Monday, December 26, 2016

Visi Musik Rully Shabara

Sehari sebelum menggelar konser tunggal, Senyawa tampil di kantor Media Group. Di sana mereka membawa lima nomor lama dan baru. Setelah tampil selama sekitar 20 menit, saya langsung mencegat mereka. Pertama-tama, saya hampiri Wukir Suryadi, pemain instrumen di antara duo itu. Terakhir kali kami jumpa beberapa bulan lalu di Jerman. Saya yang sedang bertugas meliput Frankfurt Book Fair, berkunjung ke lokasi pertunjukan Gandari. Di sana, ada Wukir yang juga menonton teater itu dalam rangkaian perjalanan tur musikalnya. Wukir sempat mengundang saya menyaksikan penampilannya di Weltkulturen Museum. Sayangnya ketika itu saya nggak bisa hadir. Nah di momen ketika Senyawa tampil di kantor inilah saya baru sampaikan alasan ketidakhadiran waktu itu. Haha
Saya kemudian berbelok ke sisi lain panggung, menyalami Rully Shabara dan memperkenalkan diri. Inilah kesempatan pertama saya berbincang panjang dengan biduan berjangkauan vokal lebar ini. Obrolan panjang bersama Wukir pernah saya lakukan di Galeri Nasional tahun 2013. Nah tinggal Rully nih yang belum digali. Maka sekaranglah saatnya untuk mendalami visi musikal penyanyi yang juga sumbang suara bagi kelompok rock-eksperimental Zoo.
“Samastamartha keren banget!” saya berseloroh to the point. “Siapa mastermind-nya?” Mata Rully mengerling, lalu menjawab singkat, “siapa lagi?”
Samastamartha yang saya maksud adalah album termutakhir Zoo. Saya memujinya karena album ketika band asal Jogja itu bukan cuma bundelan musik, tapi juga segepok ide. Sebenarnya dua album Zoo lain juga begitu. Hymne Peradaban memulai perjalanan Zoo. Peradaban memang menjadi kata kunci penting. Setelahnya, album Prasasti dirilis dilengkapi dengan Zoografi, sistem abjad yang diciptakan melekat dengan album itu. Lalu hadirlah Samastamartha yang berarti harfiah terdiri dari samastha (sejajar dengan tanah) dan martha (kekal). Meski memang terasa lebih banyak bahasan tentang Zoo, wawancara saya dengan Rully berikut ini juga berisi tentang proyek paduan suara eksperimental, hingga hal personal tentang kehadiran ibunya di sebuah pentas. Simak!
Zoo
Jadi Samastamartha itu referensinya apa aja?
Oh kalo itu kita membagnun ulang peradaban dari pandangan arsitektur. Jadi aku dibantu sama JP studio itu konsultan arsitektur. Aku cuma pengen bangun kota seperti ini, mitologi dan sejarahnya seperti ini. Jadi aku berdiskusi lama, seperti apa sih sebuah kota itu muncul berkembang dan hancur. Jadi aku banyak dikasih masukan.
Aku hanya membangun histori kota itu dengan sejarahnya dan filosofinya. Jadi aku banyak ngambil contoh dari kota-kota yang ada, termasuk Yogyakarta (kota tempat Rully kuliah, hingga bertemu rekan kolaborator musikalnya).
Itu kayaknya metafora ya?
Beringin itu alam. Kalau kita tidak bersinergi dengan alam ya kita ancur tanpa disadari. Setiap lagu kan tentang filosofi sebuah kota berdasarkan arsitektur yang ada di tempat tersebut. Jadi arsitektur aku nggak ngomongin bangunannya tapi landasan moral masyarakat sekitar. Kayak masyarakat sekitar jawa kan borobudur dan candi-candi itu kan banyak pelajaran moral dari situ, jadi panutan masyarakat sekitar.
Yang ke depan memang Zoografi itu ya proyeknya?
Bukan. Zoografi itu salah satu benang merah. Waktu studi bahasa itu kemarin kan (di album sebelumnya). Aku ciptain bahasa itu apa tentang bahasa, abis itu tentang agama, teknologi.
Tahun berapa?
Tahun depan. Sekarang sedang riset tentang itu, agama. Jadi peradaban yang dulu kita bangun itu sekarang ada agamanya. Kemarin ada bahasanya, ada arsitekturnya, sekarang ada agamanya.
Titik awal dari kehancuran dan kebangkitan bangsa itu dari sini dari agama, abis itu teknologi.
Abis teknologi ada migrasi, tata negara, dan sebagainya sampai akhirnya komplit tahun 2025. Tahun 2025 bubar. Selesai.
Ide itu dari mana?
Ya aku ingin membuat proyek yang berlangsung 20 tahun dengan tema yang tidak habis dieksplor dan tema yang sama. Seperti dari awal peradaban sampai akhir. Dari kosong, dari primitif sampai akhirnya maju berkembang dan hancur.
Dan kayaknya keliatannya menyesuaikan dengan kekinian, maksudnya soal agama tadi bahwa itu bisa menghancurkan atau membangkitkan. Karena kan isu agama lagi marak. Itu memang menyesuaikan dengan itu juga?
