. Apakah sang mantan presiden berhalusinasi?

Mata Najwa

Saya pernah ada di situasi serupa: menjadi kru talkshow Mata Najwa. Yang rasanya kurang lebih sama dengan kisah Frost/ Nixon: ketika tim kami menghadirkan wakil presiden Boediono.

Nama Boediono ada dalam lakon skandal Bank Century. Ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia, ia dianggap bertanggung jawab memberikan lampu hijau untuk menyuntikkan dana agar bank kecil Century tidak bangkrut. Nyatanya, duit bantuan pemerintah itu dicuri. Nasabah Bank Century kehilangan tabungan mereka.

Di film Frost/ Nixon, David memulai wawancara dengan pertanyaan di luar dugaan. Nixon langsung ditanya tentang skandal Watergate.
“Why didn’t you burn the tapes?”
Adegan itu mengingatkan saya ke wawancara Najwa Shihab dengan Boediono yang “slow burning”. Dalam buku Mata Najwa: Mantra Layar Kaca, Fenty Effendy menuliskan:
“Itulah sebabnya ketika wawancara berjalan lambat, ketegangan menjalar hingga ke ruang kendali siaran di lantai empat, tempat produser dan pengarah acara memantau pergerakan kamera. Inilah jenis-jenis situasi yang bisa bikin mulas perut tim produksi Mata Najwa, termasuk Najwa Shihab sendiri.”
Meski begitu, perbincangan akhirnya mencair. Pertanyaan tentang dugaan keterlibatan dalam Centurygate—sebutan bagi skandal politik selalu berakhiran “gate” setelah kasus Watergate—dijawab juga.
“Begini ya. Saya ini 30 tahun menggeluti masalah ekonomi di pemerintahan. Saya sudah melihat, mengalami dan merasakan krisis, ada yang mini, menengah, besar. Ada karakterisrik tertentu yang harus kita tangani dalam situasi krisis dan saya anggap yang terjadi (pada Century) harus ditangani dengan cara tertentu, dan itulah yang saya lakukan.”
Bagian akhir wawancara Boediono, serupa dengan penutup film Frost/ Nixon. Sebelum masuk mobil RI-2, Boediono bertanya, “Najwa, may I hug you?”. Najwa menjawab spontan, “Yes, Pak.”

Sementara, Frost/ Nixon ditutup dengan pembicaraan empat mata Frost dan Nixon. Presiden AS ke-37 itu bertanya tentang panggilan telepon di sebuah malam. Dalam dunia nyata, adegan itu tidak pernah ada. Frost asli mengenang bahwa 10 persen dari film tentang wawancara Nixon itu, berupa fiksi. []

Monday, May 25, 2020

Babi

Kritik sosial Bong Joon-ho dalam filmnya, selalu menarik diikuti. Setelah sebelumnya saya bahas itu di film Parasite dan The Host, kali ini saya mau bicara tentang Snowpiercer dan Okja.

Serupa Parasite, Snowpiercer bercerita tentang pertentangan kelas sosial. Alkisah, di akhir zaman ada sebuah kereta yang berputar mengelilingi sejumlah area planet bumi. Di dalamnya, koloni manusia terakhir menjalani hidup.

Tokoh utama kita—yang diperankan Chris Evans—menghuni gerbong buncit. Kondisi di sana memprihatinkan. Citra kemiskinan lekat dengan para penghuninya. Lantas jagoan kita ingin merangsek ke lokomotif.

Sepanjang perjalanan, dia mendapati kondisi yang ternyata berbeda-beda. Semakin maju, kehidupan terlihat semakin nyaman. Begitu sampai di bagian depan, ternyata memang semuanya diatur by design.

Pengelolaan kelas gerbong dan manusia yang menempatinya, ibarat trik spesies kita mengorganisasi diri. Ketimpangan tidak terelakkan akibat keserakahan.

Keserakahan pula yang memutus hubungan Okja dan Mija. Okja ini babi, tapi bukan babi biasa. Dia hewan sumber pangan hasil rekayasa genetika. Karena produk pangan yang berasal dari Genetically Modified Organism (GMO) tidak disukai pasar, peternak Ojka menyembunyikan fakta asal-usul hewan ternaknya.

