Sunday, December 26, 2021

Inuyashiki: Tua-Tua jadi Superhero

 Tua dan Tak Bermakna

Tiada yang lebih mengerikan dari menjadi tua, tak relevan, tidak diinginkan. Sialnya, itu yang dialami Inuyashiki. 


Di usia paruh baya, ayah dua anak ini dikisahkan payah. Bosnya memarahi karena memang dia menghambat performa tim. Di rumah, komunikasi bersama keluarga kurang lancar. Bahkan si sulung terang-terangan mengaku malu jika temannya tahu siapa sang ayah. Menyedihkan.


Sampai tiba suatu malam, Inuyashiki mengejar anjing telantar yang hendak ia pelihara--meski dilarang istrinya. Di sebuah taman, tiba-tiba cahaya menyilaukan berpendar di langit. Inuyashiki setengah sadar. Dalam samar, dia lihat beberapa siluet sosok merekayasa tubuhnya. Dan dia bukan satu-satunya.


Muda dan Berbahaya


Anak sulung Inuyashiki punya seorang teman sekolah. Dia diperankan Takeru Satoh--karena ada dialah, saya menyaksikan film ini. 


Setelah direkayasa, Si Satoh ini ternyata berubah jadi manusia super. Dari punggungnya, sepasang mesin jet bisa keluar dan menerbangkannya serupa pesawat terbang. 


Tangannya pun bisa jadi senapan. Cukup arahkan telunjuk ke sasaran, konsentrasi, katakan "dor!", dan matilah semua--burung, botol, manusia. Satoh diberkahi tubuh superior dan menjadikannya mesin pembunuh.


Lain halnya dengan Inuyashiki, yang menguba tubuhnya justru sebagai mesin penyembuh. Dia lalu punya semangat hidup lagi.


Pada akhirnya, si baik dan si jahat, nantinya akan bertemu. Mereka bertarung dalam sebuah duel epik. Katakanlah, setara serunya dengan Iron Man yang gelut dengan Captain America di film Marvel, Civil War.


Baik-Jahat, Soal Pilihan


Bagiku, Inuyashiki menawarkan cara pandang khas superhero bahwa seseorang yang lemah, bisa jadi sebenarnya kuat. Spiderman misalnya, punya kecenderungan itu. 


Dalam semesta manusia laba-laba versi Tom Holand, tokoh Flash Thompson si tukang bully, pada akhirnya harus mengakui bahwa korbannya ternyata si superhero--meskipun pada akhirnya dia tetap bisa memanfaatkan ke-spiderman-an Peter Parker (ingat dialog tentang promosi masuk kampus MIT di film "Spider-Man: No Way Home"?).


Di sisi lain, film Inuyashiki juga hadirkan paradigma bahwa seorang berkekuatan--yang sebenarnya semalang si protagonis--pada akhirnya memilih jadi antagonis. Penonton bisa kaitkan bahwa itu barangkali karena keluarga si Satoh di film itu nggak utuh, atau karena tingkat pengendalian emosi di tahap usia remaja, beda dengan psikologis pria paruh baya. Yang jelas, kita jadii mafhum bahwa mungkin, orang baik dan orang jahat bisa lahir dari kondsi yang sama.


Pada akhirnya, tokoh Inuyashiki memilih tetap dikesankan sebagai pecundang. Setidaknya di hadapan si sulung yang tega mengaku tidak bangga--meski anak ini akhirnya tahu bahwa bapaknya punya kekuatan super. Pilihan konsisten juga nampaknya tetap dijalani si rival. []

Sunday, December 19, 2021

Trilogi Before, overrated?

Saya nonton tiga film legendaris garapan RIchard Linklater: Before Sunrise, Before Midnight, Before Sunset. Kesan pertama saya, justru muncul sebuah pertanyaan: seberapa realistis sih momen asam-manis di film itu?


Oke, oke. Ini bukan dokumenter, bukan pula diilhami dari kejadian nyata atau pun reka ulang realita. Ini roman tentang seorang Amerika Jesse yang bertemu Orang Perancis Celine di kereta. Mereka menghabiskan malam berdua dalam perjalanan dan obrolan di Denmark, sebelum fajar tiba. Maka judulnya: Before Sunrise.