Nggak. Kebetulan aja, aku udah rancang ini udah dari tahun kapan agama bakal rilis. Kebetulan aja. Tiap tema aku bikin riset dulu lalu ada liriknya, liriknya kemudian musiknya. Setelah ada musiknya baru kita kembangkan lebih lanjutnya. Digali lagi konsep itu.
Paduan Suara Eksperimental
Itu soal Zoo. Teknik suara seperti itu latihannya gimana?
Sedikit demi sedikit.
Aku pengen bisa. Hahaha.
Wah, nggak bisa mendadak. Sedikit-sedikit, pelajarin, secara detil seperti apa bunyi yang keluar dari kita dicari yang nyaman bukan mana yang bisa. Kalau aku begitu. Aku tiga tahun kemarin belum segini banyaknya, nanti tambah lagi tambah lagi.
Kalau di Indonesia ada nggak yang punya skill serupa?
Aku nggak tahu. Mungkin ada. Orang Indonesia talent-nya kan gila-gila, cuma kan bukan masalah skill-nya, (tapi) bagaimana menerapkannya ke visi musikmu. Aku kalau cuman gitu-gitu aja dengan musik seperti itu kan biasa juga. Jadi harus dikemas dengan yang tepat gitu.
Jadi akhirnya tidak seolah-olah konser yang pamer skill. Jadi kan orang menganggap skill-nya membantu membangun emosi dan energinya. Gitu.
Visi tadi yang dimaksud?
Iya, sama kayak Zoo yang bisa sampai 2025 aku bikin.
Senyawa?
Senyawa lain lagi. Senyawa fokusnya adalah mengembangkan potensi yang ada. Jadi di sini aku belajar mengembangkan potensi diri, pribadi, kemampuan, dan dalam hal musik juga.
Kalau nyebut nama, Rully Shabara ini inspirasinya dari siapa aja?
Wah banyak banget mas, banyak sekali. Dari teman-teman, lingkungan, dari musik yang aku dengerin, dari buku.
Aku nonton wawancara Vice, Mas keberatan kalau ini disebut musik tradisional.
Memang bukan tradisional kan. Aku nggak keberatan disebut apa-apa, tapi bukan tradisional kan. Musik tradisional itu punya pakem tertentu yang harus dihormati. Dan kami tidak melakukan itu. Kamu bisa bilang ini musik avant-garde, musik metal, silahkan. Karena ya gitu. Dan bagi itu gak penting itu genre. Genre itu hanya untuk membantu media atau jurnalis musik untuk mempelajarinya aja.
Tapi bagi musisinya sendiri itu malah sangat tidak penting. Malah membatasi mereka kalau ada sebutannya. Kalau ada sebutannya berarti hanya berkecimpung di kotak itu dong. Ya kan.
Aku follow instagram ada semacam kelas vokal gitu. Kayak gimana itu?
Oh itu aku, paduan suara eksperimental. Kamu bisa ikut kalau kapan-kapan kita bikin. Kapan-kapan bisa, di sini bisa. Kalau sekarang ini yang di Indonesia belum ada tapi kalau mau bikin aja. Kamu undang aku ke sini, aku datang.
Bedanya dengan paduan suara biasa?
Kalau paduan suara biasa kamu harus bisa nyanyi. Kalau ini paduan suara eksperimental, kita akan bereksperimen dengan suara apa pun yang ada.
Tujuannya apa?
Tujuannya membantu orang menjadi lebih percaya diri, bisa menggunakan vokalnya, bisa mengapresiasi bunyi. Begitu kalian selesai itu kalian akan “wah, ternyata aku bisa ya. Aku bisa menggunakan vokalku dengan cara begini. Nggak haram kok. Nggak harus merdu”.
Kalau mau bikin minimal berapa orang?
Minimal 10, 20. Aku pernah bikin sampai dengan 100. Nggak ada batasan. Semakin banyak semakin baik. Dua puluh ideal.
Apresiasi Paling Berkesan
Ketika konser di dalam negeri, apresiasi yang paling menyenangkan itu seperti apa?
Menyenangkan main di hadapan orang tua sendiri. Di kampung halaman. Pernah orang tuaku nonton, ibuku nonton.
Jadi perform di Palu sana?
Ya.
Kenapa itu menjadi spesial?
Rasanya kan lain. Bayangkan ibumu nonton kamu dan musiknya gitu.
Komentarnya?
Komentarnya, “nak kenapa kamu buka baju” gitu.
Jawabannya?
...
Di bagian pertanyaan terakhir, Rully tidak menjawab tegas. Gesturnya kikuk. Saya menduga, pembicaraan tentang ibu mungkin terlalu berharga untuk dibagi. Kesan itu semakin kuat ketika pada konser tunggal Senyawa bertajuk Tanah Air—yang beririsan dengan peringatan hari ibu—Rully menyematkan kredit khusus bagi ibundanya. Pertanyaan lebih personal semacam “kenapa tato di perut Rully bertuliskan ‘father’?” urung saya ajukan. Pencarian akar inspirasi visi musikal Rully Sabhara berakhir di sana. Seseorang kemudian menyela perbincangan kami untuk menyerahkan handuk penghapus keringat. “Wah tengkyu Bal. Dikasih ini? Wah, T-O-P-B-G-T.” []

