Thursday, January 26, 2017

Target Pasar xXx: Return of Xander Cage

Tahun 2005, saya masih duduk di bangku SMA. Ketika itu saya tinggal di rumah kos, karena rumah orang tua jaraknya satu jam perjalanan dari sekolah. Di kosan, nggak ada TV. Padahal, malam itu ada film laga yang sangat ingin saya tonton. Akhirnya, seorang teman berbaik hati mengajak saya menginap di rumahnya. Terima kasih buat Gravito, berkat kemurahan hatinya, malam itu saya berhasil nonton film xXx, yang sebenarnya pertama kali rilis tahun 2002. Triple X, meskipun skor di imdb jelek, bagi saya film penting.

Rangkaian adegan ekstrim Xander Cage, ketika itu membangkitkan nostalgia saya semasa SD-SMP yang gandrung permainan skateboard Tony Hawk di Play Station 1. Triple X memang menjual aksi ekstrim. Motocross yang melompat tinggi melewati pagar duri, stiker “skateboarding is not a crime” dan terjun bebas dari jembatan buat merusak mobil mewah, masih saya ingat dari seri pertama xXx. Lalu datanglah seri keduanya, yang dibintangi Ice Cube. Ah yang saya ingat cuma mukanya yang selalu merengut. Awal tahun 2017, dibuatlah seri ketiga xXx, dengan kedatangan kembali pahlawan saya: Vin Diesel sebagai Xander Cage.

Sebenarnya peringatan bahwa film ini mengecewakan bukan sekali dua kali saya baca. Dan itu terbukti. Di menit-menit awal film. Gimana ceritanya Neymar yang keturunan Brazil, sehari-hari main bola buat sebuah klub sepak bola di Spanyol, ada di Cina sama perekrut agen xXx: Gibbons? Apa itu sebenarnya di warung makan Cina Barcelona? Bisa aja sih begitu, tapi masa sih tiba-tiba ada perampok yang masuk ke restoran timingnya pas si Gibbons bayar. Lalu dengan heroiknya Neymar sang calon penerus xXx menyelamatkan. Rentetan logika itu awalnya meragukan, tapi kemudian masuk akal ketika penonton dipaparkan cerita tentang Xander Cage yang diuji instingnya melalui rekayasa suasana. Pahamlah saya, itu kondisi bentukan Gibbons buat mancing potensi Neymar. Saya juga mulai paham, kenapa Gibbons dan Neymar harus bertemu di restoran Cina—dengan merk yang jelas terpajang (dalam bahasa mandarin). Jawabannya, karena film ini ditujukan bagi penonton Asia.

Perlu bukti lain? Saya kenalkan Anda ke Kris Wu, mantan personil boyband konsorsium Korea-China EXO. Berperan sebagai Nick, skill ekstrim rapper itu cuma pencet tombol play di set DJ—tunggu, apa dia cuma memandu joget ya? Saya lupa. Intinya kalau pun Kris Wu dihapus dari jalinan kisah perebutan Kotak Pandora—alat pengendali satelit—film ini akan tetap berjalan mulus. Lalu kenapa ia dimainkan? Untuk menarik fans Wu agar menonton. Pertanda ke-Asia-an film ini juga terlihat dari hadirnya Donnie Yen—pemeran utama trilogi Ip Man. Ada juga Tony Jaa, si jago muay thai itu. Selain itu, hadir pula Deepika Padukone yang menyegarkan.

Yang ingin saya sampaikan, ini sesuai dengan sebuah video yang pernah saya tonton. Bahwa Hollywood kali ini melirik Cina sebagai pasar potensial. Dalam video itu, dipaparkan pula bahwa saking pentingnya positioning Tiongkok di dalam film agar penonton utama merasa dekat, adegan dalam film Looper (2010) yang mulanya diskripkan di Perancis, lokasinya jadi Shanghai. Di luar urusan pertargetpenontonan di atas, xXx: Return of Xander Cage tetap menarik. Terjun bebas masih ada, ledakan tetap bombastis, Xander girls—emang Bond doang yang punya girls?—juga asik-asik. Agar ketika nonton seri ketiga xXx ini kepuasannya bisa maksimum, sebaiknya nikmati saja unsur utama trilogi ini: aksi ekstrimnya. []

