Thursday, September 29, 2022

Trocoh





Oh, trocoh itu artinya bocor. Yang saya maksud, sebuah buku buatan Budi Warsito.


Isinya  esai tentang memorabilia si penulis: buku, film, cerpen, majalah, piringan hitam, dan banyak lagi. Dan perspektifnya unik.


Budi lihai mengolah fakta untuk kemudian dipadu padan dengan pengalaman, lantas disajikan ke dalam sebuah judul artikel barangkali sekitar 200-300 kata tanpa pembatas antar paragraf. Masing-masing mereka dibubuhi musik pengiring, berupa informasi judul lagu dan penyanyinya.


Sejauh 144 dari 275 halaman ini, favorit saya "Empat Menit, Sehat Sempurna". Isinya tentang Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Waktu sekolah SD di akhir 90an, saya sempat mengalami masa-masa senam sebelum masuk kelas, serupa yang dialami pemilik perpustakaan Kineruku Bandung itu. 


Kedekatan dengan bahasan di judul ini, juga muncul ketika Budi menghadirkan sejarah SKJ yang berasal dari SPI, Senam Pagi Indonesia. Saya pernah tugas di program TV bernama SPI, Selamat Pagi Indonesia. Dan ternyata istilah SPI pernah sepopuler itu, hingga barangkali para senior di Metro TV mempertimbangkan "romantika" supaya penonton dari tahun 1975 bisa merasakan sebuah proximity.


Dalam tulisan yang sama, Budi juga membubuhkan opini jenaka tapi mungkin memang tepat, bahwa "Di negeri yang dipenuhi bakat pelawak ini, kepatuhan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan lelucon. Mungkin SKJ itu memang bukan soal kepatuhan, melainkan tentang bersenang-senang."


Meski begitu, ada pula bahasan yang terlalu jauh. Setidaknya bagi saya. Atau terlalu detil dan trivial sampai saya pikir judul ini bisa diabaikan. 


Pada akhirnya kategori semacam itu tetap saya baca sih, karena toh yang dicari dari membaca buku Trocoh bukan cuma informasi. Saya sedang mengasah skill meracik gagasan dengan bahan baku yang sama seperti buku ini. 


Salah satu cara latihannya, rutin nulis di blog ini. Sama seperti penulis Trocoh konsisten menulis di blognya, budiwarsito.net. []

Monday, September 26, 2022

Tersirat

 Secara sadar atau tidak, kita menaruh hormat kepada tempat asali dengan cara yang (katakanlah) simbolik. Selain berasal dari perenungan ke arah jendela bis antar kota, ini saya sadari pula dari sebuah tontonan.

Di episode 5 season 1 docudrama What We Do In The Shadows, dikisahkan si vampir betina (betul istilahnya begitu?) Nadja menemui Gregor, seorang pria yang ia percayai reinkarnasi dari kekasihnya di masa lalu. Sebagai "drakula betina" (betul begitu istilahnya?), tokoh yang diperankan Natasia Charlotte Demetriou ini memang imortal.

Maka, ketika Gregor mengajaknya ke sebuah pasar malam, ia mengenang bahwa destinasi kencan mereka, mirip dengan konsep sirkus orang aneh (freak show) di kampung halaman Nadja--yang entah di Eropa bagian mana, tapi jelaslah itu terjadi di masa "jahiliyah". Pembandingan ke tempat asal itu, terasa komedik sekaligus puitik. Saya jadi punya pemahaman baru.


Sebagai "urang sunda", saya mengajarkan anak beberapa istilah dari tempat ayahnya berasal, meskipun mungkin pada akhirnya penggunaan kata itu hanya ada di rumah. Begitu pula istri saya yang pernah mengenalkan istilah "terik" untuk sebuah menu makanan yang saya kira "teri" dan ternyata bukan.


Saya pikir, itu wujud penghormatan. Dan menariknya, diungkapkan secara tersirat. 


Saya jadi lebih suka memaknai alasan ibu punya rumah di pinggir sawah, karena dulu orang tuanya juga punya rumah serupa. Ayah saya pernah cerita, bahwa tiap orang tuanya menyekolahkan anak, satu "balong" dijual. Pahamlah saya, kenapa sekarang Bapak mencintai balongnya, di halaman belakang sebuah rumah pinggir sawah. []

Saturday, September 24, 2022

Baca Ulang Lalita

Saya baca lagi novel yang pertama kali dibaca 10 tahun lalu. Judulnya Lalita, buatan Ayu Utami. Kamu pernah baca juga?

Buku ini bisa dibilang lanjutan dari kanon Bilangan Fu (2008). Tokoh utama di Lalita, masih trio Marja Manjali, Parang Jati dan Sandi Yuda--baru-baru ini saya baru paham bahwa nama dua pria ini diambil dari pemanjat tebing legendaris. 


