Saturday, June 30, 2018

Turun-Temurun

Siapa yang sudah nonton hereditary? semalam saya baru nonton. Bekalnya cuma nonton trailer, dan pujian singkat tentang serunya film ini.

Saya kira, ini film tentang manipulasi genetika yang berujung malapetaka. Soalnya di trailer ada minatur rumah lalu ada manusia di dalamnya. Ternyata bukan. Adegan itu menunjukkan pekerjaan tokoh utama bernama Annie. Dia mereka ulang beberapa babak kehidupannya ke dalam bentuk miniatur. Dan ternyata, hidupnya juga sudah diatur sejak lama oleh sang ibu bernama Elen yang baru saja meninggal.

Jadi ini horor semacam apa? Horor mistis. Khas kepercayaan orang sana, bahwa ada iblis atau satu dari 8 raja neraka yang ingin hidup di dunia menumpang ke tubuh manusia. Ingat film Sinister? atau The Rite? Kurang lebih film ini seperti itu, tapi tentu saja dengan ciri khasnya tersendiri. Terutama plot twist.

Alur kisah Hereditary melaju lamban. Kalau dibagi tiga babak, menurutku ceritanya bisa dibatasi di momen ketika Elen meninggal sampai Joan datang, momen saat Annie sekeluarga mengalami kejadian aneh pasca pertemuan dengan Joan, dan klimaks di akhir yang tentu saja jangan saya singgung. Hehe.

Jika kamu termasuk penyuka film horor yang banyak ledakan, kejutan, atau penampakan, barangkali bisa kecewa selama dua babak pertama. satu jam pertama, bahkan saya merasa film ini lambat sekali menunjukkan identitasnya sebagai film horor.

Tapi justru bekal informasi di dua babak tadi jadi mesiu yang bikin babak ketiga mengejutkan. Atau malah membingungkan. Haha. Kita bisa diskusikan soal ini lewat jalur privat. Tapi kalau mau simak sendiri analisa soal film ini, kamu bisa tonton beberapa video ulasannya di youtube. Saya nonton yang judulnya "60 Things You Missed In Hereditary (2018)".

Menurutmu, film seperti apa yang layak diganjar bagus? Bagi saya, yang bikin kepikiran setelah keluar bioskop. Dan memang film ini melakukan itu. Seperti film Modus Anomali buatan Joko Anwar. Makanya saya menaruh rekomendasi sutradara itu sebagai anjuran serius. Dia nyaranin buat nonton Hereditary. Mungkin juga karena ada sedikit irisan dengan film rilisannya terbaru: Pengabdi Setan. Dua film ini sama-sama tentang sebuah sekte rahasia pemuja setan.

Pada akhirnya, saya setuju dengan kesimpulan pengulas film langganan saya, Cinecrib:
"..dan ini emang tipikal horor yang kalo lu nyari cerita lu harus nonton ini sih, bukan cuma nyari jumpscare." []

Tuesday, June 26, 2018

Perang Makassar


Koran Kompas hari minggu adalah favorit saya. Bahkan edisi berminggu-minggu yang lalu, akan tetap saya simpan fisiknya kalau memang belum dibaca atau kontennya berkesan. Contohnya yang saya sobek dan simpan dari tanggal 13 Mei lalu. Ada artikel berjudul Akhiri Perseteruan Tiga Abad. Tulisan buatan Muhammad Ikhsan Mahar dan Edna C. Pattisina ini berujung pada kesimpulan bahwa konflik masa lalu bisa dihadirkan lagi demi jadi alat politik. Dan kita musti waspada.

Kisah di artikel itu bertarikh tahun 1666 hingga 1669, ketika Perang Makassar pecah. Musababnya, seorang bangsawan kerajaan Bone bernama Arung Palaka. Ketika itu keturunan Bone berada di bawah pengaruh kerajaan Gowa, meski sebenarnya bangsawan Gowa memperlakukan pemilik darah biru dari Bone dengan baik. Ia merasa siri dan pesse atau perasaan harga diri dan rasa malunya terusik akibat bangsawan Bone diminta ikut menggali parit untuk melindungi kerajaan Gowa dari kolonialis VOC—sumber lain menyatakan bahwa Arung Palaka dari Bone marah karena pihak Gowa melanggar perjanjian untuk saling memuliakan.

Singkat kisah, pemberontakan Arung Palaka ditumpangi pihak ketiga tadi. VOC melalui Cornelis Speelman, ingin mengambil alih benteng Sumba Opu. Misi itu kemudian terwujud. Sultan Hasanuddin melepas tahta. Meski demikian, setelahnya Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka justru membuang dendam. Itu terbukti dengan makam Arung Palaka yang lokasinya tidak jauh dari pusara Sultan Hasanuddin. Antropolog Unhas, Tasrifin Tahara, menyimpulkan konflik sudah selesai secara kultural.