Di sisi lain, kawanan organisasi Animal Liberation Front turun tangan demi membebaskan Okja. Aksi mereka menghibur. Para anggotanya harus memegang prinsip tanpa kekerasan dan bertindak atas dasar izin (consent).

Sekali lagi, Bong menyisipkan kritik untuk kapitalisme yang buta rasa. Ketika ditanya kenapa Mirando ingin membunuh Okja, jawabannya:
“Well, we only can sell the dead ones.” []

Sunday, May 24, 2020

Monster

Suatu hari ketika Parasite tayang di bioskop, saya lagi tugas di Bandung. Ketika itu, komunitas Layar Kita bikin screening film Memories of Murder. Sebenarnya, hari itu momen yang pas buat saya binge-watch dua film masterpiece Bong Joon-ho. Sayang, saya melewatkan Memories of Murder.

Waktu itu saya belum kepikir sebegitu pentingnya film-film Bong Joon-ho. “Penting” untuk melihat berbagai hal “berat” ditampilkan dalam sebuah cerita menghibur. Parasite dipuji karena mengejawantahkan pertentangan antar kelas—sebuah teori yang berusaha menjelaskan bagaimana peradaban bekerja.

Dalam Parasite, keluarga Kim yang miskin menjadi parasit bagi keluarga Park—dalam analisa lain, justru Park yang jadi parasit bagi Kim. Demi sintas menjalani hidup dan mengalami momen kebersamaan yang lebih mewah. Biasanya, mereka memandang ke luar jendela rumah yang separuh tenggelam. Menyaksikan pemabuk kencing sembarangan. Kali ini, ketika rumah inang mereka kuasai, pemandangan ke luar jendela lebih indah: taman serba hijau.

Ternyata, di dalam rumah yang mereka jajah, ada parasit lain. Kedua kubu ini lalu berseteru. Kondisinya bukan lagi pertentangan antar kelas, tapi perseteruan dalam kelas sosial yang sama.

Pertimbangan estetis dan filosofis itulah yang membuat kita mafhum ketika Parasite jadi film terbaik dalam perhelatan Oscar. Saya lalu berusaha nonton film-film Bong yang lain. Kali ini, The Host.

The Host berkisah tentang seekor monster yang hidup di sungai Han. Secara konotatif, munculnya monster ini bisa dikaitkan dengan pencemaran lingkungan yang ditampilkan di adegan pembuka.

Selain itu, bisa juga kita maknai si monster adalah pagebluk yang menggelayuti bangsa Korea Selatan. Itu tercermin ketika seorang warga yang hendak bunuh diri dengan terjun dari jembatan, bicara tentang “sesuatu yang gelap di dalam air”. Keputusasaan dipersonifikasi ke sosok monster.

Kehadiran monster ini, membuat sebuah keluarga miskin pemilik warung di tepi sungai Han terseret masalah. Park Gang-du—yang diperankan Song Kang-ho—harus menjalani prosedur medis yang nantinya jadi twist utama isu antiAmerika di film ini.

Tokoh Park Nam-il juga menggambarkan kritik sosial tersendiri tentang nasib sial pejuang demokrasi Korea Selatan. Anak yang semula diharapkan paling sukses karena lulus sarjana dan ketika mahasiswa ikut menumbangkan diktator, justru jadi pemabuk. Meskipun di akhir, botol soju yang selalu dia bawa ada gunanya juga. Adegan pertemuannya dengan Fat Guevara si aktivis yang jadi “budak korporat”, sarat sinisme.

Sebuah tulisan, sesumbar bahwa jika kita ingin paham kondisi sosiologis masyarakat Korea Selatan, film The Host wajib ditonton. Sebagian kecil pembacaan di atas saya kutip dari tulisan itu.