Thursday, August 11, 2016

Klimaks Supernova

Dicicil sejak 2001, serial novel fiksi ilmiah Supernova berakhir lima belas tahun kemudian. Sebuah penutup berjudul Intelijensi Embun Pagi menutup lima seri lainnya: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh; Akar; Petir; Partikel; dan Gelombang. Intelijensi berisi kelanjutan dari petualangan para tokoh utama di seri sebelumnya sekaligus menjawab pertanyaan tentang identitas mereka.
Serial Supernova diawali dengan pertemuan Reuben dan Dimas. Di dalam seri Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (KPBJ) ,kedua tokoh ini kemudian mengarang novel tentang hubungan asmara seorang eksekutif muda Ferre. Ferre kemudian bertaut suratan dengan seorang model bernama Diva. Dari Diva, Ferre mengetahui sebuah entitas interaktif (semacam media sosial di internet) bernama Supernova. Ketika dirilis, internet belum menjadi sesuatu yang sefamiliar sekarang. Kala itu pula, novel KPBJ unik karena berisi istilah ilmiah dengan banyak sekali catatan kaki—tanpa kehilangan sensasi puitis. Supernova: KPBJ pernah difilmkan, dengan dialog yang juga “puitis”.
Supernova kemudian berlanjut ke Akar (2002). Di dalamnya diceritakan seorang pria yang dibesarkan di biara dan kemudian berkelana mencari kesejatian. Bodhi namanya. Cita-citanya mati, karena dia menyandang sebuah gejala yang baru kemudian disadari di seri terakhir Supernova. Tokoh-tokoh semacam Kell, Ishtar Summer, dan Liong mulai diperkenalkan.
Dua tahun kemudian (2004) Supernova: Petir lahir. Ada seorang keturunan tionghoa yang tinggal sebatang kara di Bandung. Ia menyadari kekuatan elektris setelah bertemu dengan Sati, seorang terapis. Elektra juga membangun sebuah warnet bernama Elektra Pop bersama rekannya yang bernama Toni atau Mpret. Keduanya membentuk komunitas pertemanan yang salah satu di dalamnya ada Bong. Bong inilah yang mempertemukan Elektra dengan Bodhi. Perlahan-lahan, teka-teki Supernova saling melengkapi.
Berjarak delapan tahun (2012) kelanjutan Supernova yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Ketika itu sampul serial terbarunya—Supernova: Partikel—hanya berupa sebuah simbol khusus dengan latar hitam. Mulai dari sana, versi cetakan teranyar Supernova terdahulu berkonsep serupa. Partikel berisi Zarah, seorang anak ilmuwan yang tergila-gila dengan eksplorasi sebuah spesies jamur. Sang ayah pada suatu ketika menghilang. Selama belasan tahun Zarah menjelajahi penjuru dunia untuk sebuah asa: berjumpa lagi dengan ayahnya.
Tahun 2014 kisah Alfa kemudian lahir. Dialah tokoh utama di seri Supernova: Gelombang. Pria batak ini dikutuk tidak bisa tidur. Terlelap baginya berarti mati, karena ketika memasuki alam mimpi, ada sosok yang selalu berusaha membunuh. Dalam petualangannya, Alfa kemudian berjumpa dengan Ishtar Summer, wanita misterius yang muncul sejak seri kedua Supernova.
Intelejensi Embun Pagi kemudian lahir Februari lalu. Novel tebal ini merangkum dan menutup nasib para tokoh di Supernova. Di dalam Intelijensi muncul kembali Gio, seorang petualang yang dalam seri-seri sebelumnya hanya dikisahkan dalam sebagian kecil keping. Keping dalam novel Supernova berarti bab. Jumlahnya sejak seri pertama hingga terakhir ada 99. Intelijensi Embun Pagi, dimulai dari Keping 45.
Intelijensi dibuka dengan kisah Gio. Dari perspektif Gio-lah kemudian kisah bergulir. Tokoh per tokoh dihadirkan kembali. Peran mereka dalam jagad kisah Supernova kemudian diungkap.
Keenam tokoh utama adalah manusia-manusia yang hadir ke dunia dengan misi khusus (hal. 321). Mereka disebut peretas. Para peretas dilindungi infiltran, dan infiltran bermusuhan dengan sarvara. Sumber konflik mereka adalah magnet bumi. Perubahan magnet bumi mengakibatkan pergeseran kutub yang berujung ke evolusi kesadaran manusia—dalam KPBJ istilahnya momen bifurkasi. Perbedaan dalam memandang evolusi kesadaran manusia itulah sumber konflik dua kubu.
“Kalian mengira sedang berbuat kebaikan dengan melepaskan manusia dari samsara, mengatrol kesadaran mereka atas nama evolusi, padahal kisi kamilah yang menciptakan stabilitas.” (hal. 374)
Membaca novel ini, membuat saya teringat seri kisah Michael Scott (penulis serial The Alchemyst: The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel). Dewi Lestari bermain-main dengan pem-fiksi-an sejarah manusia. Misalnya, jika X-Men: Apocalypse menggambarkan bahwa En Sabah Nur-lah dewa segala dewa yang dulu dipuja manusia, maka di Supernova salah seorang peretas dikisahkan sebagai Anshargal, dewa di mitologi mesir kuno (hal. 615).
Bundel setebal lebih dari 700 halaman ini diakhiri dengan sebuah adegan pertarungan. Sebelum suasana haru melapisi ujung kisah seorang tokoh. Sebelum satu tokoh lain merasa nasib akhir yang harus dijalaninya bukan hal luar biasa. Untaian perpisahan itu seturut pula dengan ucapan selamat tinggal bagi pembaca Supernova yang setia menyimak dalam belasan tahun karya itu diproduksi. Meski begitu, kesedihan rasanya bukan kata yang tepat untuk menutup jilid tebal serial Supernova, karena kepala yang membuat mereka ada, nampaknya masih akan terus berkarya. []