Dalam petualangannya kali ini, mereka terlibat intrik dengan seorang perempuan yang namanya jadi judul novel. Nama itu, diambil dari kisah yang tergambar di relief Candi Borobudur: Lalitavistara. 


Melalui kisah tentang Lalita, Jataka, Ansel Eibenschutz dan bahkan tokoh betulan semacam Sigmund Freud hingga Claude Debusy, Ayu Utami menyampaikan gagasan bahwa spiritualisme nusantara ini kaya dan adiluhung. Salah satu buktinya, Candi Borobudur itu tadi.


Usai khatam melahap 243 halaman Lalita, impresi "wow" saya rasanya melebihi sensasi ketika tamat baca pertama kali. Waktu itu saya lagi tugas di biro Yogyakarta Metro TV. 


Saking merasa pentingnya menggaungkan lagi misteri Borobudur tadi, saya sempat usulkan jadi ide liputan. Pada akhirnya ide itu batal dieksekusi.


Karena, sebagai reporter di program berita harian, satu ide liputan harus terpaut ke suatu peg news. Opsi lainnya, ide itu harus berangkat dari satu masalah--begitu kepala biro saya dulu mengajarkan.


Nah satu dekade kemudian, rasa takjub dari Lalita tadi tersalur ke pendalaman referensi bacaan yang dibagikan Ayu Utami. Di bagian Catatan Akhir, si "eks parasit lajang" menyebut titel Borobudur: Golden Tales of the Buddha (John Miksic, Periplus:2000).


Hari itu, berangkatlah saya ke Perpustakaan Nasional. Ternyata yang ada Borobudur: Majestic Mysterious Magnificent. Nama John Miksic tetap ada di buku itu. 


Saya pun baca di tempat meski maunya sih dibawa pulang, dipinjam. Sayang, ukurannya kegedean.


Pada akhirnya, setelah sekalian iseng cari lokasi semua judul yang ada di laman "want to read" akun Goodreads, saya bawa pulang tiga buku. Dua di antaranya malah insidental saya comot di sebuah rak lantai 22. 


Yang satu judulnya Manjali, satu lagi Maya. Mereka berdua ditulis Ayu Utami, masih bagian dari Seri Bilangan Fu. []

Sunday, September 18, 2022

Jenis-Jenis Penonton "Mencuri Raden Saleh"

Tahun 2005, Joko Anwar merilis film Janji Joni. Dibintangi Nicholas Saputra, tokoh Joni ngajak kenalan seorang cewek. Si Nona, baru mau kasih nama kalau Joni kerja lancar di hari itu: nganterin roll film dari satu bioskop ke bioskop lain tanpa ganggu pemutaran. 


Nah, si pacar Nona yang diperankan Mariana Renata itu, cuma mau nonton pemutaran film yang mulus tanpa cela--plus penayangan perdana. Namanya Otto, diperankan Surya Saputra. 


Malam itu--saat saya dan Windi nonton film Mencuri Raden Saleh--saya merasa jadi Otto yang menurut 10 golongan penonton film versi Joni, masuk kategori terakhir. 


Di film Janji Joni, Otto hampir ga dapet tiket nonton gara-gara pacarnya telat. Kami telat juga. Kalau Otto nitip beliin tiket ke orang di antrian depan, saya dan Windi harus sabar nunggu petugas datang di loket pembelian popcorn.


Pada akhirnya, kami masuk pas adegan lukisan Widayat berjudul Hutan Rimba sedang dilelang. Beda sama Otto, kursi saya dan Windi ada di posisi bagus: paling atas dan kursi khusus buat berdua tanpa sekat--well done CGV.


Sayangnya, kami melewatkan adegan pembuka. Di film dokumenter "Blue Print: Making of Mencuri Raden Saleh", adegan pembuka sedemikian spesial karena kamera dioperasikan sebuah robot berlengan.


Sebagai analog Otto si penonton rewel di film Janji Joni, saya tentu merasa kurang puas. Apalagi, dari atas baris A keliatan penonton jenis "pembajak" dan penonton jenis "ponsel". Golongan pertama motret ke arah layar, kelompok terakhir buka chat sampe silau keliatan di pojokan mata.


Melihat gangguan semacam itu, untungnya saya nggak kepancing buat protes kayak Si Otto. Saya malah ternyata masuk ke golongan penonton "pacaran". 


"Kosan kamu dulu di Jalan Raden Saleh kan?" Saya inget tempat ngapel.

"Iyah," kata Windi.


Atau justru tipe keenam: kritikus film.


"Product placement. Not bad lah ya," saya nyeletuk pas Gofar ngemil cokelat di bengkel.


Soal kritik-mengkritik ini, kami sepakat "Mencuri Raden Saleh" menyenangkan. Setidaknya, saya dan Windi masih bahas film ini sampe sekitar dua hari kemudian. Salah satunya ngomongin apakah adegan mobil turun dari bukit buatan CGI, atau diambil drone camera. []