Tuesday, March 20, 2018

Turah dan Neorealismo

Sinopsis

Tepat ketika saya masuk ke ruang auditorium, layar di latar panggung menampilkan sesosok bayi muncul mengambang. Badannya pucat. Seorang pria menyaksikan tubuh tak bernyawa itu dari daratan. Dialah Turah, warga kampung Tirang di Tegal Jawa Tengah, yang kemudian langsung menguburkan jabang bayi. Polisi lalu datang mendalami kasus mayat bayi, lengkap dengan rombongan wartawan. Para awak media itu lalu mewawancarai warga Tirang lain yang selalu tampil telanjang dada.

Jadag namanya. Kata Jadag kepada pewarta, kejadian itu biasa saja. Turah dan Jadag dikisahkan tinggal di kampung yang terbiasa dengan berbagai keterbatasan. Rumah kumuh, kesulitan air bersih, krisis listrik, produktivitas rendah, hingga kematian. Meski begitu, ada satu kondisi yang coba didobrak Jadag si tukang mabuk-mabukan. Dia merasa hidupnya dan warga Tirang diperalat tuan tanah bernama Darso. Jadag pun berusaha mengobarkan revolusi.

Diskusi

Film Turah yang kemarin saya tonton, sebenarnya bukan diawali adegan mayat bayi mengambang. Saya telat datang sekitar 20 menit, dan adegan itulah yang pertama kali ditonton. Selama sekitar satu jam kemudian, karya produksi Four Colours Films itu pun tamat. Sesi diskusi kemudian dimulai. Datang langsung ke ruang auditorium IFI Bandung, sutradara sekaligus penulis skenario film Turah, Wicaksono Wisnu Legowo. Moderator lalu mengenalkan bahwa film Turah menarik ditonton karena mewakili Indonesia jadi salah satu film peserta kategori Film Berbahasa Asing terbaik di Academy Awards atau Piala Oscar tahun 2018. Selain di ajang prestisius itu, film Turah juga meraih penghargaan di Singapore Internationl Film Festival 2016, hingga Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2016.

Tanpa banyak prolog, tanya jawab dimulai. Wisnu menjawab dan menanggapi satu per satu komentar penonton yang hadir ke acara besutan komunitas Layar Kita itu. Beberapa penonton tertarik dengan hal-hal teknis di balik pembuatan film. Naskah film Turah sebenarnya beres ditulis tahun 2014, berdasarkan film pendek yang dibuat Wisnu tahun 2009. Tahun 2016, kisah itu baru dieksekusi jadi film utuh. Lama pengerjaannya sekitar 9 bulan, termasuk 9 hari waktu pengambilan gambar. Lokasi syutingnya betul-betul diambil di Kampung Tirang dalam kondisi yang otentik. Diakui Wisnu, tokoh semacam Jadag, Turah, Pakel dan Darso juga ada di kehidupan nyata. Sosok mereka lalu dihidupkan para aktor yang memang sehari-hari bicara dalam bahasa Jawa Ngapak khas Tegal—bahasa itu pula yang dibawakan sepanjang film, kecuali ketika Jadag diwawancara wartawan soal mayat bayi.

Kisah dalam film yang didasari realita itulah yang kemudian menjadikan Turah disebut-sebut sebagai penanda perkembangan film neorealismo dari Indonesia. Menurut Wikipedia, neorealismo yang aslinya dari bahasa italia bermakna: a national film movement characterized by stories set amongst the poor and the working class, filmed on location, frequently using non-professional actors. Italian neorealism films mostly contend with the difficult economic and moral conditions of post-World War II Italy, representing changes in the Italian psyche and conditions of everyday life, including poverty, oppression, injustice, and desperation.