Setelah The Host, saya lagi nonton film Bong yang juga tersedia di Netflix. Judulnya Okja. []

Saturday, May 23, 2020

Kapitalisme

Bagaimana kapitalisme bekerja? Film The Platform menjelaskan. Tentu saja secara simbolik (dan belum tentu benar). Judul aslinya El Hoyo. Mari, kita baca kira-kira apa maksud beberapa adegannya. Jangan lupa, dalam tulisan ini akan ada banyak spoiler.

The Platform bercerita tentang sebuah penjara dengan desain vertikal. Jumlah tingkatnya sampai angka 300. Setiap hari, tiap sel yang dihuni dua orang akan mendapat kiriman makanan. Meja makanan itu bergerak tegak lurus juga. Dan tiap tahanan akan menerima makanan sisa penghuni di atasnya.

Beruntunglah mereka yang secara acak menempati lantai atas. Sebaliknya, sial banget kalau mereka bangun di lantai buncit. Tokoh utama kita, namanya Goreng. Sepanjang film, dia merasakan hidup di papan tengah, papan bawah, hingga papan atas.

Ketika menempati bagian tengah, Goreng berpasangan dengan seorang tahanan senior—yang dalam dua kali pemindahan lagi, akan bebas. Di bulan berikutnya, mereka pindah ke lantai bawah. Satu-satunya cara bertahan di bagian itu: jadi kanibal.

Kapitalisme bermakna, pengaturan masyarakat berdasarkan kepemilikan modal. Dalam film The Platform, tiap napi berhak memiliki satu barang yang mereka pilih untuk dibawa sebelum memasuki penjara. Goreng, bawa buku. Sementara teman sekamarnya bermodal pisau. Tebak siapa yang selamat di lantai 200an? Ternyata, Goreng.

Dia diselamatkan Miharu, seorang perempuan yang menjelajah tiap lantai demi mencari anaknya. Dalam kesempatan lain, Goreng berpasangan dengan tahanan lain yang selama 25 tahun bekerja untuk “administrator”, pengurus penjara vertikal. Namanya Imoguiri.

Imoguiri berkisah bahwa Miharu tidak mungkin punya anak—karena seseorang berusia di bawah 16 tahun dilarang menghuni penjara itu. Sebelum masuk ke El Hoyo, Miharu terobsesi jadi model. Goreng sendiri, masuk penjara (atau skema kapitalisme) demi mendapat “acredited diploma”.

Imoguiri ibarat pihak yang berwenang mengatur kapitalisme. Dalam hal ini negara—meskipun varian lain kapitalisme sebenarnya ingin mengenyahkan campur tangan negara terhadap pasar. Negara hanya tahu bahwa, tidak mungkin ada penderitaan semenyiksa Miharu: selain harus bertahan hidup, juga perlu mencari anaknya.

Nyatanya, kaum marjinal semacam Miharu memang ada. Mereka yang harus tinggal di gerobak. Miharu ada di dalam orang yang harus bertahan di kota, meskipun modal hidup mereka habis—karena dampak pandemi corona baru misalnya.

Para administrator atau koki mungkin merasa sistem kapitalisme atau penjara vertikal memang sistem terbaik. Buktinya, tiap kali meja kembali ke atas, makanan habis. Serupa halnya dengan keyakinan bahwa kapitalisme sukses menurunkan kemiskinan absolut. Padahal bukan berarti tidak ada yang dikorbankan.

Imoguiri kemudian menggagas solidaritas antar napi. Dia minta agar tahanan di bawah makan secukupnya, sesuai porsi yang sudah dia siapkan. Nggak ada yang nurut. Sampai Goreng mengancam akan mengotori makanan dari atas. Hasilnya manjur, tapi cuma mempan di satu tingkat di bawah Goreng dan Imoguiri.

Kisah berlanjut. Goreng kemudian berbagi ruang dengan Baharat. Mereka membentuk metafora pemerintah yang kita kenal dengan nama komunisme—sebenarnya lebih tepat disebut Marxisme-Leninisme.

Goreng dan Baharat naik meja, ikut turun ke tiap lantai. Barang siapa yang makan berlebihan atau menolak puasa demi menyisihkan makanan untuk lantai bawah, dihajar tongkat besi. Nyatanya, begitulah pemerintahan Uni Soviet bekerja.