Dahi saya bekernyit ketika, emang di eropa sana bisa ya dua orang asing baru kenalan dan langsung nyambung? Emang semudah itu pedagang wine ngasih sebotol barang jualannya? Emang ga ada nyamuk pas Jesse dan Celine rebahan di rumput? Nah, rumput. Semut ga ada gitu? 


Mari, lanjut ke Before Midnight. Bertahun kemudian, Jesse dan Celine ketemu lagi. Setelah mereka melanggar janji masing-masing buat ketemu di tempat terakhir berpisah. 


Saat mereka ketemu lagi di sebuah toko buku terkenal di kota Paris, Jesse dikenal sebagai penulis yang baru rilis buku fiksi yang diilhami dari pertemuan mereka, 11 tahun lalu. Uniknya film ini, pengambilan gambarnya memang dipisah jarak waktu selama itu, dan terasa natural--Richard Linklater melakukan teknik yang sama saat menggarap film Boyhood.


Sambil jalan, Celine cerita kalau dia di tahun 2013 itu kerja di sebuah organisai nirlaba, NGO bidang lingkungan. Lantas mereka berdebat soal apakah kondisi dunia lebih baik atau sebaliknya. Terungkap pula bahwa salah satu dari mereka sudah menikah--ya kan?


Sore itu, Tokoh utama kita sampai di rumah Celine. Celine yang diperankan Julie Delpy menyanyikan sebuah lagu, bagus banget. Jesse yang diperankan Ethan Hawke terpukau. Kisah pun berakhir. Sebelum malam, makanya film ini dikasih judul: Before Midnight.


Tibalah saya ke trilogi terakhir: Before Sunset. Kali ini, ternyata Jesse dan Celine sudah menikah. Mereka ada di Siprus, sebuah pulau yang status kenegaraannya problematik--baru-baru ini, wartawan favoriku Johnny Harris bahas soal Cyprus.


Jesse makin terkenal. Setidaknya dia nyebut nama Lech Walesa dalam obrolan bersama Celine itu. Mereka baru pulang dari sebuah pertemuan dengan para penulis, atau katakanlah sastrawan. 


Kelak, percumbuan keduanya di ranjang berujung pertengkaran yang melibatkan pertemuan sastrawan tadi--setidaknya begitu yang disebut Celine dalam pisuhannya. Mentari tenggelam, malam menjelang. Singkat kisah, Jesse dan Celine rujuk dan menikmati senja. Before Sunset berakhir.


Dari dua seri terakhir, saya nggak nanya lagi soal "emang gitu?". Mungkin memang saya udah masuk di tahap nrimo.


Jadi, kalau pun ada pertanyaan tentang "seberapa realistis?", jadinya memaklumi kondisi bawha kadang, realita justru lebih aneh dibanding fiksi. Reality is stranger than fiction. []

Thursday, December 2, 2021

Memaknai Sejarah

The Beatles Belum Selesai

The Beatles bubar tahun 1970--Paul McCartney mundur dari band bulan April tahun itu. Kata bubar, barangkali lekat pula dengan makna selesai. Sudah. Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Meski begitu, lain hal dengan kisah dari The Fabolous Four.  

Lebih dari 50 tahun kemudian, di tahun 2021, masih ada hal baru tentang kuartet asal Liverpool itu. Sebuah film dokumenter dengan sutradara Peter Jackson, dirilis di kanal OTT Disney+ tentang masa-masa akhir The Beatles. Judulnya Get Back.


8 Days a Week

Get Back belum saya simak, tapi saya nonton film "8 Days a Week"--dokumenter buatan Ron Howard dari tahun 2016. Selama 2 jam 17 menit, kisah The Beatles dituturkan dari berbagai macam sudut pandang. Dari Larry Kane, wartawan yang ngikutin tur mereka di AS tahun 1964-1965, Howard Goodall, komposer yang bandingkan musikalitas The Beatles dengan musisi klasik, sampai tentu saja, Paul McCartney, John Lennon, Ringo Starr, George Harrison--para personel The Beatles.