Sekitar 350 tahun terlewati sejak Perang Makassar, sebuah unggahan menyerukan ajakan untuk menghancurkan patung Arung Palaka dan membongkar makamnya, karena ia dinilai sebagai pemberontak. Padahal menurut pengajar Ilmu Sejarah di Unhas, Amrullah Amir, “tidak tepat menyebut sosok pengkhianat yang dikaitkan dengan bangsa Indonesia karena abad ke-17 konsep negara Indonesia belum ada.”

Kisah Arung Palaka dan Sultan Hasanuddin dalam artikel di rubrik Politik dan Hukum tadi, sebenarnya menyuarakan sebuah peringatan yang tidak hanya berlaku bagi suku bangsa di Sulawesi Selatan, tapi juga di wilayah Indonesia lain yang memang sudah ditaktirkan bermula dari banyak kerajaan yang (beberapa) pernah saling berkonflik.
“Tampaknya, tambah Tafsirin, konflik pada masa lalu akan dimanfaatkan generasi kini untuk mengagungkan ketokohan keduanya sebagai representasi etnis Bugis dan Makassar. Di pertarungan politik, misalnya, persaingan calon kepala daerah akan mengerucut pada persaingan antartokoh kedua etnis.” []


Wednesday, June 13, 2018

Sunya


Sekitar seminggu sebelum Aksara lahir, saya dan Windi nonton sebuah film. Judulnya Sunya. Film ini diputar di sebuah bioskop bernama Kinosaurus di kawasan Kemang Jakarta. Untuk masuk ke sana, kita harus melewati toko buku Aksara. Dari situlah ide nama anak kami lahir. Meski di awal saya bicara soal Aksara, tulisan ini bukan tentang dia, melainkan Sunya dan buku berjudul Kumpulan Budak Setan.

Sunya
Film Sunya dibuat oleh sutradara Hary Dagoe Suharyadi. Itu pengalaman pertama saya nonton film sineas yang ternyata sudah buat film sejak lama dan karyanya diputar di festival film internasional. Misalnya film Happy Ending yang tayang di Toronto World Wide Film Festival 1996 di Kanada—dan ditampilkan juga pada momen penayangan Sunya di Kinosaurus waktu itu.
Sunya berkisah tentang seorang pria bernama Bejo, yang mencari tahu penyebab neneknya sulit meninggal dan harus menahan sakit di usia tua. Bejo kemudian menelusuri penyebabnya, dan ternyata berkaitan dengan masa lalu Bejo.
Meski tampak sederhana, alur kisah film ini sebenarnya kompleks. Banyak tampilan simbolik semacam tarian, renungan, hingga adegan panas. Bahkan aktrisnya, mengaku nggak ngerti film itu tentang apa.
"Ini pertama kalinya saya nonton film ini. Sebelumnya deg-degan dengan hasilnya, karena saya aslinya bukan aktris, tapi penari. Tapi setelah menonton, saya malah makin nggak ngerti apa maksud film ini," ujar Astri sambil tertawa malu. (Liputan6.com)
Saya duga, dia nggak baca cerpen yang jadi inspirasi film ini dibuat. Sunya disadur dari salah satu kisah di buku Kumpulan Budak Setan berjudul Jimat Sero buatan Eka Kurniawan. Titel keempat dari 12 cerita di dalam buku itu, punya garis merah serupa. Jika Bejo di Sunya seorang pemuda desa, di Jimat Sero, tokoh utama—yang berkisah dengan subjek “aku”—seorang eksekutif dengan karir cemerlang plus pacar anak bos bernama Raisa.
Selebihnya, rasanya kisah Jimat Sero dan Sunya sama. Rohman menitipkan jimat ke Bejo, lalu jimat itu jadi semacam kunci agar Bejo dan Rohman saling terhubung. Dan itu pula yang terjadi dengan nenek Bejo, kakek Bejo dan ayah Rohman.

