Saturday, March 12, 2022

Mimpi

Mimpi aneh, biasanya datang waktu kita tidur lagi di pagi hari, atau ketiduran di siang hari. Baru-baru ini, saya mengalaminya di momen yang kedua. Di mimpi itu, saya sedang bertugas liputan (padahal sudah hampir setahun saya nggak ke lapangan buat liputan) dan ketemu seorang narasumber buat diwawancarai: Tesla Manaf.


Kehadiran musisi yang sekarang tinggal di Bandung itu, beralasan. Sehari sebelumnya, saya baca tulisan Herlambang Jaluardi di Koran Kompas tentang Tesla Manaf. Di tulisan itu, sekali lagi saya punya perspektif baru tentang bagaimana seniman yang satu ini membakar jembatan untuk menuju episode baru karirnya.


Maksud saya begini. Tesla, pindah haluan musik sejak 2018. Dia sepenuhnya meninggalkan gitar dan jazz yang ditekuni sejak kecil. Saya sendiri mengenal karya dia dari album It's All Yours, gubahan Tesla Manaf feat. Mahagotra Ganesha. 


Album itu punya 8 track yang dijuduli seragam. Part 1 hingga Part 6, lalu ada dua track baru berjudul Part 1 dan Part 2. Di dalam sleeve CD tertulis partitur, karena memang musiknya tak berlirik, meski tetap ada suara vokal di beberapa nomor.


Itu album tahun 2011. Tujuh tahun setelahnya, Tesla Manaf rilis album eksperimental dan mengubah nama panggung jadi Kuntari. Saya belum punya niat menikmati rilisan baru Tesla dalam balutan identitas barunya. Mungkin karena memang belum paham cara mendengarkan musik eksperimental yang baik dan benar--kalau pun ada.


Dalam artikel yang saya bahas di atas, Tesla menjabarkan bahwa album musik eksperimentalnya, punya konsep tersendiri. "Dalam karya eksperimental, narasi itu penting," kata pria 35 tahun ini.


Salah satu yang ia contohkan, album Last Boy Picked rilisan tahun 2021. "Dia punya ide menggabungkan gaya breakcore dengan instrumen baru ini, tapi menggunakan instrumen organik," begitu tulis sang wartawan.


Narasi semacam itu saya jumpai pula dari performa dan rekaman nada milik Senyawa*. Duo eksperimental itu kerap memakai instrumen yang dirakit Wukir Suryadi. Iringan vokal Rully Shabara pun memberi warna yang unik.


Dalam hal mendengar karya Kuntari alias Tesla Manaf, ada narasi lain yang bikin saya jadi tertarik buat simak: keberaniannya menjelajahi genre baru. Soal kadar nekat se-ubun-ubun ini sebenarnya bukan hal baru yang saya dengar soal dia. Dalam wawancara yang disiarkan akun YouTube Orange Cliff, pria bermata minus dua itu juga cukup blak-blakan. Ada obrolan soal duit ratusan juta yang dia kumpulkan, lalu ia hamburkan lagi demi idealisme musiknya. Narasi itu, saya kira nggak kalah menarik buat melatarbelakangi musiknya.


Sekarang mari kita balik lagi ke pengalaman soal bermimpi absurd. Di alam sana, saya senang karena akan ngobrol sama musisi yang lagunya saya suka--setidaknya dari album tahun 2011 tadi. Konyolnya, di mimpi itu Tesla bilang akan punya banyak waktu buat diwawancara, padahal liputan saya akan berhari-hari--dan bahan wawancara pun cuma dari satu album. Sebelum momen penulisan berita di dalam mimpi itu semakin aneh, beruntung saya keburu bangun. []


*Simak tulisan saya tentang Senyawa di tautan ini: https://rhezaardi.blogspot.com/search/label/senyawa