Wednesday, August 26, 2020

Jika Illuminati Ada

Wartawan Tirto.id dan The Jakarta Post baru-baru ini berduet menguak skandal pelecehan seksual di dalam institusi keagamaan. Bertahun-tahun sebelum ini, wartawan The Washington Post mendapat hadiah Pulitzer di Amerika Serikat karena mengungkap kasus serupa. Kisah mereka lalu difilmkan dalam judul Spotlight.

 

Film lain yang juga berlatar lembaga kekristenan, ada di film Angels and Demons. Ceritanya tentang pembalasan dendam oleh organisasi rahasia bernama Illuminati.

 

Syahdan, para ilmuwan disebut sebagai illuminatus atau “mereka yang tercerahkan” setelah sejumlah temuan ilmiah, ternyata bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo menyatakan bahwa bumilah yang sebenarnya mengelilingi matahari, bukan sebaliknya seperti yang termaktub dalam kitab suci. Atas publikasi itu, Galileo dihukum mati.

 

Nasib serupa juga menimpa empat orang illuminatus lain yang meninggal dalam sebuah tragedi bernama La Purga. Para illuminatus lalu berkumpul dalam organisasi bernama Illuminati. Mereka menjadi organisasi rahasia untuk menghindari penghukuman gereja. Ratusan tahun kemudian, orang-orang yang memilih percaya sains dan menafikan agama itu, membalas dendam.

 

Empat orang kardinal diculik dan diancam pembunuhan. Di dada mereka masing-masing dilesakkan penanda ambigram: earth, fire, air, water. Illuminati malah bertindak lebih katastropik. Mereka mencuri antimateri dari pusat penelitian CERN untuk kemudian membuat ledakan setara sekian kali lipat ton bom atom di Vatikan. Berhasilkah pembalasan dendam ini?

 

Film Angels & Demons diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Dan Brown. Serial buku penulis asal Inggris itu bertokoh utama Robert Langdon, ahli simbologi. Dalam The Da Vinci Code dan Inferno yang juga difilman, Langdon diperankan oleh Tom Hanks.

 

Langdon berperan penting dalam teka-teki pencarian lokasi pembunuhan para kardinal, sebelum Hassassin alias pembunuh bayaran tiba di lokasi itu. Ia mengandalkan kode yang ditulis Galileo dalam buku di perpustakaan Vatikan. Galileo sendiri—diinformasikan melalui sebuah dialog—sebenarnya seorang pengamal agama yang taat, selain—sekali lagi—anggota Illuminati.

 

Karena menjadi organisasi rahasia sejak represi dari otoritas keagamaan, Illuminati jadi menarik didalami. “Kerahasiaannya” tadi ternyata terus jadi komoditas. Misalnya jadi inspirasi lagu ini. Kalau pun memang masih ada dan keanggotaannya melekat ketika seseorang lebih mempercayai pembuktian sains dibanding agama, maka jumlahnya barangkali tidak sedikit.

 

Apa pun itu, gambaran serupa di film Angels and Demons tak boleh terjadi. Kepercayaan terhadap sesuatu jangan sampai menjadi pembenaran atas teror dan pembunuhan. []

Tuesday, August 25, 2020

Mengenang Film Bong

Agustus tahun lalu, Parasite tayang. Waktu itu saya masih tugas di Bandung. Di sana, ada komunitas Layar Kita yang rutin putar film-film “aneh”. Ketika Parasite diputar di bioskop, Memories of Murders dipertontonkan di Museum Konferensi Asia-Afrika—tempat para pegiat Layar Kita biasa nonton bareng.

 

Saya melewatkan Memories of Murders, soalnya belum paham bahwa sutradara Bong Joon-ho, film-filmnya sepenting itu. Singkat kisah, hari itu saya hanya nonton Parasite dan sangat terkesan. Barulah setelah itu nyesel nggak datang ke acara Layar Kita.

 

Sebenarnya ketika Snowpiercer tayang, saya sempat nonton. Sayangnya saya belum sedetil saat ini soal kru di balik sebuah film bagus. Barulah setelah nonton Parasite tadi saya sadar bahwa dua film ini lahir dari sineas yang sama. Perkenalan saya dengan film lain Bong Joon-ho berlanjut.