Dalam buku Dari Mao ke Marcuse, Franz Magnis-Suseno mencatat jumlah kematian akibat pemerintahan komunis mencapai 60 juta jiwa, selama 74 tahun. Pemerintahan totaliter semacam itu berdalih bahwa mereka akan membagi sumber daya secara adil ke semua warga. Padahal bohong.

Goreng dan Baharat sampai di lantai dasar. Ada satu menu yang mereka sisihkan untuk dikirim balik ke dapur di lantai 0 agar dibaca sebagai sebuah pesan: bahwa ada yang tidak beres karena “tumben makanan nyisa”.

Ternyata, di sana mereka menemukan anak Miharu. Goreng dan Baharat pun sadar bahwa sebenarnya, anak Miharu itulah si pesan utama. Mereka berharap administrator akan sadar bahwa kapitalisme semacam yang mereka jalani tidak demikian sempurna. Meskipun dalam sebuah dialog, Imoguiri pernah berujar:
“The administration has no conscious.” []

Friday, May 22, 2020

Black Mirror

Black Museum

Saya baru nonton satu episode serial Black Mirror. Judulnya Black Museum. Ceritanya tentang seorang remaja yang mengunjungi museum terpencil. Pengelolanya seorang ahli (atau makelar) teknologi. Teknologi yang berujung petaka.

Garis merah temuannya, berkaitan dengan rasa sakit. Seorang dokter menjajal transmitter rasa sakit sehingga dia bisa langsung mengobati sumber penyakit si pasien. Lama-lama, dia ketagihan.

Dalam subkisah lain, seorang tahanan menjalani proses pemindahan diri (kesadaran) ke dalam wujud hologram. Setelah hidup abadi dalam citra digital, dia menjadi objek eksploitasi para masokis. Cerita berakhir dengan terungkapnya motif kunjungan si remaja di awal.

Cermin Gelap

Rangkaian judul Black Mirror menjadi cermin gelap yang memberi kita ancang-ancang sebelum teknologi berakibat buruk. Dalam judul lain, Nosedive, kehidupan yang bergantung ke impresi media sosial digambarkan.

Seorang perempuan terobsesi dengan citra diri positif di mata orang sekitarnya. Biar dia bisa beli apartemen mewah yang ujung-ujungnya dipakai buat mencitrakan dirinya yang sok glamor juga. Semua demi citra.

Barangkali judul terakhir itu yang paling lekat dengan aktivitas kita. Kita yang cuma 37 persen populasi manusia. Survey We Are Social menunjukkan bahwa 63 persen atau 4,8 milyar orang, tidak aktif di media sosial.

Dalam kisah Nosedive, rencana si tokoh utama akhirnya ambyar. Ternyata tidak semua hal harus diukur dari rangking media sosial. Pengejaran kesempurnaan profil itu, justru bikin frustrasi.

Realitas Media Sosial

Ada satu kisah yang pernah saya tonton di BBC Reel yang visual dan kisah personalnya bikin kita mikir lagi ketika lihat diri kita atau seseorang di media sosial. Ceritanya, si perempuan ini terobsesi dengan hidup seorang model yang terlihat sempurna. Nyatanya, di luar citra media sosial, sang model juga manusia biasa. Ada masalah juga.

Tayangan lain yang juga baru saya tonton, berisi tips agar media sosial menyehatkan. Terutama saat masa PSBB kayak sekarang. Seorang model, Naomi Shimada ingatkan penonton videonya bahwa kita bukanlah medsos kita.

“It is not more important than you. Not posting doesn’t mean you not exist.” []

Thursday, May 21, 2020

Informasi

Tindakan atau keputusan yang kita ambil, berkaitan dengan informasi yang kita terima. Nyatanya, hari-hari ini informasi tadi bisa dikendalikan. Tahun 2016, warga yang ikut pemilu di AS dibombardir informasi yang mengarahkan mereka ke satu keputusan: memilih Donald Trump sebagai presiden.