Buat generasi yang nggak ngalamin popularitas The Beatles saat mereka masih ada, film ini enak ditonton. Banyak arsip penting ditampilkan dari masa itu. Karakter tiap orang di dalamnya pun sekilas tergambar. Misalnya saat semua personel mengenalkan diri. Setelah Harrison mengenalkan diri dan bilang "I play guitar", Lennon ambil gilirannya dan bilang "I play a better guitar". Haha.


Sesuai dengan subjudulnya, selain ceritakan sejarah band, film ini juga fokus ke perjalanan konser mereka. Tur ke tur. Termasuk momen pentas terakhir The Beatles tahun 1969. 


Konser itu sebenarnya bukan di atas panggung, tapi di atas gedung. Dibahasnya sekilas. Lagu "Don't Let Me Down" yang dinyanyikan dari atap kantor Apple itu juga jadi pengantar ke credit title. 


Tentang Sejarah, dari The Beatles

Film "8 Days a Week" memang terkesan seperti kita melihat The Fab Four dari "pandangan helikopter". Momen penting dalam perjalanan band memang terlihat, tapi terkesan terlalu tampak permukaan. FIlm Get Back, mendalami satu periode utama The Beatles--jelang mereka bubar. 


Kisah The Beatles, ternyata belum usai. Faktanya sebuah kejadian ternyata bisa saja tak habis dibahas. Itulah sejarah. Sebuah peristiwa, dimaknai ulang sesuai temuan terbaru. Atau temuan lama dengan konteks baru.


Tentang 1965

Pembaruan serupa, saya alami ketika baca-baca peristiwa geger 1965. Tahun itu orang tua saya baru lahir. Saya dan keluarga pun sangat beruntung karena sama sekali jauh dari dampak langsung kejadian itu: pembantaian ratusan ribu orang. Namun, momen pasca-65 mau nggak mau musti dipelajari kalau kita mau memahami lagi tentang tempat kita tinggal, Indonesia.


Tahun ini, ada tiga sumber yang saya baca. Pertama, buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 buatan Wijaya Herlambang. Kedua, majalah Tempo Edisi tanggal 4-10 Oktober 2021, judulnya Umi Sardjono dan Stigma Gerwani. Ketiga, majalah Intisari edisi bulan September bertajuk Tragedi '65 Dalam Ingatan.


Pemahaman Baru

Bacaan yang pertama, baru saya baca sampai halaman 73, dari 333 halaman. Hal baru yang saya dapat dari disertasi doktoral yang dibukukan ini, pemahaman tentang pembiaran. 


Di halaman 37, almarhum doktor dari University of Queensland Australia ini menulis: "...pembenaran atas praktik kekerasan melalui produk kebudayaan merupakan bentuk kekerasan juga yang disebut Galtung sebagai 'kekerasan budaya'."


Sudut pandang--yang sekali lagi bagi saya baru--itu menarik karena ternyata, pembiaran atas meninggalnya ratusan ribu orang karena sebuah stigma, dilanggengkan oleh sesuatu yang nampaknya menyenangkan: produk budaya. 


Terlalu Sadistis

Bacaan kedua, berupa majalah. Tempo punya tradisi cukup panjang dalam mengingatkan kita soal bahaya peristiwa di tahun 1965 itu. Tepatnya, mengingatkan dan menyajikan sudut pandang lain.


Dalam hal penceritaan Umi Sardjono, saya nggak yakin mana lebih dominan. Soalnya bacanya nggak selesai. Saya nggak kuat baca deskripsi nonmanusiawi tentang apa yang dialami seorang perempuan di masa kelam itu. Bahkan binatang pun nggak diperlakukan serendah itu. 


Ingatan tentang Tragedi '65

Majalah intisari usianya tahun 2021 ini sudah masuk bilangan 58. Terbitan sekepalan tangan dengan jargon histori, biografi dan tradisi ini rilis edisi berjudul "Tragedi '65 Dalam Ingatan". 