 

Ada dua film Bong yang bisa kita tonton di Netflix. Pertama, Okja. Film ini secara telanjang memperlihatkan kritik terhadap kapitalisme yang mengeksploitasi hewan. Bong nampaknya seorang penganut teori pertentangan kelas. Lihat saja Snowpiercer yang menceritakan tentang sebuah kereta di akhir zaman yang mengelilingi dunia tanpa henti. Di dalamnya ada manusia yang menjalani hidup berdasarkan urutan gerbong tempat mereka tinggal. Konflik hadir ketika seorang penghuni gerbong buncit menerobos ke depan. Momen ini bisa ditafsirkan sebagai “upaya membuat masyarakat tanpa kelas”.

 

Lantas pertentangan serupa hadir pula dalam Parasite. Bahwa “peradaban manusia berlangsung melalui pertentangan antara kelas proletar dan kaum borjuis”, ada di dalam judul ini. Meski begitu, tafsirnya sebenarnya nggak tunggal. Tiap orang bisa punya pemahaman masing-masing atas kisah dalam Parasite. Yang jelas, ada meme kutipan wawancara Bong Joon-ho dengan kalimat:

 

“Essentially, we all live in the same country... called Capitalism.”

 

Film Bong kedua yang ada di Netflix: The Host. Film ini ternyata berkisah lebih dari fantasi kehadiran monster di sungai Han kota Seoul. Tulisan ini membedah simbol-simbol dalam film The Host sehingga penulisnya, Anthony Kao berkesimpulan bahwa siapa pun yang peduli dengan Korea musti nonton The Host.

 

Kao menulis bahwa pertama, penonton bisa merasakan sentimen anti Amerika Serikat. Ada penggambaran ilmuwan perusak lingkungan yang membuat monster terbentuk. Penggunaan gas Agent Orange juga membuat kita mengingat bahwa AS punya dosa terhadap warga Vietnam ketika mereka menyerang negara bergaya pemerintahan “komunisme” itu dengan gas yang sama. Alasan kedua dan ketiga, soal kondisi ekonomi dan makna Han sebagai nama sungai tempat tinggal si monster. []

Monday, August 24, 2020

Allied-Casablanca

Buku Catatan Turis Siluman buatan Agus Dermawan T. memang kaya referensi. Bukan hanya bahas pengalaman penulis menjelajahi banyak lokasi, dia juga memuat informasi lain yang terkait dengan itu. Salah satunya, film yang baru saya tonton ini. Judulnya Allied (2016). Buku yang saya singgung tadi menuliskannya sebagai remake film legendaris berlatar di Maroko berjudul Casablanca.

Allied dibintangi Brad Pitt dan Marion Cotillard yang masing-masing berperan sebagai Max dan Marianne Vattan. Mereka pasangan suami-istri, setelah sebelumnya bertugas di lokasi yang sama: Casablanca. Kisah tentang bagaimana keduanya berpasangan dalam satu keluarga, kira-kira mengambil jatah separuh dari durasi total. Selebihnya, mengungkap bagaimana dilema pasangan agen rahasia di suasana perang dunia kedua.


Di paruh pertama dekade 1940-an, Nazi masih berkuasa. Maroko termasuk salah satu wilayah yang dikuasai Jerman dan sekutunya. Seorang duta besar bertanda lengan lambang swastika ala Nazi dan foto Hitler di ruang kantornya, berkuasa. Dialah sasaran serang kedua pasangan ini. Dan adegan penyerangan si duta besar, jadi satu-satunya momen peperangan khas film Mr & Mrs Smith (2005). Setelahnya, drama lebih kental terasa.


Allied memang menekankan tentang dilema yang dihadapi ketika seseorang harus membunuh pasangannya, jika terbukti si pendamping hidup itu memang penyusup. Serangkaian tes lalu dijalankan. Namanya Blue Dye Operation. Jika hasilnya positif dan ia enggan membunuh pasangannya, mereka berdua akan mati bersama: dibunuh. Dramatisasi plot dilengkapi dengan kehadiran anak pasanan Vattan. Namanya Anna. Penonton juga akan diajak menebak-nebak, kira-kira bagaimana jalan tengah terbaik? 