Memahami Relasi Media dan Kekuasaan

Saya baru khatam membaca disertasi yang dialihwujudkan ke dalam sebuah bacaan popular. Judulnya Media & Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto. Buku setebal kurang dari 300 halaman ini ditulis Ishadi SK, seorang praktisi media dan jurnalisme yang berjasa mendirikan jaringan Trans Media dan CNN Indonesia. Subjudul buku keluaran Penerbit Buku Kompas ini gamblang membocorkan konten di dalamnya. Karena ini disertasi, maka hal-hal yang dipaparkan di dalamnya tentu tak jauh dari hal-hal saintifik, untuk meyakinkan bahwa saripati gagasannya sahih karena melalui proses yang teruji. Meski begitu, saya nggak terlalu tertarik membaca (dan membahas) hal-hal akademis tadi. Fokus perhatian saya terhadap buku ini ada di gambaran suasana detik-detik menjelang kejatuhan sang penguasa orde baru, dan kaitannya dengan ihwal kebebasan pers di Indonesia.

Ketika Presiden Soeharto berada di ambang masa jabatannya, Ishadi SK duduk di Kementerian Penerangan, sebagai Dirjen Radio, Televisi dan Film. Dari penggalian fakta dan pemaknaan dari kacamatanya, suasana di balik ruang olah berita (newsroom) didedahkan terbuka. Setelah menjelaskan tentang tinjauan pustaka terhadap newsroom dan produksi di dalamnya dalam dua bab pertama, Ishadi membekali pengalaman pembaca dengan sejarah pendirian stasiun televisi di Indonesia di bab 3. Di bab inilah berbagai konsep pertelevisian diperkenalkan.[1]

Ada televisi pemerintah, televisi swasta dan televisi publik. Televisi pemerintah berarti stasiun atau saluran televisi yang dibiayai negara (penguasa) dan berfungsi mencitrakan pemerintah (tepatnya penguasa). Misalnya TVRI. Jenis kedua adalah televisi yang tunduk ke dalam aturan pasar: televisi swasta didanai pengiklan dengan konten yang sebagian di antaranya menyesuaikan terhadap kebutuhan pendanaan tersebut. Contohnya RCTI, SCTV, Indosiar. Sementara itu kategori terakhir, televisi publik, dipercaya sebagai jenis televisi yang paling ideal. Mesin televisi publik dihidupi iuran pemirsanya, sehingga keberpihakan televisi jenis ini lebih berimbang. Sebagai contoh, di Jerman ada ZDF dan ARD, Kanada punya CBC. Meski tidak menutup total pintu terhadap pengiklan, darah mereka sebagian besar adalah dana iuran pemirsanya. Di Indonesia, jenis televisi itu barangkali contohnya Berita Satu dan CNN Indonesia. Keduanya merupakan kanal berbayar, yang bisa ditonton melalui jaringan TV kabel.

Peran tiga televisi swasta dalam pergantian rezim kekuasaan jadi fokus bahasan buku ini. RCTI, SCTV dan Indosiar, dengan cara masing-masing memakan ibu mereka sendiri: pemerintahan 32 tahun orde baru. Pada mulanya, ketiga pionir stasiun televisi swasta itu diizinkan berdiri untuk menyesuaikan dengan selera pemirsa, seraya menjaga agar fondasi kekuasaan orde baru tetap terjaga. Namun aksi-aksi berani jurnalis di dalamnya berhasil memanaskan tuntutan agar Soeharto turun hingga pada akhirnya rezim kemudian berganti. Kisah-kisah dari ruang newsroom itulah yang paling seru. Bab 4 dan 5 dipenuhi cerita-cerita itu.