Ingatan tentang hidup pasca hari naas itu, dikisahkan dari 7 orang hidup manusia. Dari santri yang "belok kiri", saintis yang terbuang di Eropa, hingga seorang tokoh kunci malam tanggal 30 September itu: Letkol Untung.


"Kisah-Kisah Lucu Seputar Gestapu" melengkapi edisi ini. Lucu tanpa terkesan menertawakan duka. Misal, dikutip dari Kompas 4 Desember 1965: seorang pemuda gentar karena merasa diikuti dua perempuan dengan pisau yang ia takuti sebagai Gerwani--dengan stigma terhadap anggota organisasi itu yang sedemikian fantastis. Ternyata, mereka hanya mau bantu hajatan. "Beginilah nasib termakan rumor tidak jelas." Begitu bunyi kalimat penutup rubrik itu.


September Nanti, Apa Lagi?

Tahun depan, September bakal datang lagi. Lalu apa? Setidaknya dua. Nomor satu, berhati-hatilah dengan siapa pun yang berkuasa. Di ranah mana pun. Kedua, waspadalah dengan siapa pun yang mengatasnamakan narasi yang dibuat si penguasa untuk melakukan sesuatu terhadapmu.


Setidaknya, dua itulah yang saya pahami kali ini. Lain kali, mungkin beda lagi. Tergantung pemaknaan baru atau temuan baru tadi. 


Dan sejauh yang saya tangkap soal bubarnya The Beatles, pangkalnya ada di salah ucap Lennon soal Yesus Kristus. Mirip kasus Ahok di Indonesia tahun 2016 lalu. Coba kita tonton Get Back, barangkali ada yang motong kalimat penistaan itu. []

Sunday, November 21, 2021

Melihat Pegunungan Tengah Papua Dalam Dua Kunjungan



 

Kenangan Dalam Sekeping VCD

Dalam rak koleksi CD musik yang saya punya, ada satu cakram padat yang belum pernah diputar. Bukan CD sebetulnya. Album musik ini berupa VCD. Karena malas menyesuaikan perbedaan format itulah, saya menunda dengar hingga tujuh tahun.

            Judulnya: Pop Daerah Puncak Ilaga. Ada lima foto dan nama musisi yang dipajang di bagian sampul berwarna dominan cokelat itu, plus satu foto dan nama bupati Kabupaten Puncak, Willem Wandik, SE, M.Si.

            Sepuluh lagu tersusun dalam album kompilasi itu. Ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sebagian besar berjudul bahasa setempat. Salah satu track di urutan keempat, berjudul “Bapak Willem Wandik, SE, M.Si”.

            Pak Willem jadi pengundang tim liputan saya tahun 2014 itu. Saya dan kamerawan Prasetyo Prayogo bahkan tidur di rumahnya. Waktu itu, kami meliput perayaan kemerdekaan RI di salah satu kabupaten pegunungan tengah Papua itu. Saat meliput upacara bendera itu pula, seseorang datang dan memberi saya VCD album tadi, dua keping.

 

Lagu Tentang Ilaga

Album kompilasi Pop Daerah Puncak Ilaga dibuka dengan tembang bertitel “Wajahku Puncak Ilaga”. Domi K. Mokoil menggubah lagu ini, untuk kemudian dinyanyikan Doddy Latuharhary. Tembang ini memberi semacam gambaran “tampakan dari atas” untuk mengenalkan pendengar ke sebuah daerah dengan berbagai kekayaan alamnya.

            Ilaga sebetulnya merujuk ke salah satu distrik atau kecamatan yang ada di Kabupaten Puncak. Untuk sampai di distrik pusat berketinggian 2.286 meter di atas permukaan laut itu, saya musti menumpang pesawat berbaling dari Timika.

Ini perjalanan berisiko. Kecelakaan pesawat kerap terjadi. Bahkan beberapa hari setelah kunjungan saya itu, Bang Coky—salah satu tim Pak Willem—mengirim foto pesawat tergelincir di landas pacu. Tanggal 25 Oktober 2021 lalu saja, kejadian serupa terjadi. Pesawat perintis jenis Caravan milik Smart Air menabrak landasan Bandara Aminggaru Ilaga Papua. Risiko lain kala berkunjung ke Ilaga, tiada lain tiada bukan, ancaman kelompok bersenjata.