Saya selalu suka akting Brad Pitt, termasuk dalam film ini. Terlebih, saat dia juga harus berakting jadi seorang pekerja pertambangan di depan si duta besar. Bagian itu termasuk menegangkan. Dia diminta mengocok kartu remi untuk menentukan keputusan apakah layak mereka hadir di acara si duta besar. Bengis dan paranoidnya orang-orang Nazi juga terlihat ketika tokoh Max Vattan diminta menulis rumus kimia untuk fosfor. 


Ada satu dialog yang saya tandai di film ini, karena diulang dalam dua adegan. 


“a husband will offer his cigarette to his wife"

 

Kata Marianne ketika mereka baru bertemu di penugasan yang sama. Kalimat yang sama diucapkan di momen klimaks yang menandai pengungkapan bahwa salah satu di antara mereka harus mati. Kala itu, perempuan memang lazim merokok. Setidaknya demikian yang ditampilkan foto-foto dalam artikel terbitan majalah Life berikut ini. Judul terbitannya “Casablanca and 'Allied': A Real Wartime Couple in Casablanca, 1943".

Sunday, August 23, 2020

Patung Buddha yang Belum Tuntas

Buku Dari Buku ke Buku sepertinya akan lebih cocok dibaca akademisi di bidang sejarah. Seperti yang saya ulas di posting sebelumnya, gaya penulisan Pak Swantoro melompat-lompat. Apalagi detil sitasi dari sumber asli dipaparkan melimpah dan mentah. Misalnya, teks berbahasa belanda ditulis seadanya. Begitu pula dengan informasi berbahasa inggris. 

“Sebenarnya enggan saya menerjemahkannya, khawatir kalau menjadi padam ‘apinya’. Namun demi pembaca muda yang masih bergulat dengan bahasa inggris, mohon dimaklumi keberanian saya menerjemahkannya.” (Hal. 164)

Meski begitu, fakta dan data yang dipaparkan di dalamnya tetap bisa dipahami, dan menguntungkan. Bayangkan, buku ini kasih kita kesempatan lihat bagian dalam sebuah buku yang dibeli bersama The History of Java seharga 800 dolar AS di Amerika Serikat. Buku yang dimaksud: Antiquarian, Architectural and Landscape Illustrations of the History of Java. Di dalam buku ilustrasi ini, ada visualisasi seorang ningrat bertelanjang dada, keris tersampir di pinggangnya. Ada pula gambar tampak samping ningrat lain, yang dipajang pula di bagian cover buku berisi esai tentang buku koleksi P. Swantoro ini. 


Ada pula salah satu tulisan dalam buku ini, yang membandingkan beberapa buku untuk menjawab misteri keberadaan arca yang belum diukir sempurna di puncak Candi Borobudur. Meskipun foto arca yang dimaksud diperlihatkan, Pak Swantoro mendeskripsikannya melalui kutipan pernyataan Profesor Soekmono, kepala pemugaran Candi Borobudur:


“Dalam literatur mengenai Candi Borobudur, arca itu memang disebut ‘the unfinished buddha’, arca buddha yang belum rampung. ‘Mukanya jelek dan tubuhnya cacad. Keriting rambutnya belum dipahat…” (Hal. 115)


Buku buatan Bernet Kempers berjudul Ageless Borobudur, memaparkan bahwa ada dua pendapat tentang eksistensi The Unfinished Buddha: apakah dia memang bagian dari stupa induk, atau sebaliknya? Pada akhir tulisan, Pak Swantoro menarik kesimpulan berdasarkan tafsir Serat Centhini. Prof Soekmono memaknai bahwa: arca cacad yang bertakhta dalam stupa induk Candi Borobudur adalah pelengkap yang mutlak harus ada untuk menggambarkan kesempurnaan manifestasi Sang Buddha secara keseluruhan. []

Saturday, August 22, 2020

Manusia Lawan Hewan

Manusia lawan hewan. Dalam film, mana yang menang? Biasanya, yang pertama. Setidaknya, begitu pula ketika seorang perenang melawan kawanan buaya dalam film Crawl. Percayalah, mengetahui ending film survival semacam ini tidak akan mengurangi ketegangan menyaksikan menit demi menit judul yang saya bahas ini.