Tuesday, January 24, 2017

Wiji Thukul dan Anak Perempuannya

Selama beberapa lama di akhir masa kuliah sekitar 6 tahun lalu, saya memasang potongan lagu Jeruji berjudul Lawan sebagai musik pembuka ketika menyalakan laptop. Liriknya lugas. Kental nuansa pembangkangan, dan dirangkum dengan seruan “lawan”.
Kami cinta negeri ini, tapi kami benci sistem yang ada. Hanya ada satu kata: lawan!
Belakangan, barulah saya tahu bahwa barisan terakhir di lagu itu mulanya dipopulerkan di dalam sebuah puisi berjudul Peringatan. Penggubahnya, Wiji Thukul. Sosok penyair cadel inilah yang kemarin saya tonton di film Istirahatlah Kata-Kata. Atau Solo, Solitude—versi judul bahasa Inggrisnya. Menonton Istirahatlah Kata-Kata, seperti menikmati puisi. Pelan, simbolik, sederhana—jika kesederhanaan puisi “hanya” berupa kata-kata, maka sederhananya film ini “hanya” rentetan adegan bernuansa sunyi. Bagi beberapa orang mungkin gaya ini mengundang rasa bosan. Saya aja ketiduran di beberapa skena—sehingga perlu tanya ke istri di sebelah tentang adegan yang kelewat. Dengan membuat penonton melewatkan layar, bagi saya bukan berarti film ini gagal, atau jelek. Justru ia berhasil menyampaikan suasana yang ingin dibagikan ke penonton. Ketika nonton What They Don’t Talk About When They Talk About Love, saya merasakan sensasi serupa. Misalnya ketika tokoh utama menghitung jumlah sisiran rambut. Setelah baca wawancara sutradaranya, barulah saya sadar bahwa adegan itu perlu untuk menunjukkan kepercayaan si tokoh terhadap suatu mitos, yang memang ketika dilakukan terasa membosankan. Pula demikian dengan Istirahatlah Kata-Kata. Potongan kisah persembunyian Wiji Thukul ketika menyelamatkan diri dari kejaran militer, menggambarkan pelarian yang senyap. Meski menampilkan ketegangan, unsurnya bukan terbentuk dari intensitas yang biasa ada di film laga. Cukup dengan pembicaraan semi interogasi seorang tentara di sebuah tempat pangkas rambut, penonton bisa merasakan ketegangan. Barangkali pengetahuan bahwa Thukul bukan ditangkap ABRI, yang mengurangi rasa khawatir kita akan nasib si tokoh utama di tangan prajurit yang bercukur itu. Rasa empati penonton, selain dipancing melalui tensi pencarian dan persembunyian, juga diundang melalui cara Thukul teringat anak yang ia tinggalkan. Dalam beberapa kesempatan, ketika ia bersembunyi di Pontianak, seringkali terdengar suara tangis bayi. Saat itulah naluri kebapakannya menyeruak. Saya jadi ingat tulisan Zen RS di status Facebooknya. Bahwa ia paham bagaimana beratnya meninggalkan seorang anak. Anak perempuan khususnya. Perasaan itu diungkap juga oleh Pandji. Dalam salah satu kisah di balik layar tur dunianya, komika ini mengaku paling tidak nyaman ketika mengingat sang putri, yang malah sembuh ketika ayahnya ada. Bagi saya yang belum tahu rasanya jauh dari anak, sepertinya itu tidak sedemikian menyiksa. Lalu pandangan saya tertuju ke perut Windi yang menggelembung matang. Dia cuma senyum. Katanya lihat aja nanti. Saya pun menerka-nerka, ketika pekan depan bertugas ke luar kota selama berminggu-minggu, saya akan sekangen apa dengan dia, dan calon anak perempuan kami. []

Monday, January 23, 2017

Kode Nusantara

Topik liputan saya untuk program 360 Metro TV berjudul Kode Nusantara, datang dari sini: sebuah buku sains populer tentang pengungkapan rahasia ilmiah dalam budaya nusantara. Naskah setebal hampir 200 halaman ini lahir dari telaah Hokky Situngkir, peneliti Bandung Fe Institute, sebuah institusi riset independen yang menyebut diri sebagai pusat studi kompleksitas. Ilmu kompleksitas berarti memandang sebuah objek penelitian dari berbagai sudut pandang sains. Dan ketika pisau kompleksitas itu dijadikan alat untuk membedah fenomena dan produk budaya di Indonesia, terungkaplah Kode Nusantara. Kode-kode atau nilai dasar budaya nusantara ini nantinya bisa digunakan untuk mengembangkan budaya lain berdasarkan identitas dasar bangsa.

