Wednesday, October 28, 2020

Pembangunanisme

Jurnal Indoprogress menyebut gejala ini “The Rise of Technocracy”, atau kebangkitan teknokrasi. Dalam diskusi itu, Windu Jusuf bilang: “apakah hidup terbaik hanya ditentukan oleh teknokrat?” Teknokrat yang dia maksud: berkuasanya kalangan berpendidikan tinggi pasca peristiwa geger 1965.

Kala itu, para ahli berjuluk “mafia Berkeley” duduk di kursi pengambil kebijakan. Alhasil, perekonomian indonesia menggelinding di atas aspal ekonomi mazhab “pembangunanisme”. 

Gejalanya: dana investasi dari Amerika Serikat masuk ke Papua, bahkan sebelum sebagian pulau itu resmi bergabung ke pangkuan republik. Malapetaka Januari 1974 alias Malari, salah satunya juga dilatarbelakangi investasi asing. Ketika itu dana datang dari Jepang. Dan rupanya, sampai sekarang kita nggak kemana-mana. 

Invasi “pembangunanisme” ke kawasan lindung komodo jadi anasir terkini. Demi investasi dan mimpi meraup keuntungan lewat sektor pariwisata, “naturalisme” dikesampingkan. Padahal, nampaknya selama sekian puluh (atau ratus?) tahun tanpa investasi sejak pulau “eksotis” itu “ditemukan”, kehidupan di sana baik-baik saja. Dalam rencana pembangunan wisata premium ala mazhab “pembangunanisme”, para investorlah yang tidak baik-baik saja. 

Pembangunan ala kapitalisme—sebagai oponen dari sosialisme (ada di sila ke-5 Pancasila)—mungkin memang bagus. Tapi kapitalisme juga melahirkan kolonialisme. Persis ketika VOC masuk nusantara demi mengembalikan modal investor di bursa Belanda. 

Penguasaan VOC lalu beralih ke Belanda. Pemerintah kolonial kemudian dibantu penguasa lokal meraup untung bagi kalangan mereka. Musim semi nasionalisme tiba di akhir perang dunia kedua. Ide “pembangunanisme” pun viral—yang dilegitimasi lembaga pendidikan pengusung gaya ekonomi kapitalisme. 

Orang berpendidikan, rentan terjerumus ke pandangan colonial gaze. Maksudnya, memandang mereka yang tidak berpendidikan setinggi mereka, kurang beradab. Padahal warga lokal punya “local wisdom” tersendiri. Rasanya argumen tadi sulit disangkal ketika para warga suku-anak-dalam di selatan Sumatera diminta berpakaian. Padahal mereka cukup pakai cawat biar gampang lari ketika dikejar beruang. 

Colonial gaze tadi bisa jadi berlaku pula kala taman nasional komodo dibeton. Bisa saja dalihnya agar kawasan itu “lebih berperadaban”, tapi apakah peradaban macam itu yang terbaik buat makhluk hidup di sana? Terakhir, saya kutipkan tweet ini:

Saturday, October 3, 2020

Dilema Sosial

Pagi ini saya papasan sama petugas renovasi rumah tetangga. Turun dari motor, dia lanjut menyesap rokok yang udah nyala sejak kendaraannya belum dimatikan. Kepada istri yang lagi jalan bareng, saya cerita bahwa momen adiksi kuli tadi ngingetin ke film yang baru-baru ini saya tonton: The Social Dilemma. 

Film produksi Netflix ini memaparkan analisa bahwa sosialisasi di media sosial ternyata bikin kita asosial. Kebanyakan narasumber yang muncul selama hampir dua jam durasi: mantan eksekutif perusahaan digital besar. Sesekali, kutipan pernyataan menyelingi paparan mereka. Salah satu yang saya ingat: 

Hanya ada dua industri yang pakai kata “user” ke konsumennya: drugs and social media. 

Dalam dokumenter ini, media sosial memang diposisikan serupa candu—dan tentu saja industri. Untuk mempermudah pemahaman penonton, ada ilustrasi yang memperkuat pemaparan para narasumber. Dalam ilustrasi ini, sebuah keluarga menghadapi keseharian di tengah adiksi media sosial. Orang tua berusaha bikin disiplin, si anak nggak bisa nahan pegang handphone. Pada akhirnya anak remaja ini menggantungkan penerimaan terhadap diri sendiri, berdasarkan respon orang atas citra yang dia tampilkan di media sosial. 

Balik lagi ke renungan saya soal rokok tadi. Tembakau hisap itu bikin kecanduan seseorang, sehingga dia jadi konsumtif (atas produk rokok itu). Ketika konsumtif, kebanyakan orang akan berhenti di sana. Di lain pihak, adiksi media sosial bikin kita jadi konsumen sekaligus produsen. Dalam sudut pandang tertentu, bisa dibilang kita sebenarnya ikut sekalian “bekerja” buat si perusahaan media sosial. Tanpa dibayar. Kalau belum nyampe level influencer yang postingnya dibayar, netizen macam ini bisa dibilang buruh gratisan.

Meskipun kesan distopia terasa dominan, toh kita sama-sama mafhum juga bahwa media sosial punya manfaat yang nggak kalah besar. Rokok aja bermanfaat kok. Setidaknya bagi ahli hisap yang merasa pikirannya lebih “plong”. Kadang sosial media bikin “nyesek”, ketika dia jadi bahan perbandingan antara hidup bahagia orang lain dengan hidup kita. Di sisi sebaliknya, barangkali justru itu jadi sumber motivasi. Dan motivasi itulah yang bikin hidup kita makin hidup. Kamu setuju nggak? []