Film Turah, secara garis besar memang mengandung banyak kata kunci di definisi tadi, sama seperti film Siti dan film Ziarah. Ketiganya kemudian disebut-sebut sebagai pioneer neorealismo Indonesia. Menurut praktisi film senior Ronny P. Tjandra yang hadir di sana, keikutsertaan Turah di perlombaan internasional—yang jadi indikator kualitas film ini—tidak dibarengi dengan penghargaan di ajang perfilman dalam negeri. Turah tidak masuk ke dalam satu pun kategori penghargaan di Festival Film Indonesia. Baik sebagai nominator, apalagi jadi pemenang. Kata Ronny, “pasti ada yang salah di salah satu di antara dua itu—Oscar dan FFI”. Diskusi tentang film Turah, sebenarnya berlangsung lama. Dan bahasannya pun mendalam, sampe ada analisa tentang penggambaran emansipasi perempuan di sosok istri Turah. Saya nggak ngikutin sampai akhir. Windi udah minta dibeliin es teh dari BEC. []

Sunday, March 18, 2018

Tiarap

Masih soal polemik karikatur Majalah Tempo, yang direspon FPI dengan demonstrasi. Seperti yang kita telah ketahui, bahwa demonstrasi berakhir dengan permintaan maaf. Saya baca sebuah komentar di foto instagram Budi Setyarso—pemimpin redaksi Koran Tempo—bahwa seseorang melihat Arif Zulkifli dan Budi, dipaksa meminta maaf. Komentar itu disukai oleh empunya akun instagram @budisetyarso, yang kemudian saya pahami sebagai “ya, memang begitulah kondisinya”. Kisah tentang tekanan terhadap pers dan produk jurnalistik, banyak berasal dari masa orde baru. Wartawan yang mengalami era penuh tekanan itu pasti punya kisah menarik tentang bagaimana mereka sintas. Salah seorang di antara mereka, Karni Ilyas—yang biografinya masih saya baca. Ada sebuah bab yang membahas bagaimana majalah FORUM Keadilan yang dipimpin Karni, selamat dari pembredelan. Saya akan kisahkan garis besarnya untuk kemudian kita bandingkan dengan kondisi kekinian. Pada masa orde baru, operasional media massa harus berlangsung di bawah restu Menteri Penerangan melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Surat sakti ini bisa saja dicabut sewaktu-waktu dengan berbagai pertimbangan.
“Awak redaksi Tempo biasa menggunakan istilah ‘tiarap dulu’ bila pemberitaan mereka sedang bikin merah kuping penguasa” (hal. 228)
Majalah FORUM Keadilan, pada tahun 1994 sedang ada dalam incaran pembredelan, artinya SIUPP mereka akan dicabut. Penyebabnya, menurut Karni yang mendapat bisikan dari Gorries Mere—sekarang pensiunan jenderal Polri—ada pejabat kepolisian yang tidak menyukai Karni.
“Jadi waktu itu bukan FORUM lagi target operasi untuk dibredel, tapi sudah saya targetnya” (hal. 231)
Lalu apa yang dilakukan Karni? Ia menghubungi enam jenderal agar mereka menelepon Menteri Penerangan Harmoko untuk mengaku bahwa FORUM adalah majalah milik mereka—padahal sebenarnya satu grup dengan majalah Tempo. Harmoko akhirnya batal menghentikan izin terbit majalah FORUM Keadilan, karena “Harmoko kan nggak berani sama tentara, saya tahu kelemahannya itu”, kata Karni seperti tertulis di halaman 223 buku biografinya.
“Nah ketika kondisi sedang gawat begitu, Tempo bikin laporan tentang kapal selam dari Jerman. Dipakailah kesempatan itu oleh Harmoko untuk menghantam Tempo. Padahal maunya menghajar FORUM…” (hal. 223)
Ilmu Undur-undur Trik penyelamatan yang dilakukan Karni, diakuinya mirip ilmu undur-undur yang diajarkan sang ayah: berhenti bila ada kaki orang, jalan lagi bila halangan sudah berlalu. Jajaran pemimpin Tempo barangkali sedang bersiasat serupa. Meladeni permintaan demonstran ibarat mengulur benang layangan mengikuti arah angin, untuk kemudian menukik memutus senar layangan lain. Yang jelas, sekarang setidaknya mereka-yang-merasa-tersinggung-dengan-gaya-berita-satire-ala-karikatur-Tempo, sedikit terpuaskan. Dan kita pun makin paham bahwa di era pasca reformasi ini, tantangan berkarya jurnalistik bukan lagi berupa pengekangan penguasa, melainkan kebebasan yang kebablasan.
“Adalah tugas kita semua menjaga agar arah reformasi di segala bidang itu tetap bisa positif dan tidak berbalik menjadi negatif. Sebab, kalau itu terjadi, kita semua akan rugi dan kehilangan momentum untuk mempunyai negara demokratis yang berwibawa” (cakum Pendulum, 29 Juni 1998) []