Crawl berkisah tentang Haley. Dia nekad menembus jalur terlarang yang berpotensi dilanda badai. Prediksi pun terjadi. Haley terjebak bersama ayahnya di rumah yang semula akan dijual. Lewat dialog di bagian awal film, penonton akan mafhum bahwa ada yang tidak beres dalam relasi ayah dan anak ini.


Kisah bergulir. Badai memburuk. Hujan lebat dan angin kencang merusak kawasan di sekitar rumah, termasuk peternakan aligator. Hewan melata inilah sumber ancaman Haley dan ayahnya. Saya memang bilang manusia menang, tapi nggak bilang manusia yang mana kan?


Crawl disutradarai Alexandre Aja. Dalam salah satu daftar filmografinya, ada judul Piranha yang diproduksi 2010. Nampaknya urusan hewan melawan manusia berlatar alam yang ganas, jadi perhatian khusus sutradara asal Inggris ini. Dalam hal menyisipkan kisah humanis di antara pertarungan itu, rasanya Crawl nggak terasa mulus. Saya teganggu dengan dialog melankolis bahwa ayah Haley ragu menjual rumah mereka. Terutama ketika Haley bilang “this is not home, we are home”—merujuk ke dirinya dan sang adik. Saya sulit membayangkan kalimat melankolis tadi cocok diucapkan dalam situasi genting semacam itu.


Film tentang manusia melawan binatang, yang paling fenomenal barangkali Jurassic Park. Bagi saya, ada dua judul lain: The Shallow dan Grey. Yang pertama, tentang seorang peselancar lawan ikan hiu. Deep Blue Sea dan Jaws boleh dibilang perintis phobia orang awam terhadap hiu. Dan The Shallow ini, menambah satu poin kontribusi. Meskipun kontra narasi soal itu juga banyak dikampanyekan: di dunia nyata, jauh lebih sedikit hiu membunuh manusia dibandingkan sebaliknya.


Sementara, film Grey bercerita tentang duel seorang penyintas kecelakaan pesawat dan sekawanan serigala. Di sini, para canis tadi “akting” nggak kalah meyakinkan. Entah gimana tekniknya. Si tokoh utama yang dimainkan Liam Neeson seakan bertaktik dengan makhluk berintelejensi. Dibanding Crawl dan The Shallow, Grey lebih interpretatif. Penonton akan punya penafsiran sendiri atas pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya bertahta sebagai pemuncak piramida ekologi. []

Thursday, August 13, 2020

Selera Itu Kuasa

Dalam ulasan bab pertama, saya menulis bahwa buku Jurnalisme Musik yang ditulis Idhar Resmadi mengurai sejarah perkembangan media musik. Salah satunya Aktuil. Majalah ini dibahas lagi dalam halaman-halaman yang bisa dibilang inti buku Jurnalisme Musik.

 Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya, diakui penulis merupakan penghormatan bagi buku “Musik dan Selingkar Wilayahnya”. Buku itu terbit tahun 1955 dan ditulis Amir Pasaribu. Peran Amir Pasaribu dalam perkembangan jurnalisme musik di Indonesia, dinilai penting.

 

Sebagai komponis, Amir tak hanya memiliki wawasan teknis, tapi juga paham aspek sosiologis musik yang ia kritisi. Idhar juga menulis bahwa Amir seorang ahli musik yang lugas dan jujur. Misalnya, ia menulis:

 

“dalam tulisannya berjudul ‘Seperempat Abad Lagu Indonesia Raya”, dia berani mengkritik lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman sebagai plagiat dari lagu “Lekka Lekka” atau “Pinda Pinda” yang dikenal orang Belanda pada zaman sebelum Perang Dunia I.” (Hal. 146)

 

Peran Amir Pasaribu yang tulisan-tulisannya cukup berpengaruh hingga memantik reaksi masyarakat, sebangun dengan kontribusi yang disuguhkan Remy Sylado atau Yapi Tambayong kala ia mengampu majalah Aktuil. Aktuil muncul dalam era yang disebut-sebut sebagai puncak gairah jurnalisme musik di tanah air.