Di bagian pertama, Hokky langsung membahas temuan terdasar berupa ciri khas gaya gambar bangsa nusantara setelah dibandingkan dengan lukisan bangsa eropa. Ada sebuah struktur khas yang dimiliki budaya nusantara. Namanya fraktal. Dari fraktal inilah temuan lain kemudian diungkap. Mulai struktur horizontal dan vertikal candi Borobudur yang membentuk perbandingan selaras, hingga pengukuran dimensi dalam gorga (ukiran khas batak). Penjelasan-penjelasan tentang fakta ilmiah dalam budaya nusantara ditampilkan dalam bahasa saintifik yang dikemas seawam mungkin, tapi tetap saja di beberapa halaman membuat kening berkerut. Buku ini sebaiknya dilengkapi glosarium atau kamus istilah di bagian akhirnya. Selain itu, Hokky juga menyelipkan beberapa kritik. Ini memudahkan pembaca merefleksikan pemaparan riset tadi ke kehidupan nyata. Misalnya ketika mengungkap batu bernada di gunung padang, ia juga menyayangkan kebiasan mistis masyarakat di objek budaya kuno itu. Atau saat Hokky menuliskan bahwa budaya batik yang menyebar di seluruh Indonesia ternyata merupakan contoh inovasi yang bisa dikembangkan dari nilai dasar budaya yang sudah ada. Dengan begini, pembaca lain yang ingin mengembangkan sebuah nilai budaya menjadi produk ekonomis, bisa terbantu. Cara Hokky memulai sebuah bab juga menarik. Saya terkesan dengan caranya memperkenalkan Charles Darwin kepada pembaca di awal bab kelima. Sisi lain hidup sang bapak evolusi itu diungkap sebelum namanya dibocorkan. Dari cara yang juga diperlihatkan di bab 7 (Bangsa-Bangsa yang Bernyanyi) ini, terbaca pula betapa mendalamnya pengetahuan Hokky tentang profil sejumlah ilmuwan. Sementara di bab akhir, Hokky memaparkan analisanya tentang fase kebangkitan sebuah bangsa, yang ternyata berkaitan dengan bagaimana cara mereka memperlakukan potensi atau identitas budaya.
Baik kebangkitan bangsa-bangsa Eropa, Amerika Serikat, maupun Jepang, dimulai dengan revitalisasi warisan budayanya. Bangsa yang bervisi peradaban sepertinya memang harus mengikuti tahapan tersebut, tak terkecuali Indonesia, jika keragaman budaya yang ada dilihat sebagai asset demi inspirasi yang mendunia. []

Sunday, January 8, 2017

Mantra Layar Kaca

Sejak tahun 2013, saya bertugas sebagai reporter di program Mata Najwa Metro TV. Episode pertama yang ada kerja saya di dalamnya, adalah tayangan berjudul “Rindu Daripada Soeharto”. Setelah itu, selama sekitar 14 bulan saya belajar di program yang dimotori Najwa Shihab itu. Tahun 2013, Mata Najwa sedang gencar memulai lagi format talk show yang digelar di kampus-kampus: Mata Najwa On Stage.

Saya pertama kali bertugas di tahap ini, ketika MOS digelar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 14 Desember 2013. Kala itu saya jumpa dengan seseorang berkacamata bundar dan rambut pendek. Belakangan kami berkenalan. Ternyata ia Fenty Effendy, yang dua tahun kemudian menerbitkan buku tentang Mata Najwa bejudul Mantra Layar Kaca. Mbak Fenty—demikian saya kemudian menyapanya—sebenarnya bukan orang asing.

Ia pernah menjadi produser sebuah program dialog di Metro TV. Pantes Mbak Fenty terlihat akrab juga sama Mbak Nana (panggilan Mbak Nana) dan para produser Mata Najwa saat itu (Mbak Citra, Mas Nurdhian, Mas Cahyadi). Kedekatan itu pula yang nampaknya membuat buku gubahannya terasa mampu menggali hal-hal detil, karena bisa masuk ke momen-momen kecil yang justru punya kisah tersendiri. Saya ingat ketika episode yang menghadirkan wali kota Surabaya Tri Rismaharini, akhirnya diputuskan berdiri sendiri. Sebelumnya, wawancara Risma yang menangis ketika mengisahkan suasana prostitusi, akan digabung dengan wali kota dan bupati dari daerah lain. Kisah ini ternyata turut di kisahkan. Tulisan Mbak Fenty juga menyelipkan rahasia di balik ungkapan para narasumber yang ketika itu diperbincangkan.