 

Damai di Ilaga

Dalam lagu lain di album yang sama, harapan suasana diselipkan melalui lagu “Damai di Ilaga”. Domikus K. Mokoil sebagai pencipta sekaligus penyanyinya, mendeskripsikan suasana sendu. “di senja hari/ di musim dingin/ hari meratap/ hari merintih/ awan gelap berarakan/ asap hitam membubung tinggi/ panas api membakar bumi//”. Ia lalu kontraskan dengan harapan masa depan cerah, “berakhir sudah ratap dan tangis/ di negeri ini/ gadis kecil berdendang riang/ di alam perdamaian//”. Domi menutup tembang dengan sebuah ajakan, “bersama kita membangun kembali/ Ilaga negeri tercinta//

Namun, hingga kini Ilaga masih jadi salah satu daerah panas pertikaian kelompok separatis dan aparat keamanan. Tanggal 5 Oktober 2021, seorang pengojek ditembak orang tidak dikenal di distrik Gome. Kewaspadaan akan keselamatan, juga dilakukan saat saya ke sana tahun 2015. Kala berada di Puncak, eksplorasi tim liputan kami dibatasi sampai batas sungai Ilaga—sungai yang dalam lagu Wajahku Puncak Ilaga ditulis dalam lirik “sungai Ilaga mengalir deras”.

 

Gunung-Gunung Ilaga

“Wajahu Puncak Ilaga” juga menyebut Gunung Gergaji dan Gunung Kelabo di distrik Sinak. Dari lagu itu, saya baru tahu bahwa di dekat Gunung Kelabo, ternyata ada danau juga. Gunung Kelabo, seperti deskripsi di namanya, berwarna kelabu atau abu-abu. Wujudnya serupa kue bolu raksasa rasa cokelat yang ditaburi serbuk gula tipis-tipis. Tampak jelas dari distrik Ilaga.

Lagu “Wajahu Puncak Ilaga” juga menyitir Gunung Okel dan Gunung Meja, selain Gunung Tanah Ibkelabuk. Gunung Meja itulah yang sempat saya daki bersama personel Paskhas TNI AU dan Batalyon Infanteri 500/Raider Ilaga.

Tak perlu waktu lama untuk sampai puncak. Seingat saya, untuk mengunjungi tempat itu juga tak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak. Saya juga tak lupa, tanaman dari genus epenthes atau kantung semar banyak tersebar di jalur pendakian. Selain itu, tanaman genus Myrmecodia atau sarang semut juga menarik perhatian saya. Dua jenis tetumbuhan itu termasuk langka saya dapati.

Gunung Meja spesial karena jadi lokasi pengibaran bendera raksasa merah-putih. Di dekat posisi bendera berkibar itu pula, saya mewawancarai dua anggota TNI dari kesatuan berbeda yang bertugas mengamankan daerah Puncak. Usai wawancara singkat, keduanya meminta kami segera turun dan pulang sebelum gelap, antisipasi risiko adanya serangan kelompok bersenjata.

            Lagu “Wajahku Puncak Ilaga” menyisakan “air panas di Kampung Mayuberi” dan “cendrawasih di Muara Ei” yang tak sempat saya datangi. “duduk dan makan buah merah” di Waloni juga absen dari daftar kunjungan waktu itu. Buah merah, baru saya jumpai dalam lawatan kedua ke Pegunungan Tengah Papua. Kali ini ke disrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

 

Sugapa, Wajah Lain Pegunungan Tengah

            Setahun telah berselang pasca tugas peliputan saya ke Ilaga tahun 2014. Tahun 2015 saya ke pegunungan tengah papua lagi, ke Distrik Sugapa Kabupaten Intan Jaya. Buah merah, yang belum sempat saya cicipi, saya jumpai kala mama-mama di sana menjualnya di sekitar lapangan upacara peringatan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.