 

Idhar menyoroti kiprah Aktuil dalam memantik selisih antara musik rock dan dangdut. Dalam masa operasinya, Aktuil membagi sensasi musik ke dalam dikotomi “gedongan” dan “kampungan”. Yang pertama dicitrakan bagi musik rock, sementara lainnya dilekatkan dengan citra musik orkes melayu—yang kemudian dicibir dengan sebutan: dangdut.

 

Pola pembentukan opini yang dilakukan Aktuil, ternyata berlanjut hingga masa hidup Rolling Stone Indonesia—dan media lain sejenisnya. Idhar mencatat, kritikus musik membutuhkan musik yang “buruk” untuk menegaskan selera mereka kepada pembaca. Dalam kasus majalah yang tutup di tahun 2016 itu, musik “buruk” yang dimaksud adalah musik pop-melayu.

 

Lantas, benarkah orkes melayu dan pop-melayu yang populer itu boleh dibilang musik “buruk” bagi bangsa rumpun melayu semacam kita? Idhar menawarkan beberapa perspektif.

 

Jurnalisme musik didefinisikan jurnalis musik Lester Bangs sebagai upaya “menularkan selera musik kepada orang lain”. Sementara, menurut Bourdieu berpendapat bahwa selera bisa dimaknai sebagai suatu kuasa simbolis. Maka, bisa dibilang bahwa peran jurnalis musik sebagai pencipta selera, berkaitan dengan upaya mereka merebut kuasa dalam sebuah medan sosial. Dalam contoh kasus majalah Rolling Stone Indonesia, medan sosial yang dimaksud adalah peran para awak medianya yang juga manajer band rock,  musisi band metal, kolektor rekaman, penonton festival dan konser luar negeri, hingga aktivis beragam komunitas musik indie.

 

Rasanya Idhar cukup berhasil menjadikan buku akademis ini terasa semacam buku populer. Contoh kasus semacam tuntutan Kings of Leon atas MTV, membuat pembaca lebih merasa dekat dengan bahasan soal kritik musik. Begitu pula dengan kisah Yapi Tambayong yang terkesan galak dengan kritiknya kepada Sang Mengapa—sebutannya bagi musik pop “cengeng” di masa orde baru yang sering memakai kata “mengapa” dalam liriknya. Kala itu, sang pemilik nama pena Remy Sylado dikenal lugas melontarkan kritik hingga pemerintah melarang musik “cengeng” disiarkan di TV. Dalam masa lain, disampaikan pula bahwa Yapi menulis buku unik dan bertaburan sanjungan untuk SBY berjudul “Pak Presiden Menyanyi: Esai tentang Karya Musik dan Puisi SBY”. []

Tuesday, August 11, 2020

Buku tentang Buku

Saya sedang baca buku tentang buku. Ini kumpulan tulisan nonfiksi. Bisa dibilang, esai berdasarkan judul buku dan topik tertentu. Penulisnya: P. Swantoro. 

Polycarpus adalah P dalam nama depan Pak Swantoro. Ini perlu disampaikan agar Kamu nggak nyangka bahwa ketika saya sebut nama Pak Swantoro, P di nama depan beliau malah disangka “Pak”. Sebetulnya kalau mau lebih tepat kita bisa sebut beliau dengan panggilan Kek. Almarhum Kek Swantoro, wafat setahun lalu dalam usia 87 tahun.

 

Buku “Dari Buku ke Buku”, jadi warisan salah seorang pendiri Kompas Gramedia ini. Ada 32 judul yang dibundel ke dalam 472 halaman. Salah satu yang barangkali menggambarkan keseluruhan gaya tutur buku ini, bisa ditilik dalam sebuah judul: “Dari Majalah Basis ke Balai Poestaka”.