Di akhir wawancara dengan Megawati, presiden RI ke-5 ini menangis ketika mengungkapkan cita-citanya: Indonesia Raya. Dalam episode yang sama, Megawati juga terkesan dengan pertanyaan tentang almarhum suaminya, Taufik Kiemas. Bagaimana cara Najwa bertanya? “tidak perlu rumit merumuskan pertanyaan. Dengarkan dengan seksama jawaban narasumber Anda dan galilah hal yang belum terungkap dari jawaban itu.” (hal. 188) Selain kisah dari ruang rapat studio taping Mata Najwa, Mantra Layar Kaca juga menyajikan data dan fakta tentang episode yang pernah diulas.

Secara garis besar, pembaca bisa paham tentang apa yang terjadi dengan kasus bailout Bank Century. Dalam bab lain, kronologi kasus cicak lawan buaya juga dihadirkan. Meski informasi dan tips di atas memberi manfaat tersendiri bagi pembaca (khususnya wartawan), berbagai paparan di dalam buku ini lebih terasa sebagai glorifikasi kesuksesan Mata Najwa. Untungnya, otokritik bagi program yang tayang sejak 2009 ini juga tetap ada (opini Yunarto Wijaya di halaman 315).

Sekarang, buku lain tentang Mata Najwa sudah terbit, judulnya Catatan Najwa. Buku yang terakhir itu isinya rangkaian kalimat pengantar dan penutup dalam setiap episode program yang tayang tiap Rabu malam itu. Tranformasi identitasnya ke berbagai bentuk tadi, nampaknya menunjukkan bahwa Mata Najwa, memang Mantra Layar Kaca. []

Wednesday, January 4, 2017

Punan Semeriot

Meski semalam tidur larut setelah berpesta ulang tahun sekolah, Aken tetap bangun pagi. Ia sudah ada di pinggir sungai dengan tas barunya yang berisi alat mandi dan alat tulis.Buku tulis itu ia keluarkan. Sebuah pensil berujung tumpul mengiringinya. Tak ada pisau, tidak ada serutan. Satu-satunya pulpen di tangan saya berikan untuknya. Selanjutnya, Rina mengambil alih. Dengan telaten ia mengajari Aken satu per satu menulis huruf dan angka.

Catharina Megawati alias Rina, adalah salah satu pengajar Sekolah Adat Punan Semeriot (SAPS), sebuah sekolah nonformal yang diinisiasi Sri Tiawati, keponakan Rina. Rata-rata seminggu sekali, Sri dan Rina mengajar anak-anak suku Punan Semeriot di kampung halaman mereka. Meski sebenarnya itu tidak mudah. Rina dan Sri tinggal di Desa Kelembunan, Kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Untuk menuju Sungai Semeriot di Desa Ujang, mereka perlu menempuh perjalanan sekitar lima jam. Perjalanan panjang ini tidak mudah.

Mereka harus menerjang jeram dengan perahu ketinting, sebuah sampan seukuran kano yang maksimal ditumpangi empat orang. Perjuangan menuju Desa Ujang tambah berat jika air sungai sedang surut. Beberapa kali mereka harus turun dari perahu dan menariknya ketika tersangkut bebatuan dasar sungai. Meski tidak mudah, keduanya tak menyerah. Kini, satu tahun sudah Sekolah Adat Punan Semeriot telah beroperasi. Tiga puluhan anak di perkampungan kecil suku Punan Semeriot itu tidak lagi asing dengan pendidikan. Dan Aken, sudah mengenal abjad, angka, dan membaca—meski terbata-bata.

Aken

Aken adalah anak pertama dari lima bersaudara. Enam sebenarnya. Adik pertamanya meninggal karena sakit, entah apa.Tapi saya menduga, penyakit yang membunuh sang adik bukan yang tak bisa disembuhkan. Kesan itu saya dapat setelah mendengar kisah Liana, saudara sepupu Aken. Mereka seusia, sekitar 10 tahunan. Ibunda Liana meninggal karena sakit krungut—demikian Liana menyebutnya. Krungut yang ia maksud adalah cacar.

Mestinya, ibu Liana bisa diselamatkan jika akses pelayanan kesehatan terjangkau. Kenyataannya, di perkampungan berisi 20 rumah itu, fasilitas umumnya cuma gereja. Perkampungan Suku Punan Semeriot sebenarnya berdiri belum lama. Rumah yang saling berhadapan itu tidak mereka tempati setiap hari, karena para Punan Semeriot lebih suka berkelana. Mereka menjelajahi suatu wilayah hutan, lalu berpindah ke hutan bagian lain untuk berburu makanan dan menyambung hidup. Kebiasaan itusekarang mereka hentikan, demi dua alasan.

