Monday, November 20, 2017

Fenimisme Dalam Marlina

Saya selalu menyesal setelah nonton film yang resensinya sudah saya baca. Ada sensasi kaget yang kurang mengejutkan karena si resensi bocorkan beberapa alur kisah, meskipun bocoran itu penting juga buat meyakinkan saya untuk memutuskan nonton sebuah film atau nggak. Dalam hal menyaksikan film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak, sebaiknya sebelum nonton saya cukup tau bahwa ini film garapan Mouly Surya dan juara di sejumlah kompetisi film internasional. Itu aja sebenarnya udah menarik. Sama satu lagi: film ini bicara tentang feminisme. Pesan tentang perjuangan perempuan melawan dominasi laki-laki, pertama tampak di nama Marlina. Sutradara Mouly Surya mengaku terinspirasi dari seorang guru berdisko di ruang guru di luar jam pelajaran, yang videonya kemudian viral. Ketika wartawan mengkalrifikasi, sang guru mengaku yang dilakukannya bukan kesalahan. Dan guru itu bernama: Marlina. Barangkali kisah itulah yang melahirkan adegan ketika Novi menawarkan agar Marlina ke gereja dan melakukan pengakuan dosa. Marlina tentu saja menolak, karena dia merasa tidak berdosa. Marlina tidak berdosa. Dia cuma membela diri dari tujuh lelaki yang memburunya, atau tepatnya mengeksploitasi keperempuanan Marlina: memperkosa dan merampas semua tabungan ternaknya. Marlina ternyata bisa membela diri dan menuntut keadilan. Perjalanan tentang pelaporan ke kantor polisi itulah yang jadi kisah dominan di film ini. Adegan pertama tentang Marlina yang didatangi gerombolan Markus, mengingatkan saya ke pemaparan ini. Intinya, menurut opini di link tadi, yang dilakukan para laki-laki sebenarnya bukan karena faktor moral atau didikan, tapi memang system kehidupan yang dominan bergaya patriarki. Lalu kisah Marlina menggambarkan tentang upaya tokoh utama menggedor dominasi itu. Dia berusaha setara dengan pria. Tapi usahanya sayangnya nggak berhasil. Dia (dan Novi si ibu hamil) harus terjebak ke dalam lingkar labirin yang sama: nurut ketika diminta laki-laki, diintimidasi, berontak dan menyelamatkan diri, lalu memperjuangkan keadilan. Apakah di dunia nonfiksi kondisi perjuangan kesetaraan gender seperti demikian? []