Dalam bab berikutnya, Ishadi menganalisa muatan berita yang berisi legitimasi dan delegitimasi kekuasaan orde baru. Maksudnya, sejumlah contoh berita dibandingkan menurut intensi pembuatnya, apakah bertujuan melanggengkan kekuasaan orde baru atau sebaliknya. Di bab terakhir, temuan dan analisa penulis disimpulkan. Ada sejumlah bagian yang saya garisbawahi.
Demikianlah, di era apa pun jurnalis di ruang berita televisi tidak pernah bisa menikmati kemerdekaan secara sepenuhnya. (hal. 253)
Karena itu, jurnalis harus terus meningkatkan visi dan pengetahuannya, serta terus-menerus mengasah hati nuraninya agar dapat terus-menerus memperkuat posisinya berjuang melawan tekanan-tekanan pasar sebagaimana yang dituntut oleh pemilik modal di era market regulations sekarang ini. (hal. 254)
***
[1] Catatan kaki dijabarkan di halaman berbeda. Bagi saya penempatan demikian kurang nyaman karena harus membolak-balik halaman untuk tahu apa yang dijabarkan dalam sebuah penanda. Penjelasan sejumlah catatan betul-betul memperkaya konten utama dan sayang untuk dilewatkan.

Pengalaman Baru Dari Membaca Novel O

“Jangan-jangan dulu kita pasangan kecoak,” saya berkelakar ke Windi. “Jangan-jangan aku dulu kecoak yang namanya Rheza lalu mati dan jadi manusia”. Istri saya itu spontan mengerlingkan mata, menunjukkan ekspresi bermakna “yang bener aja!”

Alternatif pemikiran demikian saya pungut dari novel buatan Eka Kurniawan berjudul O. Buku berjudul satu huruf itu berkisah tentang seorang monyet bernama Entang Kosasih yang sesumbar ingin menjadi manusia. Monyet tunangannya, O, menyusul sang kekasih yang ia percayai telah mewujud menjadi seorang kaisar dangdut. O berusaha menjadi manusia pula dan menagih janji calon suaminya untuk menikah pada bulan ke sepuluh.

Meski sedemikian sederhana, tuturan kisah yang dipaparkan dalam novel setebal 470 halaman ini sungguh kompleks. Banyak sekali tokoh di dalamnya. Dari pawang topeng monyet bernama Betalumur, anjing Kirik, pasangan polisi Joni Simbolon dan Sobar, ular sanca Boboh, dan banyak nama lain yang bukan cuma hadir sekelebat. Peran dan sejarah mereka didedahkan dalam 16 bab. Menariknya, pemenggalan bab dan subbab di dalamnya tidak kronologis dan seakan tidak koheren. Setelah menyimak kisah tentang si bocah Uyung misalnya, kita akan dihadapkan ke kisah Dara yang jadi cemceman polisi Sobar. Padahal cerita tentang Dara tidak berkaitan dengan kejadian yang menimpa Uyung. Meski begitu, toh pada akhirnya pembaca akan memandang sebuah alur secara holistik. Inilah pengalaman baru membaca novel yang ditawarkan O.

Selain memahami sebuah cerita dengan teknik yang unik, novel O juga berisi kritikan tentang berbagai hal. Dari konsep samsara (siklus hidup dan mati), kritik terhadap pemerintahan orde baru, pemaknaan ulang konsep cinta monyet, hingga satir tentang kehidupan manusia urban.
Semua manusia dan binatang dan benda-benda dan kenangan dan harapan berebut untuk hidup di kota ini. Mereka hanya perlu saling memakan. (hal. 42)
Sinisme tentang kredo homo homini lupus (seorang manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) juga tampak di kutipan berikut ini:
“Saudaraku,” kata si pawang kepada para penonton. “Begitulah umat manusia di zaman sekarang, seperti dipertunjukkan oleh monyet-monyetku. Kita akan menindas manusia yang lain, secepat kesempatan itu datang.” (hal. 280)

Bagian Terbaik
Dari seluruh naskah buku kelima Eka Kurniawan ini, yang paling saya suka Bab 12. Di bagian ini ketegangan pelampiasan dendam Rudi Gudel atas kematian Jarwo Edan berselang-seling dengan kisah tentang orang-orang yang ada di kondisi itu. Selain keseluruhan bab ini, yang paling saya suka dari O adalah sensasi kepikiran tentang konsep moksa. Di dalam O memang nggak ada istilah moksa sih, tapi penemuan terhadap kata itu dan maknanya, membuat saya mengingat O sebagai sebuah novel yang seakan menginformasikan bahwa ada kepercayaan tentang mati yang juga disertai dengan lenyapnya jasad. Dan itu pernah dipercaya ada oleh masyarakat dahulu.

Soal hal yang mengganjal, barangkali saya perlu merujuk ke sebuah adegan di halaman 341. Di sana dikisahkan Rosalina membantu Entang Kosasih menghajar preman. Dalam imaji saya, itu terkesan klise. Terlalu sinetron aja gitu. Penggunaan istilah sinetron barangkali berlebihan, terutama merujuk ke bagian akhir novel yang tidak berujung semudah ditebak itu. Bukankah penutup yang sedikit menggantung selalu lebih terasa mengesankan? []

