Sunday, November 21, 2021

Melihat Pegunungan Tengah Papua Dalam Dua Kunjungan



 

Kenangan Dalam Sekeping VCD

Dalam rak koleksi CD musik yang saya punya, ada satu cakram padat yang belum pernah diputar. Bukan CD sebetulnya. Album musik ini berupa VCD. Karena malas menyesuaikan perbedaan format itulah, saya menunda dengar hingga tujuh tahun.

            Judulnya: Pop Daerah Puncak Ilaga. Ada lima foto dan nama musisi yang dipajang di bagian sampul berwarna dominan cokelat itu, plus satu foto dan nama bupati Kabupaten Puncak, Willem Wandik, SE, M.Si.

            Sepuluh lagu tersusun dalam album kompilasi itu. Ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sebagian besar berjudul bahasa setempat. Salah satu track di urutan keempat, berjudul “Bapak Willem Wandik, SE, M.Si”.

            Pak Willem jadi pengundang tim liputan saya tahun 2014 itu. Saya dan kamerawan Prasetyo Prayogo bahkan tidur di rumahnya. Waktu itu, kami meliput perayaan kemerdekaan RI di salah satu kabupaten pegunungan tengah Papua itu. Saat meliput upacara bendera itu pula, seseorang datang dan memberi saya VCD album tadi, dua keping.

 

Lagu Tentang Ilaga

Album kompilasi Pop Daerah Puncak Ilaga dibuka dengan tembang bertitel “Wajahku Puncak Ilaga”. Domi K. Mokoil menggubah lagu ini, untuk kemudian dinyanyikan Doddy Latuharhary. Tembang ini memberi semacam gambaran “tampakan dari atas” untuk mengenalkan pendengar ke sebuah daerah dengan berbagai kekayaan alamnya.

            Ilaga sebetulnya merujuk ke salah satu distrik atau kecamatan yang ada di Kabupaten Puncak. Untuk sampai di distrik pusat berketinggian 2.286 meter di atas permukaan laut itu, saya musti menumpang pesawat berbaling dari Timika.

Ini perjalanan berisiko. Kecelakaan pesawat kerap terjadi. Bahkan beberapa hari setelah kunjungan saya itu, Bang Coky—salah satu tim Pak Willem—mengirim foto pesawat tergelincir di landas pacu. Tanggal 25 Oktober 2021 lalu saja, kejadian serupa terjadi. Pesawat perintis jenis Caravan milik Smart Air menabrak landasan Bandara Aminggaru Ilaga Papua. Risiko lain kala berkunjung ke Ilaga, tiada lain tiada bukan, ancaman kelompok bersenjata.

 

Damai di Ilaga

Dalam lagu lain di album yang sama, harapan suasana diselipkan melalui lagu “Damai di Ilaga”. Domikus K. Mokoil sebagai pencipta sekaligus penyanyinya, mendeskripsikan suasana sendu. “di senja hari/ di musim dingin/ hari meratap/ hari merintih/ awan gelap berarakan/ asap hitam membubung tinggi/ panas api membakar bumi//”. Ia lalu kontraskan dengan harapan masa depan cerah, “berakhir sudah ratap dan tangis/ di negeri ini/ gadis kecil berdendang riang/ di alam perdamaian//”. Domi menutup tembang dengan sebuah ajakan, “bersama kita membangun kembali/ Ilaga negeri tercinta//

Namun, hingga kini Ilaga masih jadi salah satu daerah panas pertikaian kelompok separatis dan aparat keamanan. Tanggal 5 Oktober 2021, seorang pengojek ditembak orang tidak dikenal di distrik Gome. Kewaspadaan akan keselamatan, juga dilakukan saat saya ke sana tahun 2015. Kala berada di Puncak, eksplorasi tim liputan kami dibatasi sampai batas sungai Ilaga—sungai yang dalam lagu Wajahku Puncak Ilaga ditulis dalam lirik “sungai Ilaga mengalir deras”.

 

Gunung-Gunung Ilaga

“Wajahu Puncak Ilaga” juga menyebut Gunung Gergaji dan Gunung Kelabo di distrik Sinak. Dari lagu itu, saya baru tahu bahwa di dekat Gunung Kelabo, ternyata ada danau juga. Gunung Kelabo, seperti deskripsi di namanya, berwarna kelabu atau abu-abu. Wujudnya serupa kue bolu raksasa rasa cokelat yang ditaburi serbuk gula tipis-tipis. Tampak jelas dari distrik Ilaga.

Lagu “Wajahu Puncak Ilaga” juga menyitir Gunung Okel dan Gunung Meja, selain Gunung Tanah Ibkelabuk. Gunung Meja itulah yang sempat saya daki bersama personel Paskhas TNI AU dan Batalyon Infanteri 500/Raider Ilaga.