            Saat saya bertugas meliput di Sugapa, kondisinya belum semencekam sekarang. Saat ini, tak jauh berbeda dengan Ilaga, Sugapa jadi salah satu titik panas konflik antara TNI dan kelompok pendukung kemerdekaan Papua.

Tanggal 29 Oktober 2021, bandara Sugapa dibakar kelompok kriminal. Tanggal 1 November 2021, dua anak tertembak dan ribuan warga lain mengungsi akibat kontak senjata antara militer Indonesia Satgas Nemangkawi dan kelompok kriminal bersenjata. Sepanjang Januari hingga Oktober 2021, telah terjadi 32 penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di sejumlah kabupaten di Papua, dan 9 penyerangan di antaranya ada di Intan Jaya.

Pangkal konflik di Papua, menurut riset LIPI, ada empat hal. Tahun 2011, sebagaimana dikutip dalam situs LIPI, keempat hal itu berkaitan dengan status integrasi Papua ke Indonesia, operasi militer TNI, diskriminasi dan kegagalan pembangunan. 

            Relevansi urusan pembangunan yang dimaksud dalam riset tadi, saya temui kala berada di sana. Tepat ketika ada di Sugapa, saya turut meliput demonstrasi yang dilakukan warga Intan Jaya agar pemerintahan kabupaten bisa berlangsung normal. Warga mengeluhkan bupati yang jarang ada di lokasi. Di sisi lain, bupati Intan Jaya Natalis Tabuni—yang kembali menjabat bupati di tahun 2021—mengaku harus mencari investor supaya pembangunan yang diminta warganya bisa terlaksana.

 

Emas di Sugapa

            Hari-hari ini, Sugapa dikenal termasuk ke dalam wilayah yang disebut blok wabu. Daerah ini disebut-sebut akan menjadi area eksploitasi baru karena ada kandungan 8,1 juta ons bijih emas. Saya tidak ragu dengan klaim itu.

            Di Sugapa, saya menjumpai batu-batu yang memiliki lapisan tampak serupa emas—setidaknya terlihat demikian. Batu itu terserak di pinggiran sungai. Ambil sembarang bongkahan kecil, dan amatilah. Niscaya, jelaslah terlihat kilauan itu. Saya sempat ambil sekepal kala berenang di sungai itu.

Sensasi berenang di sungai Sugapa menyenangkan. Airnya dingin, ada bagian yang arusnya terasa menghanyutkan tapi tetap memberi kita kendali ketika terseret. Terlebih, saya berenang dengan warga setempat dan Maximus Tipagau.

Maximus yang lahir dan besar di Sugapa, waktu itu menjalankan bisnis jasa penyedia pemanduan perjalanan ke puncak Cartenz. Gunung yang ada di 4.884 meter di atas permukaan laut itu dinobatkan jadi puncak tertinggi di Indonesia, bahkan ketujuh di Asia Tenggara.

Sugapa, jadi salah satu jalur pendakiannya. September 2015, Maximus “Si Gladiator Papua” dan timnya berhasil memandu wartawan detikTravel Afif Farhan dan wartawan Sinar Harapan Sulung Prasetyo, tiba di Puncak Cartenz.

Dari dua kunjungan itu, pegunungan tengah Papua memang belum cukup dikenal dengan akrab, setidaknya bagi saya. Meski begitu, dua pengamatan di atas rasanya akan bikin saya berempati dengan penduduk pegunungan tengah, dengan VCD Pop Daerah Puncak Ilaga sebagai penanda ingatan. []

 

Wednesday, August 11, 2021

Film Tentang Hoaks di Tahun 1982

 


Judulnya memang seakan-akan ini film tentang suasana di hari pembalasan. Orang baik akan sukses melintas titian serambut dibelah tujuh, atau sebaliknya. Ternyata, tidak ada akhirat di film ini, melainkan sebuah "tanah jahanam".


Saya sebut "tanah jahanam" karena kampung itu dikisahkan sarat dengan prasangka. Ada seorang gadis yang dituduh kerasukan setan.


Padahal dia gila gara-gara difitnah. Nasib buruk si gadis berkaitan dengan seorang ahli agama yang ternyata tak sebaik ajarannya. 