Saturday, March 17, 2018

Karikatur

Kemarin, massa dari FPI mendatangi kantor majalah Tempo. Mereka memprotes pemuatan karikatur yang ditafsirkan sebagai penghinaan. Singkat cerita, pemimpin redaksi Majalah Tempo meminta maaf atas dampak yang ditimbulkan. Ada pro kontra soal permintaan maaf itu. Karena meminta maaf berarti mengikuti kemauan massa atau mob, yang artinya mengarahkan situasi demokrasi menjadi mobokrasi—menurut KBBI: pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan. Ada pula yang mengapresiasi langkah Arif Zulkifli yang menekankan permemintaan maaf atas kondisi pasca penerbitan karikatur, bukan pemuatan karikatur di Majalah Tempo edisi 26 Februari 2018. Yang mau saya katakan, kondisi di atas rasanya relevan dengan sejumlah kondisi di buku yang saat ini saya baca. Judulnya Karni Ilyas: Lahir Untuk Berita. Biografi ini sebenarnya terbitan tahun 2012. Di dalamnya, selain menceritakan perjalanan karir 40 tahun sebagai wartawan sang presiden Indonesia Lawyers Club, juga memuat catatan mingguannya yang dulu terkenal rutin dimuat di majalah FORUM keadilan: Catatan Hukum (cakum). Ada beberapa argumen dalam cakum yang mirip dengan kondisi yang dihadapi Tempo—dan media massa lain pada umumnya—terutama ketika berhadapan dengan ketidakpuasan publik atas produk jurnalistik. Dalam sebuah edisi cakum berjudul “Trial By The Press”—media massa yang mengambil alih wewenang hakim dalam persidangan—Karni berkisah tentang pejabat kejaksaan yang tidak nyaman dengan pemberitaan beberapa kasus. Mereka merasa terusik karena nama baik institusinya sedang diusik akibat sejumlah kasus, dari Bank Duta sampai Bappindo-Eddy Tansil. Karni membela diri bahwa kondisi serupa trial by the press yang dikeluhkan, justru terjadi karena pihak yang harusnya memberi klarifikasi malah tidak memenuhi haknya.
“faktor utama penyebab situasi itu terjadi adalah sikap kedua pejabat tersebut yang tetap saja tutup mulut bila dikonfirmasi wartawan” (cakum Trial By The Press, 7 Juli 1994)
Kondisi sebangun nampaknya terjadi dalam kasus yang menjadi latar belakang pembuatan karikatur di Majalah Tempo. Celakanya, seperti yang tertulis dalam cakum berjudul “Pers”, wartawan tak ubahnya setiap hari bertemu buah simalakama.
“Kalau berita yang diturunkan media massa kurang ‘menggigit’, pembaca akan menganggap wartawannya sudah melempem. Tapi, kalau beritanya cukup kritis, banyak pihak akan merasa tersinggung.” (cakum Pers, 25 September 1995)
Padahal,
“...keadaan masyarakat sendiri ikut menentukan lahirnya berita tersebut. Tidakkah, memang, pers sering menerima jeritan masyarakat...” (cakum Pers, 25 September 1995)
Dengan demikian, yang terjadi di kantor Tempo tempo hari kelihatannya timbul karena ketidakpahaman itu. Terlebih, demonstran juga tidak mengerti bahwa pengaduan produk jurnalistik mestinya dialamatkan ke Dewan Pers. Malangnya, polisi tidak mengarahkan mereka ke jalan yang benar, malah memberi izin demo ke kantor media massa. Maka jelas sudah simpulan dari realita pasca karikatur Majalah Tempo:
“Kekuasaan itu tidak hanya harus berarti kekuasaan raja atau presiden, ... kekuasaan kelompok mayoritas, bahkan kekuasaan alat-alat opini publik selama ini. Karena itu, Rendra berkesimpulan, reformasi apa pun juga, termasuk reformasi kekuasaan, tidak ada gunanya bila hukum tidak berada di atas segala-galanya.” (cakum Reformasi, 18 Mei 1998) []