Friday, May 6, 2016

Dua Dokumenter di Europe On Screen 2016

Pepe Mujica mungkin setara High Noon in Jakarta. Abi Means Papa diluar ekspektasi. Ternyata kental suasana humor.
IMG_4453
Sebelum penayangan dimulai, selalu ada petugas yang membacakan tata tertib. Ketika film tandas diputar, jangan buru-buru pergi karena selalu ada pembagian hadiah berdasarkan nomor tiket. Tiketnya akan dibagi sebelum penonton masuk ruangan. Gratis.
Pepe Mujica
Abraham Lincoln pernah berkata bahwa untuk mengetahui sosok seseorang yang sebenarnya, berilah ia kekuasaan. Berkaca ke sejumlah realitas, dalih itu biasanya menggiring kita bahwa ketika seorang baik diberi kuasa, maka selanjutnya kita kecewa. Rupanya alur berpikir demikian tidak selalu sahih. Setidaknya seperti yang tampak di film berjudul Pepe Mujica, kisah tentang presiden paling miskin sedunia dari Uruguay. Seorang pemberontak di masa lalu, menjabat presiden di kala ini, ketika usianya 80. Sang kakek tua memang jauh dari kesan pemimpin negara yang formal.
Pada suatu hari yang cerah, ia memperlihatkan koleksi mobil VW beetles, mobil yang ia kemudikan sendiri kala senggang. “Soalnya murah. Kalau onderdil-nya rusak, tinggal beli di apotek,” ujarnya bersapu senyum. Di lokasi yang sama, kawasan rumahnya sendiri, dipamerkan pula sebuah traktor, dan Manuela si anjing pincang. Kakinya terkena pacul. Bersama Manuela dan istri Lucia Topolansky, Jose Musica tinggal di sana. Gambar kesederhanaan sang presiden itu digambarkan dengan suara natural yang digelontorkan. Sebuah potongan adegan dibiarkan menggelinding agak panjang, memperkuat suasana tapi juga memancing kantuk.
Jose Mujica atau akrab disapa Pepe, sebetulnya seorang pemberontak. Di masa ketika Uruguay dipimpin diktator dan protes rakyat mekar, dialah salah satu tokoh yang menonjol. Perkenalan Pepe sebagai mantan aktivis ditampilkan melalui video usang yang masih hitam-putih. Cara serupa juga digunakan ketika Pepe mengenang sebuah pusat perbelanjaan. Dulu, di tempat itu Pepe dan kawan seperjuangannya disiksa. “Inilah hebatnya kapitalisme,” kata seseorang yang mendampingi sang presiden.
Dokumenter Pepe Mujica juga membeberkan isi kepala Jose. Dari pandangannya tentang kapitalisme hingga kritik terhadap kaum muda masa kini. Dan semuanya disampaikan melalui penuturan polos yang menggelikan. Kata sebuah kelakar, siklus hidup manusia sebetulnya seperti sebuah lingkaran. Bermula dari seorang anak-anak, tumbuh dewasa, lalu menua lagi sebagai anak-anak. Kita akan tergelak ketika dalam sebuah wawancara ia melengos pergi hanya karena acara radio favoritnya akan segera tayang. Heidi Specogna sang kreator film sepertinya menyadari pola piker tadi, sehingga sanggahan Mujica soal dirinya yang polos itu dikomentari. “Ketika tua, kita bukan dekat dengan masa kanak-kanak, melainkan kematian,” barangkali itulah alasan kenapa presiden ini menghibahkan sebagian besar pendapatannya untuk warga miskin.
Ideologi sosialis memang tersirat kuat dari pribadi Pepe, bahkan ia cenderung antikapitalis. Katanya sistem itu hanya membuat manusia dipacu untuk hidup dalam siklus mengumpulkan uang, lalu menghabiskannya lagi. Para pemuda malah berpikir untuk cepat lulus sekolah dan menjadi pekerja, tanpa memiliki sebuah ideologi politik tertentu. Dan pada akhirnya mereka tidak sadar menjadi borjuis yang tanpa bersalah berpacu hanya untuk keuntungan. Momen mengenang lokasi penyiksaan yang kini jadi pusat perbelanjaan kemudian menjungkirbalikkan tatanan pikiran tadi. Setidaknya demikian yang ditampilkan. Meski saya ragu, pasti bukan cuma itu yang membuatnya “menjual” Uruguay.
Pepe Mujica mengingatkan saya ke film dokumenter lain berjudul High Noon in Jakarta. Film besutan Curtis Levy tahun 2001 itu mengisahkan hari-hari yang dijalani presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam dokumenter itu, Gus Dur juga menampilkan sisi kerakyatan dalam jabatan kepresidenannya: olah raga tiap subuh, berpakaian santai di istana, mengobrol santai bersama keluarga. Bedanya dengan Pepe Mujica, High Noon in Jakarta fokus ke proses pengambilan keputusan terhadap jenderal yang kala itu diduga terlibat pelanggaran HAM di Santa Cruz: Wiranto.
009
Saking penuhnya ruang pemutaran utama, sisa kelebihan penonton ditransfer ke perpustakaan. Sebelum menyaksikan tiap film, kita akan disajikan cuplikan tiap film yang tayang di Europe On Screen 2016.
Abi Means Papa
Saya kira film ini akan terasa dramatik suspensif. Pertama, karena berkisah tentang anak adopsi yang mencari ayah biologisnya. Kedua, karena wajah pemeran utamanya mirip penyanyi reggae Ras Muhammad yang liriknya cenderung kritis. Ketiga, saya pernah menyaksikan kisah serupa di program 360 Metro TV*. Kuarter pertama film bergulir, kesan itu memang ada, tapi runtuh seiring kisah keseluruhan dituturkan.
Namanya Armin. Seorang Swiss yang pada usia 19 tahun tanpa sengaja menemukan surat adopsi dirinya sendiri. Kala itu pula ia dipertemukan dengan ibu kandungnya. Delapan tahun kemudian ia merasa hidupnya tidak akan tenang jika belum bersua sang ayah. Maka dimulailah petualangan Armin bersama dua temannya. Karena tidak bisa berbahasa Indonesia, Armin juga ditemani saudara tirinya, seorang remaja perempuan yang diwarisi mata serupa Armin dari ibu mereka. Tawa beberapa kali pecah ketika percakapan bahasa Inggris yang seadanya ditampilkan. Rata-rata orang Indonesia (atau Jakarta dan sekitarnya) memang sepertinya bisa berbahasa Inggris, cuma ya tidak mahir. Dan ketidakmahiran itu yang lucu.
Tidak hanya menampilkan drama perjuangan Armin mencari ayahnya, film ini juga menampilan fenomena sosiologis orang kota di Indonesia. Ketika Armin mencari kontak orang dekat ayahnya, warga sekitar tempat itu berkerumun menonton. Semua hal yang dilakukan di Indonesia juga disebutkan selalu pelan-pelan. Satu lagi, orang Indonesia adalah manusia religious. Dan semua gambaran itu tersaji dalam situasi menggelikan. Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa sebenarnya banyak hal yang lucu dari kehidupan, bahkan dari hidup segetir anak adopsi yang baru bertemu ayahnya di usia 27 tahun. []