Bagaimana skema itu bekerja? Film The Great Hack menjabarkannya. Sejumlah pemilik akun media sosial facebook, mengisi kuesioner. Biasanya, kuis psikologis semacam itu dianggap asik-asikan aja. Nanti mereka akan digolongkan ke kategori tertentu berdasarkan hasil tes itu. Lalu tentu saja: dipamerkan di wall.

Yang tidak mereka sadari, alat identifikasi preferensi politik itu difasilitasi sebuah perusahaan bernama Cambridge Analitica. Berdasarkan data tadi, laman Facebook responden akan disodori informasi yang mengarahkan mereka ke dua tindakan utama: mendukung Trump jadi presiden dan setuju Brexit—Britain Exit, keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa.

The Great Hack menayangkan testimoni mantan karyawan Cambridge Analitica. Pengakuan mereka dikonfirmasi ke CEO CA: Alexander Nix. Sayangnya dia menolak diwawancara untuk film ini. Meski begitu, ada rekaman suara, transkrip pengiriman email hingga video dari kamera tersembunyi yang mengonfirmasi aksi Cambridge Analitica.

Kondisi itulah yang diwanti-wanti sejarawan Yuval Noah Harari sebagai kondisi bernama digital dictatorship. Yang dia maksud, propaganda melalui media sosial, bisa mengarahkan kita melakukan sesuatu sesuai arahan si diktator (Google dan Facebook)—tanpa kita sadari. Karena ternyata, situasi di atas memperkuat argumennya pula perihal predikat manusia sebagai hackable animal.

Meski menyebut manusia sebagai animal—dalam konteks biologi—dalam buku Homo Deus, Yuval sebenarnya lebih banyak menekankan bahwa makhluk hidup—termasuk manusia—sejatinya adalah algoritma, sehimpun tahapan kerja. Dia menyandingkan kita serupa dengan mesin, yang berfungsi dengan arahan berurutan—input masuk, diproses, keluar output.

Gagasan bahwa makhluk hidup adalah benda mati—atau sebaliknya—pernah juga dilontarkan Kevin Kelly, seorang tech journalist. Di tahun 2011, dia mempresentasikan argumen bahwa kini, muncul kingdom ketujuh.

Kingdom yang ia maksud, berkaitan dengan sistem penggolongan makhluk—taksonomi. Lazimnya, ada 6 kingdom yang kita pelajari di sekolah:
  1. Animalia (hewan),
  2. Plantae (tumbuhan),
  3. Monera (sel tanpa membran inti),
  4. Protista (sel dengan membran inti),
  5. Fungi (jamur),
  6. Virus.

Kingdom ketujuh, bernama technium. Singkatnya, semua teknologi buatan manusia, bisa digolongkan ke sini. Dari tulang yang dimodifikasi jadi alat, sampai pesawat antariksa. Dari Turing Machine sampai Artificial Intelligence (AI).

Dalam novel Origin, Dan Brown mengutip kekhawatiran Kelly tentang punahnya spesies Homo sapiens karena teknologi. Yuval—sekali lagi—membuka kemungkinan Homo sapiens punah dan digantikan spesies lain bernama Homo deus.

Sejauh ini, yang membedakan animalia dan technium (manusia dan AI) ada di satu aspek: kesadaran atau consciousness. Sederhananya, ketika kita sadar dengan konsekuensi atas tindakan dan memutuskan berdasarkan pengalaman, saat itulah kita memanfaatkan kesadaran. Bukan cuma mengolah input sehingga output menjadi sesuatu yang terjadi secara mekanistik. Video ini menjelaskan konsep kesadaran dengan relatif mudah dipahami dalam tiga menit pertama.

Maka, kala kita menerima informasi dan terdorong untuk melakukan sesuatu, tak ada salahnya kita gunakan kemanusiaan kita: eling lan waspodo.

Wednesday, May 20, 2020

Bullying

Perundungan atau bully jadi sorotan lagi. Rizal, seorang anak berusia 12 tahun dianaya sekelompok orang. Saya nggak nonton videonya. Nggak tega. Istri saya yang cerita. Dia geram katanya kok orang-orang itu beraninya ke anak yang terlihat lebih lemah dari mereka—yang bergerombol. Saya cuma jawab: memang begitulah karakter pengecut pelaku bullying.

