Saturday, May 26, 2018

Marx


Tahun 2016 lalu ketika membuat penelusuran berjudul “Gaduh Ideologi”, saya mewawancarai Romo Magnis di kantornya. Dengan malu-malu, saya mengaku bahwa belum membaca Das Kapital untuk mendalami marxisme yang akan kami bincangkan. Saya terkejut karena ia bilang nggak usah.

Pada kesempatan lain, saya sempat mendengar langsung bahwa sastrawan Sapardi Joko Damono berdecak kagum atas isi kepala Marx. Ia salut dengan latar belakang Karl yang bukan siapa-siapa, tapi membuahkan gagasan yang menurutnya brilian.
Bagaimana Marx bisa dikagumi sekaligus disalahkan? Baru-baru ini saya nonton film berjudul Young Karl Marx (2017).

Film ini disusun kronologis, dimulai dari penjabaran kondisi sosial ketika Marx bekerja sebagai wartawan yang kritis terhadap pemerintahan saat itu.

“Pada tahun 1843, eropa dikuasai oleh sistem kerajaan yang berkalang krisis, kelaparan dan resesi ekonomi.”

Marx muda yang masih berusia 25 tahun kemudian ditangkap akibat tulisannya yang dianggap berbahaya bagi kerajaan Prusia. Ia dan istrinya lalu diasingkan ke Perancis pada tahun 1844. Di sana Marx bertemu kolaboratornya: Friedrich Engels. Young Karl Marx menggambarkan suasana pertemuan Marx-Engels yang awalnya canggung. Marx yang terkesan arogan, sempat ragu dengan komitmen perjuangan Engels. Wajar, karena ayah Engels pemilik pabrik: pemilik alat produksi yang memiliki tendensi memeras tenaga buruh.

Dalam sebuah adegan digambarkan bahwa suatu hari Engels dan ayahnya meninjau pabrik miliknya ketika para pegawai protes dengan durasi kerja berlebihan. Seorang pekerja bernama Mary Burns berani mendebat pemilik pabrik. Ketika dia diancam pemecatan dan memancing solidaritas pekerja lain, tidak ada yang mendukung. Di kemudian hari, Mary inilah yang menjadi istri Engels.

Singkat cerita, Marx dan Engels kemudian berkolaborasi. Di kemudian hari, lahirlah manifesto komunisme—yang jadi semangat pemberontakan di sejumlah belahan dunia (di film ini digambarkan dengan cuplikan foto protes, dilatari lagu Bob Dylan berjudul Like a Rolling Stone).

Perjalanan menuju rilisnya deklarasi terbuka tentang paham komunisme, juga digambarkan di film berdurasi 2 jam kurang 2 menit ini. Mulai dari kehadiran Marx di kongres para anarkis di Perancis, hingga pembentukan partai internasional Communist League (yang sebelumnya berupa organisasi pemikir kritis bernama League of the Just atau League of Outlaws). Momen menarik ketika tokoh anarkis Pierre-Joseph Proudhon menghadiahkan buku The Philosophy of Poverty (Filosofi Kemiskinan) juga ditampilkan. Di kemudian hari, Marx menjawab buku itu dengan judul The Poverty of Philosophy (Kemiskinan Filsafat).
Secara visual, film ini sebenarnya membosankan. Meski demikian, setidaknya Young Karl Marx penting bagi pembelajar audio-visual, untuk mengenal sosok yang dinobatkan filsuf paling berpengaruh abad ke-21 ini. Selanjutnya, untuk mengetahui kenapa Romo Magnis dan Pak Sapardi berbeda pendapat, kita harus mendalami buah pikiran Marx. Menurut sosiolog Immanuel Wallerstein,

“Hal pertama yang harus saya katakan kepada anak muda adalah mereka harus membaca-nya. Jangan membaca tentang dia, tetapi baca Marx.”

Anjuran di atas, nampaknya akan sulit diterapkan di Indonesia, karena Tap MPRS nomor 25 tahun 1965 masih berlaku. []






Monday, May 7, 2018

Rumah, Musim Hujan, Kejawen

Semalam saya baru nonton film Rumah dan Musim Hujan. Film ini sempat tayang di bioskop awal tahun 2018 dengan judul Hoax. Judul internasionalnya One Day When The Rain Falls, karena memang berkisah tentang suatu malam di bulan ramadhan, ketika hujan turun mengiringi kisah sebuah keluarga.

Film ini dibuka dengan santap buka puasa yang dihadiri seorang ayah dan anak-anaknya. Kisah kemudian bercabang setelah ketika anak sang bapak yang masing-masing diperankan Tora Sudiro (Raga) dan Tara Basro (Ade), pamit ke rumahnya masing-masing. Vino G. Bastian yang memerankan Ragil, kemudian tinggal di rumah bersama bapaknya yang dimainkan Landung Simatupang. Sutradara Ifa Isfansyah, menampilkan Rumah dan Musim Hujan dalam balutan horror dan drama.

Kisah intinya, tentang kepercayaan penganut kejawen, bahwa seseorang lahir bersama tiga saudara lainnya: plasenta, air ketuban, dan ari-ari. Ketiga saudara kembar itu raganya mati, tapi jiwanya ada dan selalu menemani seorang bayi hingga ia tumbuh dan menjalani hidup, bahkan kadang hadir ketika wetonnya tiba, alias si orang itu berulang tahun menurut penanggalan tradisi jawa. Kepercayaan ini digambarkan dengan mendebarkan ketika Ade terlibat teka-teki sosok asli sang ibu (Jajang C. Noer). Sementara itu, dialog yang saling sulam juga mengalir saling melengkapi informasi dari tiga subkisah.

Konsep kelahiran bersama tiga kembar tadi dikisahkan Raga ketika pulang bersama pacar barunya, Sukma (Aulia Sarah). Raga dan Sukma lalu terlibat patgulipat perebutan perhatian dengan mantan pacar Raga: Sari. Bagian ini, bernuansa lebih ringan dan jenaka. Gong besar penanda klimaks film ini, ada di akhir kisah. Ragil yang ternyata menyembunyikan sebuah rahasia, memperlihatkan makna di balik penyesalan sang ayah yang mengaku salah memberi nama.

Saya sebenarnya baru sadar setelah tanya ke istri saya yang keturunan Jawa. Nama ragil artinya bungsu, padahal Ragil masih punya adik bungsu perempuan. Jika dikaitkan dengan rahasia yang disembunyikan Ragil, penyesalan sang ayah ternyata beralasan. Namun, pada akhirnya semua tampak baik-baik saja. Sahur tiba, Ragil menyiapkan empat piring di meja makan. []