Friday, March 16, 2018

Imigran

Pagi ini saya memandu seorang narasumber untuk diwawancara dalam siaran langsung oleh presenter dari studio di Jakarta. Segmen 2 program Selamat Pagi Indonesia Metro TV bahas tentang imigran di Kalideres Jakarta yang mengganggu warga setempat. Untuk membahasnya, dari Bandung dihadirkan Kepala Humas Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Agung Sampurno—yang kebetulan lagi ada di sini. Nah, sebelum on air, saya dan Pak Agung sempat ngobrol. Dan penjelasannya, kurang lebih juga disampaikan ketika dia diwawancara Sumi dan Iqbal.

Menurut Pak Agung, persoalan imigran sebenarnya dilematis. Di satu sisi, mereka meresahkan masyarakat tuan rumah—seperti yang diberitakan informasi pembuka wawancara. Di sisi lain, nasib malang yang menimpa mereka, memancing simpati juga—diakui warga Kalideres di bagian akhir liputan di atas. Lalu, kenapa mereka datang ke negara kita? Salah satunya, masalah politik di negaranya—ada juga yang karena punya masalah ekonomi.

Saya sempat mengira bahwa Suriah menjadi negara asal sebagian besar pengungsi. Ternyata bukan. Sebagian besar pengungsi berasal dari Afghanistan, negara yang memang sejak puluhan tahun lalu dilanda perang. Dengan posisi geografis yang relatif lebih dekat, mereka kemudian menempati beberapa rumah detensi—Indonesia punya 13 rumah detensi yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura. Rumah detensi ini sendiri, sebenarnya berfungsi sebagai tahanan bagi orang yang melakukan pelanggaran keimigrasian, tapi sekarang malah fungsinya jadi semacam pengungsian, bagi 13 ribuan imigran yang datang ke Indonesia.

Dilematis

Barangkali satu kata itu yang menggambarkan posisi pemerintah kita menghadapi kedatangan para imigran. Ditjen Imigrasi—sesuai undang-undang nomor 6 tahun 2011—tidak menangani imigrasi. Mereka turun tangan berdasarkan perpres 125 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, dengan memberi bantuan penampungan di rumah detensi. Dengan demikian, penanganan yang dilakukan jajaran ditjen imigrasi, mempertimbangakn faktor kemanusiaan. Bagaimana pun, imigran juga manusia. Sama halnya dengan imigran dari Indonesia yang masuk ke pegara pengguna tenaga kerja domestik asal Indonesia—jumlahnya seratusan ribu di Arab Saudi, dan ada juga yang masuk secara ilegal.

Solusinya, sebenarnya ada di tangan negara maju yang meratifikasi perjanjian penampungan imigran. Misalnya tetangga dekat kita: Australia. Sayangnya, negeri wool itu nampaknya juga kesulitan menangani pengungsi. Kondisi mereka di Pulau Manus mengenaskan. Di Nauru juga begitu. Christmas Island—yang katanya keliatan dari pantai selatan Sukabumi—kata Pak Agung mau dijadiin pulau berbasis turisme. Sekarang, yang bisa dilakukan Indonesia, paling melobi negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi penampungan imigran, untuk mau mewadahi saudara kita yang malang tadi. Karena, meskipun jumlah imigran pencari suaka di Indonesia lebih sedikit dibanding negara tetangga—di Malaysia ada 110 ribu orang—tetap saja (menurut warga setempat yang merasakan) keberadaan mereka meresahkan.

“Jadi inget film District 9”, kata saya ke Pak Agung. “Ada wilayah khusus alien di Afrika Selatan, dan orang yang masuk ke sana ternyata ketularan jadi alien juga”.

“Oh iya, gimana kalo petugas kita yang bantu mereka kena penyakit? Udah ada laporan yang kena sifilis loh”, pembicaraan saya dan Pak Agung terhenti karena wawancara di TV akan dimulai. []