 

Pembahasan Balai Poestaka, sebetulnya bermula dari “pancingan” di tulisan sebelum judul-yang-juga-mengulas-Majalah-Basis-itu. Kalimat pertama bab kelima ini berbunyi: 

“Di atas sudah saya sebut nama G.Vriens yang menulis laporan tentang meletusnya Gunung Merapi akhir 1930. Nama itu membawa kenangan tersendiri bagi saya.” (hal. 43)

Pada dekade tahun 1930an dunia memang menghadapi resesi ekonomi, justru setelah redanya dampak suram perang dunia pertama. Di pulau Jawa, kondisinya diperparah dengan bencana gunung meletus. Laporan jurnalistik tentang katastropi itulah yang membuat Pak Swantoro tertarik jadi wartawan di Majalah Basis tahun 1957.

 

Lantas, Pak Swantoro “melantur”—demikian dia menyebut dirinya sendiri ketika membelokkan topik bahasan. Pak Swantoro menceritakan Balai Poestaka sebagai salah satu lembaga penerbitan yang berperan mengabarkan pagebluk 1930-an.

 

Fakta unik: Balai Poestaka dibentuk tanggal 15 Agustus 1908. Dan kita sama-sama paham bahwa 37 tahun lebih dua hari kemudian, Indonesia merdeka. Padahal, Balai Poestaka ternyata juga dikenal rajin membendung arus penerbitan buku dan artikel karya para aktivis anti-kapitalis dan anti-kolonialis.

 

Dalam lembar-lembar selanjutnya, saya kemudian membaca kisah tentang Pangeran Diponegoro dan buku Java de Oorlog atau Perang Jawa. Ini masih halaman 80-an. Masih ada 400-an halaman lain yang akan mengenalkan saya ke buku-buku lain yang berkaitan dengan Nusantara dan Indonesia. Dengan membacanya, sejauh ini sih saya suka. []

Monday, August 10, 2020

How I Love “Slaughter Beach, Dog”? And why?

Have you ever met someone that you dislike at an initial moments? Yet, you still have to interact with him or her due to any particular circumstances. Unpredictably, you and your colleague are match to each other. Sometimes, that scenario occurs not only in an interpersonal relationship.

Here’s my experience. I got a recommendation from one Twitter account about the best music albums of 2019. One of them was Slaughter Beach, Dog. Personally, I am not very fond of folk music. I still have enough energy to enjoy Rammstein with their latest album which was released on the same year. Recently, I also love the burst of distortion from Four Year Strong’s last album: Brain Pain—“Learn to Love the Lie” is my favorite one. Even so, I don’t know why, I cannot help myself for not to clicking that heart icon of Spotify on the album from Slaughter Beach, Dog: Safe and Also No Fear.

 

Times goes by, and little by little I managed to enjoy those 10 songs. Slaughter Beach, Dog offers an acoustic ambience with the accurate power of drum stroke so much so that it make the songs felt enjoyable. My favorite song is: Black Oak.

 

This is the fourth song on the album. I bet that Black Oak was not the main single from this album. The length maybe too long for some people, but I like it. Imagine that you have to climb steeply on the hill towards the top. Slowly. Instantly after reached the peak, you ought to move downward monotonously. All of those ups and downs analogy of the song happens in 6 minutes and 42 seconds. 

“A looping coda evokes the spaced-out lapse of highway hypnosis, as if the band were cruising those darkened roads themselves.” (Abby Jones, on Pitchfork.com)

After fell in love with the song, album and this band, I searched one or two information about them. From the same article written by Abby Jones, I found out that Slaughter Beach, Dog was a one man show that formed by Jake Ewald. He was the co-front man of Philadelphia based emo/ punk band named Modern Baseball—whom disbanded in 2017.

 

Safe and Also No Fear was his third album. And on this folk-rock album, Ewald includes Modern Baseball’s bassist Ian Farmer. Slaughter Beach, Dog released their latest single on June 5, 2020. The song was entitled: Fair Shot.

 

How to explain my instant likeness to this album? On the same timeline, I read the book of Jurnalisme Musik that was written by Idhar Resmadi. On the section of “How Taste Was Formed?” he cited the analysis from Martin Suryajaya’s book of Sejarah Estetika (2016). Martin wrote that British philosopher David Hume, argued: taste was formed by two steps: perception and affection.