*Kisah seorang anak adopsi yang mencari ibu kandung di program 360 Metro TV bisa disaksikan di tautan berikut ini:

  1. http://video.metrotvnews.com/play/2014/12/04/327865/kisah-yulianti-yang-mencari-ibu-kandungnya-3
  2. http://video.metrotvnews.com/play/2014/12/04/327864/kisah-yulianti-yang-mencari-ibu-kandungnya-2
  3. http://video.metrotvnews.com/play/2014/11/20/321612/360-kisah-yulianti-yang-mencari-ibu-kandungnya

Tuesday, January 26, 2016

Telaah Film The Colour of Paradise

Life is tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot. - Charlie Chaplin -
Jika merujuk ke pendapat sang maestro seni peran di atas, maka film yang kita bahas adalah sebuah close-up, meski judulnya mengecoh: The Colour of Paradise. Film ini disutradarai oleh Majid Majidi, sineas yang tahun 2015 lalu merilis film terbarunya berjudul Muhammad, kisah tentang nabinya para muslim.

The Colour of Paradise (1999) berkisah tentang anak bernama Mohammad. Ia seorang tunanetra yang disekolahkan di panti khusus ibu kota Iran. Ketika itu libur panjang tiba. Sementara siswa lain dijemput orang tuanya, Mohammad seakan ditelantarkan. Rupanya sang ayah memang ingin menitipkan anaknya lebih lama di sana. Ayah Mohammad tidak ingin calon istrinya tahu bahwa anaknya tidak sempurna. Meski kemudian Mohammad dibawa pulang, permasalahan yang dihadapi keluarga kecil itu terus berjalinan. Penonton pun akan bisa bersimpati terhadap keputusan sang ayah yang semula terkesan salah. Dari sudut pandang lain, The Colour of Paradise secara cukup lengkap menyajikan katastropi, humor dan misteri, meski terasa tanggung. Kita pun akan dihadapkan ke berbagai pembahasan. Dari penerimaan kaum difabel, pendidikan inklusi, hingga budaya lamar-melamar ala Iran. Ulasan di bawah ini merupakan buah dari diskusi di gelaran RASSA produksi ke-23 yang bergulir usai film berdurasi sekitar satu setengah jam itu diputar.

Dengan judul yang menjanjikan keindahan, The Colour of Paradise memang menampilkan gambaran surgawi. Dataran tinggi sebuah pedalaman di Iran, hijau di perbukitan, bunga bermekaran. Kecantikan itu kemudian ditabrakkan dengan kondisi Mohammad yang buta. Paradoks demikian juga dilengkapi dengan selipan dialog yang berkaitan satu sama lain. Contohnya ketika Mohammad menghadiahkan neneknya sebuah bros di ladang, sementara adik-adiknya ia beri kalung berbahan tutup botol. Di adegan awal film ada skena tentang tempat tidur Mohammad yang berantakan dengan sampah itu. Sementara di deret adegan setelah penghadiahan tadi, kisah nenek dan bros pemberian Mohammad menjadi simbol tersendiri.