Tak perlu waktu lama untuk sampai puncak. Seingat saya, untuk mengunjungi tempat itu juga tak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak. Saya juga tak lupa, tanaman dari genus epenthes atau kantung semar banyak tersebar di jalur pendakian. Selain itu, tanaman genus Myrmecodia atau sarang semut juga menarik perhatian saya. Dua jenis tetumbuhan itu termasuk langka saya dapati.

Gunung Meja spesial karena jadi lokasi pengibaran bendera raksasa merah-putih. Di dekat posisi bendera berkibar itu pula, saya mewawancarai dua anggota TNI dari kesatuan berbeda yang bertugas mengamankan daerah Puncak. Usai wawancara singkat, keduanya meminta kami segera turun dan pulang sebelum gelap, antisipasi risiko adanya serangan kelompok bersenjata.

            Lagu “Wajahku Puncak Ilaga” menyisakan “air panas di Kampung Mayuberi” dan “cendrawasih di Muara Ei” yang tak sempat saya datangi. “duduk dan makan buah merah” di Waloni juga absen dari daftar kunjungan waktu itu. Buah merah, baru saya jumpai dalam lawatan kedua ke Pegunungan Tengah Papua. Kali ini ke disrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

 

Sugapa, Wajah Lain Pegunungan Tengah

            Setahun telah berselang pasca tugas peliputan saya ke Ilaga tahun 2014. Tahun 2015 saya ke pegunungan tengah papua lagi, ke Distrik Sugapa Kabupaten Intan Jaya. Buah merah, yang belum sempat saya cicipi, saya jumpai kala mama-mama di sana menjualnya di sekitar lapangan upacara peringatan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.

            Saat saya bertugas meliput di Sugapa, kondisinya belum semencekam sekarang. Saat ini, tak jauh berbeda dengan Ilaga, Sugapa jadi salah satu titik panas konflik antara TNI dan kelompok pendukung kemerdekaan Papua.

Tanggal 29 Oktober 2021, bandara Sugapa dibakar kelompok kriminal. Tanggal 1 November 2021, dua anak tertembak dan ribuan warga lain mengungsi akibat kontak senjata antara militer Indonesia Satgas Nemangkawi dan kelompok kriminal bersenjata. Sepanjang Januari hingga Oktober 2021, telah terjadi 32 penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di sejumlah kabupaten di Papua, dan 9 penyerangan di antaranya ada di Intan Jaya.

Pangkal konflik di Papua, menurut riset LIPI, ada empat hal. Tahun 2011, sebagaimana dikutip dalam situs LIPI, keempat hal itu berkaitan dengan status integrasi Papua ke Indonesia, operasi militer TNI, diskriminasi dan kegagalan pembangunan. 

            Relevansi urusan pembangunan yang dimaksud dalam riset tadi, saya temui kala berada di sana. Tepat ketika ada di Sugapa, saya turut meliput demonstrasi yang dilakukan warga Intan Jaya agar pemerintahan kabupaten bisa berlangsung normal. Warga mengeluhkan bupati yang jarang ada di lokasi. Di sisi lain, bupati Intan Jaya Natalis Tabuni—yang kembali menjabat bupati di tahun 2021—mengaku harus mencari investor supaya pembangunan yang diminta warganya bisa terlaksana.

 

Emas di Sugapa

            Hari-hari ini, Sugapa dikenal termasuk ke dalam wilayah yang disebut blok wabu. Daerah ini disebut-sebut akan menjadi area eksploitasi baru karena ada kandungan 8,1 juta ons bijih emas. Saya tidak ragu dengan klaim itu.

            Di Sugapa, saya menjumpai batu-batu yang memiliki lapisan tampak serupa emas—setidaknya terlihat demikian. Batu itu terserak di pinggiran sungai. Ambil sembarang bongkahan kecil, dan amatilah. Niscaya, jelaslah terlihat kilauan itu. Saya sempat ambil sekepal kala berenang di sungai itu.

Sensasi berenang di sungai Sugapa menyenangkan. Airnya dingin, ada bagian yang arusnya terasa menghanyutkan tapi tetap memberi kita kendali ketika terseret. Terlebih, saya berenang dengan warga setempat dan Maximus Tipagau.

Maximus yang lahir dan besar di Sugapa, waktu itu menjalankan bisnis jasa penyedia pemanduan perjalanan ke puncak Cartenz. Gunung yang ada di 4.884 meter di atas permukaan laut itu dinobatkan jadi puncak tertinggi di Indonesia, bahkan ketujuh di Asia Tenggara.

Sugapa, jadi salah satu jalur pendakiannya. September 2015, Maximus “Si Gladiator Papua” dan timnya berhasil memandu wartawan detikTravel Afif Farhan dan wartawan Sinar Harapan Sulung Prasetyo, tiba di Puncak Cartenz.

Dari dua kunjungan itu, pegunungan tengah Papua memang belum cukup dikenal dengan akrab, setidaknya bagi saya. Meski begitu, dua pengamatan di atas rasanya akan bikin saya berempati dengan penduduk pegunungan tengah, dengan VCD Pop Daerah Puncak Ilaga sebagai penanda ingatan. []