It

Saya jadi ingat film It. Yang dibagi jadi dua bagian itu. Film horror tentang hantu badut di kota Derry. Sekawanan anak berusaha mengusir kutukan yang datang ke kota itu dalam selang waktu puluhan tahun. Awalnya, adik seorang di antara mereka hilang diculik iblis bernama Pennywise.

Dalam It pertama, kisah berakhir di masa remaja para tokoh utama. Selain mengusir hantu dari masa awal pendirian kota Derry, mereka juga bertarung dengan perundungan. Seorang tokoh antagonis mengintimidasi anak berbadan tambun. Dia juga menyasar anak berkulit hitam dan satu anak lain yang gagap bicara. Saya membaca, It sebenarnya metafora perlawanan terhadap ketakutan—yang bukan cuma soal hantu.

It kedua berlanjut saat tokoh utama dewasa. Rupanya trauma menggelayuti mereka. Iblis Pennywise jadi halusinasi bagi kawanan ini, tapi tetap mematikan. Di sisi lain, pelaku bullying belum berubah. Di antara kawanan itu, ada yang akhirnya bunuh diri.

Kekuatan Medsos

Saya jadi membayangkan bagaimana jadinya kalau media sosial tidak menyelamatkan Rizal. Dia cukup beruntung karena videonya viral, dan massa yang menyaksikan kemalangan Rizal bersimpati.

Bagaimana jika, misalnya Chester Bennington diselamatkan dengan kondisi serupa. Maksud saya, ketika dia juga mengalami bullying di masa mudanya, barangkali bebannya berkurang jika ada yang berempati. Dan akhirnya bisa jadi batal bunuh diri—terlepas faktor lain ikut berpengaruh ke keputusannya.

Kalimat berikut ini barangkali bikin nggak nyaman. Keterbukaan data dalam hal ini menyelamatkan. Satu bab buku Homo Deus, memaparkan tentang agama data. Bagi Yuval Noah Harari (penulis buku itu) agama berarti ideologi—yang kemudian tercermin dalam sebuah keadaan.

Agama data berarti sebuah kondisi atau pola pikir ketika aliran data jadi yang utama. Dan menurut buku tadi, di situlah sekarang kita ada. Setiap kali kita berbagi data, ketika itu pula ritual agama data sedang dijalankan. Seperti halnya dua sisi mata pedang ideologi lain. Keterbukaan data seperti yang dialami Rizal menguntungkan. Kebocoran data serupa kasus Cambridge Analitica, berujung sebuah kondisi: digital dictatorship. []



View this post on Instagram

Buku apa yang paling berpengaruh terhadap caramu memandang kehidupan? Jawabanku, judul ini. Homo Deus isinya tentang analisa Yuval Noah Harari terhadap masa depan manusia. Katanya, di masa depan, Homo sapiens akan berevolusi jadi Homo deus. Sapiens kan berarti bijak, sementara deus berarti dewa. Jadi ke depan, evolusi akan menjadikan manusia sekuat “tuhan”. Kenapa bisa begitu? Karena berdasarkan studi sejarah peradaban umat manusia yg dia pelajari—Yuval berstatus profesor ahli militer abad pertengahan—manusia semakin bisa mengatasi tantangan dasar kemanusiaan. Apa itu? Kelaparan, peperangan, penyakit. Ribuan tahun tiga hal itu jadi masalah utama peradaban manusia. Akhir2 ini, masalahnya bergeser ke: kebahagiaan, keabadian, kekuasaan. Ketika tiga hal itu teratasi, Homo sapiens punah. Balik lagi ke pertanyaan pertama. Apakah buku ini benar2 menjawab semua pertanyaan kemanusiaan? Nggak juga, karena sudut pandangnya dari sisi ilmu sejarah, ekonomi dan biologi (evolusi). Butuh sudut pandang lain agar upaya manusia untuk abadi, berkuasa dan bahagia tidak menghilangkan “kemanusiaan”. #homodeus
A post shared by Rheza Ardiansyah (@rheza.ardiansyah) on