 Di latar tempat yang sama, Mohammad diceritakan peka dengan berbagai tanda alam di sekitarnya: dari ragam suara burung, hingga bilangan daun dan bebijian yang ia hitung dengan jarinya. Adakah itu berkaitan dengan kecakapannya menggunakan huruf braile—yang menegaskan bahwa dirinya tak berbeda dengan anak lain? Apakah itu simbol keterkaitan antara kelahiran huruf braille dan pertanda alam? Pada tahun 1834 Louis Braille memang menyempurnakan huruf kreasinya. Ia terinspirasi dari penggunaan sandi rahasia di kalangan militer. Maka keterkaitan Mohammad dengan hal natural tadi, nampaknya tidak merujuk ke sana.

Keterbukaan terhadap pemaknaan, di film ini memang tidak cuma ada satu. Ia hadir agar penonton mendapat ruang penafsirannya sendiri-sendiri. Simak misalnya bagaimana kematian digambarkan dengan cahaya, yang sekaligus juga membuka kesempatan lain untuk memaknai sebuah adegan di akhir film. Hal serupa ditunjukkan ketika misalnya lukisan buatan Rusli selalu mendapat pemaknaan baru, karena justru itulah yang membedakan lukisan dengan fotografi. Pembiaran lubang untuk diisi penonton itu pula yang menjadikan film berbeda dari novel, sekalipun keduanya kisah yang sama. Estetika yang belum selesai, justru membuka adanya makna baru. []

002 
Suasana diskusi di lantai atas Rumah Bersama Metta di Bogor

Monday, January 4, 2016

Sabda Charlie Chaplin Dalam Film Ngenest

Ngenest bagi saya dengan baik menghadirkan sebuah realita dalam bingkai tawa. Penonton akan ditarik ke masa lalu kala peranakan tionghoa mendapat perlakuan berbeda dari warga negara mayoritas di negara Indonesia tercinta ini. Satir itu segar menghentak sejak adegan pertama. Seorang anak hendak masuk kelas barunya, lalu ia diledek dengan sebutan "cina" saat menyebut kelas tujuannya. Bertubi-tubi, kegetiran yang lucu (atau kelucuan yang getir) serupa terus dihadirkan menyindir kenyataan yang memang demikian pernah terjadi. Itu mengingatkan saya ke pernyataan charlie chaplin, bahwa hidup adalah tragedi ketika dipandang dalam komposisi close up, namun justru komedi kala dilihat dalam adonan visual long-shot.

Film ini disutradarai seorang komika Ernest Prakasa. Ia pula yang menjadi bintang utama plus penulis skenario. Ernest jugalah yang menulis buku trilogi yang jadi pijakan kisah berdurasi sekitar 90 menit itu. Ia berperan sebagai dirinya sendiri dan beradu akting dengan Morgan Oey yang menjadi Patrick, sahabat Ernest sejak kecil. Deretan dialog di film ini pun mengalir sedemikian khas Ernest Prakasa. Simak ketika tokoh patrick memaparkan "filosofi tokay", yang mengingatkan saya ke gaya materi dan pembawaan komika juara 2 kompetisi komedi tunggal Kompas TV tahun 2011 itu. Ernest tanpa risih membahas hal yang mestinya dirasa menjijikan. Tanda tangan Ernest pun tampak di adegan yang serupa dengan sebuah bit tentang aktivitas seksual dengan istrinya. Meski mengandung materi yang biasanya dicerna penonton dewasa, kategori film ini digolongkan ke dalam kelas penonton 13+. Saya merasa itu kurang tepat. 

Yang juga perlu diapresiasi dari film ini, adalah dukungan akting para komika rekan seprofesi Ernest. Mereka juga tampil dengan gaya khas masing-masing. Awe dan Adjis Doa Ibu bagai punakawan di kisah pewayangan. Selipan keseharian mereka sebagai teman kos Ernest mampu menjaga ritme kisah dalam rangkain kejenakaan yang konstan. Tengok pula Ge Pamungkas. Juara 1 kompetisi Stand Up Comedy Indonesia kompas TV tahun 2012 itu sekali lagi membuktikan kebolehannya dalam seni peran. Setelah sebelumnya tampil di film Negeri Van Oranje sebagai seorang kikuk yang jenaka, di sini ia menjadi rekan kerja Ernest yang polos, ceplas ceplos dan bicara dengan rahang bawah terdorong ke depan. Saya jadi ingat sosok Don Corleone di film Godfather. Marlon Brando harus menggunakan alat penahan yang diselipkan di sela gusinya agar bentuk mukanya "melorot". Ge mengakali diri demiki karakter yang diperankannya tanpa alat apa-apa. Itu terlihat di skena penutup ketika kemeriahan pasca pengambilan gambar diperlihatkan. Dalam hal ini, Ge benar-benar berakting. 

Pada akhirnya, wujud karya baru Ernest Prakasa ini mengingatkan saya bahwa karakter pekerja seni dewasa ini tidak hanya didefinisikan dalam satu perimeter. Ernest tak hanya bisa disebut komika, tapi juga sutradara, penulis buku, juga penggubah skrip film. Pandji Pragiwaksono (kenapa dia gak diajak main film juga ya?) menyebut generasi demikian dengan nama vincinian. Sekali lagi Ernest mengingatkan, bahwa untuk sintas dan naik kelas, generasi hari ini mungkin perlu menjadi Vincinian. []