 

Furthermore, Idhar expand his writing by stated that Hume’s opinion is coherent with Immanuel Kant’s argument of taste. Idhar concluded that it would be hard to insist someone about the beauty of one song without let them listen by themselves. []

 

 

Sunday, August 9, 2020

Jurnalisme Musik

Sepuluh tahun lalu, profesi ini jadi cita-cita saya: jurnalis musik. Ketika itu, Rolling Stone Indonesia masih ada.  Trax Magazine dan Hai yang legendaris itu juga tetap dicetak. Tiga majalah itu, menurut Idhar Resmadi dalam bukunya Jurnalisme Musik, “memberikan pengaruh sangat penting bagi perkembangan jurnalisme musik di Indonesia setelah reformasi.” Saya berikhtiar untuk bisa menulis di setidaknya satu nama besar itu. Pada akhirnya memang gagal. Saya bikin media sendiri: blog ini.

Keikutsertaan saya menulis musik di blog, bisa dibilang dampak dari berkembangnya media musik di internet, pasca popularitas majalah cetak yang mulai meredup. Dalam buku itu juga, Idhar justru memuji kemunculan blog, webzine, radio streaming dan video sebagai momen “mengembalikan keautentikan penulisan musik oleh orang-orang yang memang antusias dan memiliki renjana (passion) terhadap musik.” Dia menambahkan, penulis musik di webzine biasanya “non-jurnalis”.

 

Kilasan sejarah media musik mengisi bab pertama buku Jurnalisme Musik yang terbit pertama kali tahun 2018. Idhar merunut sejarah perkembangan media musik yang muncul sejak tahun 1940. Ketika itu pemberitaan atau kritik terhadap musik ada dalam majalah Suara NIROM. Nama singkatan itu diambil dari sebutan bagi radio yang populer kala itu: Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschapij.

 

Geliat perkembangan jurnalisme musik memuncak di tahun 1970-an. Ketika itu, Aktuil digdaya. Nama majalah itu sendiri terpengaruh dari majalah asal Belanda, Actueel. Ada beberapa hal fenomenal yang dicatatkan majalah bentukan Denny Sabri—mantan wartawan majalah musik Diskorina yang muncul tahun 1957. Idhar mencatat, pasca Aktuil tutup tahun 1975, “sudah tak ada lagi tulisan-tulisan musik yang kritis terhadap industri atau melakukan propaganda budaya layaknya Aktuil”.

 

Aktuil fenomenal karena pertama, mereka “mampu memberikan opini yang lugas tanpa tedeng aling-aling”.

“Majalah ini pernah merendahkan lagu-lagu Koes Plus meski band itu sangat digemari dan laku di pasaran (Mulyadi, 2009). Aktuil bahkan tak segan menyebut musik pop cengeng atau lagu-lagu easy listening dengan sebutan ‘kue pancongan’, ‘kacang goreng’ atau ‘kuacian’.” (Hal. 13)

Kedua, Aktuil menyulut pertempuran antara penggemar musik rock dan musik dangdut. Nama “dangdut” sendiri awalnya disematkan redaktur Aktuil, Billy Silabumi “untuk menyebut (atau ‘mengejek’) musik melayu yang dianggapnya kacangan”. Dan fakta itu diamini Rhoma Irama. Dalam video wawancara Si Raja Dangdut ketika menghadiri Archipelago Festival tahun 2019, ia paparkan bahwa musik sejenis yang dimainkannya, bernama musik “melayu” atau “orkes melayu”.

 

Ketiga, Aktuil membuat populer kata “belantika”. Kata ini disadur dari Bahasa Sunda “balantik” yang berarti usaha atau dagang. Aktuil memang berkantor di Kota Bandung hingga akhirnya tutup redaksi setelah boncos akibat menggelar konser Deep Purple.