Ke sanalah Ibrahim datang. Dia seorang guru mengaji. Alih-alih ditakuti murid semacam ahli agama tadi, Ibrahim justru disukai.


Meski begitu, dia punya tantangan lain. Pertama, menyadarkan penduduk kampung agar jangan termakan hoaks--tentu saja istilah itu nggak ada di film produksi tahun 1982 ini. Kedua, sesuai judul film, Ibrahim harus selamat dari fitnah yang menimpa dirinya sendiri.


Isu simpang siur informasi, rupanya relevan sampai hari ini. Kita mudah ambil contoh soal ini: dari peristiwa di sekitar momen pemilihan umum, hingga pengelolaan pandemi covid-19.


Dalam konteks kala itu, saya lebih suka mengaitkan makna bahwa persekusi terhadap si gadis yang dituduh kerasukan tadi, rupanya kritik atas pelabelan komunis di masa ketika Presiden Soeharto berkuasa. Selama 30 tahun itu, mayoritas penduduk Indonesia saling curiga. 


Ratusan ribu hingga jutaan orang kemudian meninggal tanpa melewati pengadilan, cuma gara-gara sebuah tuduhan yang belum tentu betul. Dan kalau pun betul, masa iya pembunuhan musti jadi ujungnya.  


Titian Serambut Dibelah Tujuh juga menyisipkan sentilan soal kepemimpinan. Ada seorang karakter kakek pengembara yang muncul di awal dan akhir kisah. 


Ia sempat memperingatkan bahwa warga kampung yang akan didatangi Ibrahim ibarat layangan putus. Sementara di akhir, Ibrahim diingatkan si kakek tentang memanfaatkan kepercayaan warga buat si guru ngaji. Sekali lagi, di masa ketika kritik harus dibuat sesubtil mungkin, rasanya di sanalah beberapa hal menemukan makna. []

Sunday, August 8, 2021

Sentilan Buat Eksploitasi di Industri Fashion

 Gimana caranya ngenalin isu eksploitasi pekerja di industri tekstil, tanpa jadi bingung dan malah jadinya lucu? Ya, lewat nonton film ini. 


Zoolander, ceritanya tentang kehidupan absurd model pria. Pemenang tiga tahun berturut-turut model terbaik dalam tahun itu, kalah bersaing.


Derek, si model tokoh utama kita--yang diperankan komikal maksimal oleh Ben Stiller--harus mengakui kharismanya kalah sama model lain, Hansel yang diperankan Owen Wilson--nggak jelas juga sebenanrya kriteria model pria terbaik itu apa. Haha.


Dengan kekalahan itu,  Derek malah ditawari kerjaan sama Mugatu, seorang fashion influencer yang sejak awal film peran antagonisnya udah diungkap. Mugatu yang dimainkan oleh Will Ferell, sebenarnya bekerja buat sekelompok "mafia" yang ingin melestarikan eksploitasi pekerja di bidang fashion tadi. 


Caranya: rekrut model pria "terabsurd" buat dijadikan agen rahasia. Si model bakal bertugas membunuh pemimpin baru sebuah negara yang warganya jadi pekerja industri busana tadi. Nama negaranya: Malaysia.


Di negara tetangga kita, jelas film ini berujung dilarang tayang. Soalnya memang candaannya bisa jadi menyakitkan bagi kaum nasionalis harga mati. Hansel setidaknya dua kali nyebut nama mikronesia dan apa gitu satu lagi. Haha. 


Padahal keliatannya, yang dikritik mungkin China. Soalnya si presiden "malaysia" bernama dan penampilan khas negara yang kini jadi sumber pekerja murah itu--buktinya, korporasi besar produksi barangnya malah di sana. Jadi, ketersinggungan soal Malaysia sepertinya berlebihan.


Mungkin yang seharusnya tersinggung justru para model pria di dunia nyata. Soalnya memang kehidupan mereka di film ini keliatan konyol. 


Untungnya para model barangkali sadar bahwa ini komedi. Kalau pun misalnya memang model pria itu seaneh demikian, ya ketawain aja.