Kumpulan Budak Setan
Selain Jimat Sero, kisah-kisah di buku Kumpulan Budak Setan juga menghimpun hasil imajinasi lain Eka Kurniawan. Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad juga bergabung dengan Eka untuk proyek yang diinisiasi tahun 2009 ini. Masing-masing penulis mengarang 4 cerita yang mengandung unsur lendir dan mistik. Dan fiksi-fiksi ini, ode buat Abdullah Harahap. Siapa Abdullah Harahap? Bab pertama buku ini menjelaskannya.
Ia menulis novel horor “picisan”, diramu dengan seks, di tahun 1970-1980-an. Anda dapat menemukan novelnya saat berjalan-jalan di toko buku kecil , pasar loak atau stasiun kereta. Status “picisan” Abdullah Harahap mencerminkan status genre horror yang identik dengan estetika rendah dan karenanya berada di luar khazanah sastra. (Hal. x)
Trio pengarang Kumpulan Budak Setan, terasa punya ciri khas nuansa cerita berbeda. Goyang Penasaran buatan Intan dan Topeng Darah bikinan Ugo, terasa paling vulgar. Istri saya sampai mengernyit ketika dibacakan satu dua kalimat. Sementara Eka, terasa seperti dengan sengaja menempatkan klimaks di akhir cerita. Dan itu seru. []

Monday, June 11, 2018

Lima


Beberapa waktu lalu, Lola Amaria diwawancara di Eagle Awards selama sekitar satu jam. Ia berkisah berbagai hal. Dari tentang visinya berkesenian melalui film, hingga mengutarakan mimpinya berkolaborasi dengan Salahuddin Siregar, seorang sineas dokumenter. Saat ini, hasil kolaborasi itu sudah bisa disaksikan melalui film LIMA.

Film LIMA berkisah tentang drama kehidupan sebuah keluarga di Kota Bandung yang mencerminkan implementasi Pancasila, dasar negara Republik Indonesia. Pengulas film di akun Twitter @djaycoholyc, menganalisa kaitan antarkisah dalam film LIMA, berdasarkan desain poster film:
Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa Lambangnya adalah Bintang. Di #FilmLima dipasang adalah foto Maryam, Ibu dari Fara, Aryo dan Adi. Beliau dipasang di tengah-tengah sebagai core dari film ini. Sama seperti lambang Pancasila. Sila pertama berkaitan erat dengan agama.
Sila-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Gambar Rantai diwakili Bi Ijah, pembantu paling loyal di keluarga Maryam. Dan bi Ijah benar-benar dimanusiakan oleh keluarga ini meski statusnya sebagai pembantu
Sila-3: Persatuan Indonesia Pohon Beringin digambarkan oleh Adi, bontot yang mampu memeprsatukan keluarga dengan cara dia yang kadang tak biasa.
Sila-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan Ada Fara di situ, Fara itu jago dalam berdebat untuk mendapatkan hasil ideal sesuai kemampuan bukan karena titipan.
Sila-5: Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia Aryo ada di sila ini. Bersikap adil sebagai anak tengah, tidak memihak namun tetap memegang teguh prinsip dia.
Waktu itu saya menonton film LIMA di bioskop Ciwalk. Dalam penayangan jam 21:20 itu, seisi studio cuma ada tiga orang, termasuk saya. Satu orang ternyata nggak datang, karena pas beli tiket saya bisa lihat ada 3 titik berwarna merah di bangku penonton. Menurut akun instagram @film_indonesia, sampai tanggal 10 Juni, LIMA ditonton 78 ribu lebih orang.

Sekadar memberi gambaran, saya coba bandingkan jumlah penonton LIMA dan Dilan 1990. Jika dibandingkan dengan film Dilan 1990—yang menyandang predikat film terbanyak ditonton di tahun 2018—raihan penonton film LIMA sangat sedikit. Dilan yang sudah disaksikan 6 juta lebih orang, di hari ke-10 penayangannya sudah ditonton 3 juta orang. Padahal, film LIMA cukup seru dan penting—bukan berarti Dilan tidak. Selain karena misinya dalam menggambarkan penerapan pancasila tanpa terkesan berceramah, LIMA juga menurut saya cukup artistik.

Alur kisahnya pun tetap berdasar ke kejadian nyata. Ketika nonton film Bulan di Atas Kuburan (2015), saya sangsi dengan realita tentang sopir taksi bernama Sabar yang diperankan Tio Pakusadewo, dibakar massa karena kecelakaan lalu lintas. Siapa sangka, dua tahun setelahnya seorang pria di Bekasi dibakar karena dituduh mencuri. Realita ini pula yang melatari salah satu fragmen kisah Adi di film LIMA.

Meski begitu, perihal kesesuaian dengan realita ini juga dikritisi Leila S. Chudori dalam majalah Tempo edisi 17 Juni 2018. Menurutnya:
“Persoalan tingkah laku anak-anak pembantu juga terselesaikan dengan happy ending yang hampir muskil mengingat berkali-kali rakyat kecil divonis hukuman berat untuk kesalahan yang kecil.” []