 

Sekarang saya lanjut membaca Bab 02 buku setebal 200-an halaman ini. Setelah sejarah, Idhar mengajak pembaca berkenalan dengan beberapa nama jurnalis musik. Ada pula tabel perbedaan antara “jurnalis umum” dan “jurnalis musik” yang diukur dari berbagai segi. Dalam sesi ini Idhar menjabarkan jurnalisme musik sebagai Perpanjangan Tangan Industri. []

Sunday, August 2, 2020

Rancang Agung

Dua orang fisikawan ini ternyata nggak semembosankan yang dicitrakan. Mereka cukup humoris kok. Saya baru tamat baca buku The Grand Design atau Rancang Agung. Judul ini ditulis dua orang: Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow.

 

Hawking dikenal sebagai astrofisikawan yang meskipun mengalami kelumpuhan namun tetap produktif menyampaikan buah pikirannya. Stephen Hawking sohor dengan bukunya yang berjudul A Brief History of Time. Sementara Mlodinow, ahli fisika dari Caltech. Pernah nonton serial Star Trek: The Next Generation? Nah, Leonard Mlodinow inilah penulis kisahnya.

 

Buku Rancang Agung menjabarkan jawaban atas tiga pertanyaan utama yang tertulis di sampulnya:

-       Kapan dan bagaimana alam semesta bermula?

-       Mengapa kita ada di dunia ini?

-       Bagaimana campur tangan Tuhan dalam rancangan agung alam semesta?

Saya akan bocorkan jawabannya satu per satu.

 

Alam semesta kita bermula dari sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama big bang alias ledakan besar. Melalui buku ini, saya paham lebih detil bahwa big bang yang dimaksud bukan terbayang lambat, melainkan sangat cepat.

 

“Kecuali kalau Anda tinggal di Zimbabwe, di mana inflasi mata uang baru-baru ini melebihi 200.000.000 persen, istilah itu mungkin tak terkesan sangat eksplosif. Tapi menurut perkiraan konservatif pun, selama inflasi kosmologis, alam semesta mengembang 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000 kali lipat dalam 0,000000000000001 detik. Ibarat koin dengan garis tengah 1 sentimeter mendadak membesar jadi selebar sepuluh juta kali lebar galaksi Bima Sakti.” (Hal. 139)

 

Kalimat soal Zimbabwe di atas itulah yang saya maksud humoris. Ada beberapa perumpamaan yang memang nggak sampe bikin ngakak sih, tapi cukup lah melonggarkan kerutan dahi ketika baca buku ini. Mau contoh lain?

 

“Malah, jika eksentrisitas orbit Bumi mendekati satu, samudra kita bakal mendidih ketika mencapai titik terdekat ke Matahari, dan membeku ketika mencapai titik terjauh, sehingga libur musim dingin maupun musim panas sama merananya.” (Hal. 159)

 

Kutipan di atas sekaligus menjawab pertanyaan kedua. Bahwa alasan eksistensi kita di alam semesta, karena kebetulan. Posisi planet tempat kita hidup, berada tepat di area yang memungkinkan munculnya kehidupan—namanya Zona Goldilocks. Apakah itu karena Tuhan mengatur demikian?

 

Duet penulis Hawking-Mlodinow menjawab tidak. Sebuah percobaan disitir sebagai sebuah analogi bahwa “set hukum yang sederhana pun bisa menghasilkan ciri-ciri rumit yang menyerupai kehidupan cerdas.”

 

“Contoh yang bisa membantu kita memikirkan perkara realitas dan penciptaan adalah Game of Life, yang dibuat pada 1970 oleh seorang ahli matematika muda di Cambridge bernama John Conway.” (Hal. 183)

 

Buku ini disusun dalam delapan bab. Dalam bab pamungkas berjudul Rancang Agung, penulis menyimpulkan dengan sesekali mengingatkan pembaca bahwa beberapa bahasan sudah disampaikan di bab sebelumnya. Di bagian ini pula, mereka menutup dengan paparan tentang Teori-M.

 

“Berdasarkan alasan-alasan itu, teori-M adalah satu-satunya kandidat teori alam semesta yang lengkap. Jika teori-M terhingga—dan ini belum dibuktikan—maka teori tersebut akan menjadi model alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri.” (Hal. 193) []