Pendidikan

Ditipu. Itu salah satu pengalaman pahit Jhonidy Apan ketika sebagai anggota suku Punan Semeriot, ia berinteraksi dengan dunia luar—peradaban yang mengenal uang. Jhoni berkenalan dengan alat tukar itu pada tahun 1991. Senyumnya tersungging ketika mengenang kebingungannya karena mendapat uang kembalian dalam sebuah transaksi. “Saya kasih satu lembar, tapi malah dikasih lagi dua lembar,” ungkapnya. Raut muka serupa juga tampak ketika pria 48 tahun ini mengisahkan kali pertama suku Punan Semeriot mengenakan baju berupa kain. Sebelumnya, mereka memakai kulit kayu talun yang mereka dapat dari meladang di dalam rimba. Hasil meladang itu pula, yang kemudian menjadi bekal suku Punan Semeriot untuk berinteraksi dengan kehidupan kapitalistik.

Kala itu Jhoni menjual kayu gaharu yang ia dapat dari dalam hutan. Dari seseorang yang membelinya di kota, Jhoni mengantongi uang 200 ribu rupiah. Belakangan dia baru tahu, bahwa harga sebenarnya yang pantas ia dapat bisa mencapai 10 juta rupiah. Tak ingin kejadian serupa terulang, pria yang kini menjabat Kepala Lembaga Adat Dayak Punan Kecamatan Sekatak itu, menghentikan kebiasaannya berladang. Tahun 2013, ia dan anggota kelompoknya mendapat bantuan pembangunan rumah dari pemerintah. Sebuah perkampungan kecil pun terbentuk. Jhoni kemudian mengupayakan satu solusi agar anggota suku punan semeriot tak lagi mempan ditipu: pendidikan.

Menghadirkan guru ke perkampungan Punan Semeriot, ternyata bukan perkara gampang. Sebuah ketinting ia siapkan khusus untuk sang pengajar. Gaji pun sudah disiapkan bupati, meski kemudian tak bertahan lama. “Ternyata 6 bulan, jadi guru itu sudah pindah. Nah pindah mungkin bagaimana dia cari yang paling mahal,” Jhoni menjelaskan. Seorang pendeta juga pernah bertugas di kampung Punan Semeriot, dengan sarana yang kurang lebih serupa. “Kami waktu itu siapkan juga susu anaknya, makanannya, jatah-jatahnya, kami siapkan. Dan uang transportasinya, kami kasih. Mutasi lagi,“ papar Jhoni.

Kini, harapan Jhoni agar anak-anak Punan Semeriot berpendidikan, bergantung di pundak Sri dan Rina. Keduanya bergerak sukarela mengajari tiga puluhan anak-anak. Dari menulis, membaca, menjala ikan, hingga belajar gosok gigi. Ilmu adat istiadat juga tak luput diwariskan seorang tetua di sekolah bentukan dua perempuan Punan Kelembunan itu.

Hutan Adat VS Hutan Negara

Alasan kedua yang membuat suku Punan Semeriot berhenti hidup nomaden, adalah perubahan hutan. Sejak 2009, perusahaan pengolahan kayu masuk ke hutan yang biasa dijelajahi para Punan Semeriot. Masalah muncul ketika tidak ada batas antara hutan adat dan hutan yang boleh dikelola perusahaan. Sebenarnya, sudah ada aturan tegas yang membagi peruntukan hutan bagi kedua belah pihak. Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di dalamnya disebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara, melainkan hutan hak milik masyarakat adat. Artinya, hutan adat akan dibebaskan dari kewenangan negara untuk menjadikannya hutan yang dikelola perusahaan. Dua hari jelang tahun berganti menjadi 2017, presiden mengeluarkan sejumlah wilayah adat dari konsesi perusahaan. Keuntungan serupa itu bisa didapat Punan Semeriot ketika mereka sudah punya batasan wilayah yang jelas. Dan hingga kini, proses pemetaan masih berlangsung.

Jhoni 

Jhoni mengajak saya menembus rerimbunan semak. Di balik tutupan dedaunan, kemudian terkuak jalur untuk pejalan kaki. Tanahnya basah. Beberapa jejak kaki tanpa alas masih tercetak jelas. Itulah jalur yang biasa ditempuhnya untuk meladang ke hutan. Meski sudah punya permukiman permanen, ia dan keluarganya tak bisa setiap saat tinggal menetap. Bersama istri dan anak-anaknya, Jhoni masuk ke hutan hingga satu minggu. “Di mana sungai yang ada ikan, atau di mana gunung yang ada binatang, ya kita tuju itu. Itulah kehidupan punan yang sebenarnya.” Jhoni menutup percakapan. []