Tuesday, October 4, 2022

Alfiansyah

Dalam Majalah Tempo terbaru, ada esai Goenawan Mohammad di rubrik Catatan Pinggir. Judulnya "Giosue".


Di esai itu, Pak GM mengulas film Life is Beautiful. Judul aslinya La Vita e Bella.


Giouse yang ia comot jadi judul, berasal dari nama tokoh anak-anak dalam film garapan sutradara Roberto Benigni. Sang sutradara, juga berperan jadi ayah Giosue, bernama Guido.

"Guido bisa menghadirkan di dalam mata anaknya sebuah hidup yang seru, dan anaknya berbahagia." 


Demikian salah satu pendiri Majalah Tempo ini menuliskan sinopsis, dengan sebuah plot twist.

"Tapi bukankah kita tetap mengatakan bahwa Guido tahu dan kita tahu ia berbohong: kamp konsentrasi itu bukanlah tempat di mana la vita e bella?"

Esai Giosue dalam edisi 3-9 Oktober 2022 ini, sebenarnya rilisan ulang dari terbitan 5 April 1999. Filmnya sendiri pertama kali tayang tahun 1997.


Meski begitu, ada sebuah paragraf, yang membuat rubrik mingguan ini rasanya baru ditulis hari Minggu, 2 Oktober 2022.

"Giosue percaya. Tetapi sampai sejauh mana ketidakadilan dan kekejaman, sebagai kenyataan hidup harus ditutup dari mata seorang anak? Sejauh mana cinta mengizinkan kita berdusta dan bohong bisa bersifat protektif? Film La Vita e Bella (Hidup itu Indah) memberi jawaban yang ekstrem: sampai sejauh jauhnya. Bahkan di ambang liang kubur orang banyak."

Setelah membaca bagian di atas, saya membayangkan Giosue sebagai tokoh fiksi pengganti Alfiansyah. Dalam umur 11, ia kehilangan orang tuanya dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur.


Saya membayangkan, dari ayah dan ibunya (Yulianton dan Devi Ratna) ia mewarisi sebuah renjana terhadap sepak bola. Keluarga Aremania ini menaruh passion terhadap sebuah permainan sebelas lawan sebelas di sebuah liga yang dijuduli ABC News In-depth sebagai: the world's most dangerous league.


Judul dari tiga tahun lalu itu mewujud kenyataan pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Lebih dari seratus orang meninggal akibat penumpukan massa yang diawali lemparan gas air mata oleh polisi, setelah suporter kecewa dengan kekalahan tim tuan rumah.


Di akhir esainya, Pak Goen membayangkan:

"Terkadang kita ingin ada seorang Guido yang sebaiknya mengelabui kita. Tapi benar perlukah kita akan sebuah dusta yang bisa membuat kita tak putus harap?"

Saya lalu membayangkan, di bulan November nanti, saat Alfiansyah akan berusia 12, apakah ada yang "berdusta atas nama cinta" kepadanya soal penyebab dia jadi yatim piatu? Ataukah dia harus siap menerima fakta tentang "ketidakadilan dan kekejaman, sebagai kenyataan hidup

"? []