Saturday, December 26, 2020

Konser Virtual

 

Di masa pandemi ini saya cuma "datang" ke dua konser. Pertama, helatan Here Comes The Sun yang disiarkan lewat kanal goplay alias loket dot com. Saya tulis alias karena memang saya nontonnya lewat saluran yang disebut terakhir--ada gangguan dengan akun goplay saya waktu itu.*


Konser itu kurang berkesan buat saya. Ada sesi dialog di jeda antar penampil, dan obrolannya garing banget. Saya bilang ke istri: mungkin ini yang namanya generation gap. Saya tergolong makhluk milenial angkatan akhir, dan para penampil di konser virtual itu rata-rata (atau bahkan mungkin semuanya) masuk golongan generasi Z. 


Musiknya juga terkesan gitu-gitu aja. Sulit sih buat mendeskripsikan musik versi "nggak gitu-gitu aja" versi saya, karena toh personal banget. Kamu mungkin puas dengan malam di perpotongan Oktober-November itu, dan semoga demikian. Lebih dari urusan impresi pascakonser, saya tetap bahagia merasakan pengalaman hadir di moshpit virtual. Dan jadi bagian dari kesuksesan Loket Dot Com bersama label rekaman Sun Eater. Selamat!


Oke saya ralat kalimat pertama dalam tulisan ini. Saya cuma datang ke satu konser. Pertunjukan kedua saya lewatkan, biasa ada urusan keluarga. Haha. Pertunjukan yang dimaksud: INF IN-GAME CLUB.


Sederhananya, ini konser perayaan kematian fitur Adobe Flash Player. Saya nggak bakal bahas detil soal software itu. Yang jelas, pertunjukan musik ini menarik karena penonton yang bayar tiket, bisa masuk ke ruang virtual di dalam game bernama Habbo Wiki. Di sana, kita bisa punya avatar dan bertingkah seolah-olah ada di arena festival betulan. 


Well, setidaknya begitu yang terlihat dari dokumentasi kegiatan yang dipublikasikan di akun YouTube Indonesian Netaudio Forum. Karena saya batal datang, saya nggak bisa benar-benar menceritakan impresi serunya mengakali pandemi dengan cara yang satu ini. Sebelumnya, ternyata pernah ada konser serupa. Duo Rabu sempat publikasikan dokumentasi penampilan mereka.


Karena Flash Player yang jadi mesin penggerak game tadi ditutup per akhir tahun ini, mungkin helatan semacam ini nggak bakal ada lagi. Setidaknya yang pakai platform SWGBBO. Di tahun mendatang, saya menantikan pengalaman baru menikmati musik, yang tentu saja menyesuaikan dengan ketersediaan vaksin dan/ atau obat covid-19. Selama masa itu pula, sepertinya konser oflline bakal makin nggak relevan bagi saya buat mengapresiasi seni olah suara. []


*Loket dot com diakuisisi GoPlay. Kisah yang saya alami membuktikan bahwa kondisi itu ideal karena ketika satu saluran tersumbat, ada backup yang bisa nutupin. Menurut VP marketing Gojek Entertainment, Ario Adimas, loket dot com sukses menutup 2020 dengan target finansial terpenuhi. Rahasianya, mereka merespon pandemi dengan cepat: fokus ke penyelenggaraan online event. Nah, konser yang saya tonton itulah salah satu produknya.

Wednesday, October 28, 2020

Pembangunanisme

Jurnal Indoprogress menyebut gejala ini “The Rise of Technocracy”, atau kebangkitan teknokrasi. Dalam diskusi itu, Windu Jusuf bilang: “apakah hidup terbaik hanya ditentukan oleh teknokrat?” Teknokrat yang dia maksud: berkuasanya kalangan berpendidikan tinggi pasca peristiwa geger 1965.

Kala itu, para ahli berjuluk “mafia Berkeley” duduk di kursi pengambil kebijakan. Alhasil, perekonomian indonesia menggelinding di atas aspal ekonomi mazhab “pembangunanisme”. 

Gejalanya: dana investasi dari Amerika Serikat masuk ke Papua, bahkan sebelum sebagian pulau itu resmi bergabung ke pangkuan republik. Malapetaka Januari 1974 alias Malari, salah satunya juga dilatarbelakangi investasi asing. Ketika itu dana datang dari Jepang. Dan rupanya, sampai sekarang kita nggak kemana-mana. 

Invasi “pembangunanisme” ke kawasan lindung komodo jadi anasir terkini. Demi investasi dan mimpi meraup keuntungan lewat sektor pariwisata, “naturalisme” dikesampingkan. Padahal, nampaknya selama sekian puluh (atau ratus?) tahun tanpa investasi sejak pulau “eksotis” itu “ditemukan”, kehidupan di sana baik-baik saja. Dalam rencana pembangunan wisata premium ala mazhab “pembangunanisme”, para investorlah yang tidak baik-baik saja. 

Pembangunan ala kapitalisme—sebagai oponen dari sosialisme (ada di sila ke-5 Pancasila)—mungkin memang bagus. Tapi kapitalisme juga melahirkan kolonialisme. Persis ketika VOC masuk nusantara demi mengembalikan modal investor di bursa Belanda. 

Penguasaan VOC lalu beralih ke Belanda. Pemerintah kolonial kemudian dibantu penguasa lokal meraup untung bagi kalangan mereka. Musim semi nasionalisme tiba di akhir perang dunia kedua. Ide “pembangunanisme” pun viral—yang dilegitimasi lembaga pendidikan pengusung gaya ekonomi kapitalisme. 

Orang berpendidikan, rentan terjerumus ke pandangan colonial gaze. Maksudnya, memandang mereka yang tidak berpendidikan setinggi mereka, kurang beradab. Padahal warga lokal punya “local wisdom” tersendiri. Rasanya argumen tadi sulit disangkal ketika para warga suku-anak-dalam di selatan Sumatera diminta berpakaian. Padahal mereka cukup pakai cawat biar gampang lari ketika dikejar beruang. 

Colonial gaze tadi bisa jadi berlaku pula kala taman nasional komodo dibeton. Bisa saja dalihnya agar kawasan itu “lebih berperadaban”, tapi apakah peradaban macam itu yang terbaik buat makhluk hidup di sana? Terakhir, saya kutipkan tweet ini:

Saturday, October 3, 2020

Dilema Sosial

Pagi ini saya papasan sama petugas renovasi rumah tetangga. Turun dari motor, dia lanjut menyesap rokok yang udah nyala sejak kendaraannya belum dimatikan. Kepada istri yang lagi jalan bareng, saya cerita bahwa momen adiksi kuli tadi ngingetin ke film yang baru-baru ini saya tonton: The Social Dilemma. 

Film produksi Netflix ini memaparkan analisa bahwa sosialisasi di media sosial ternyata bikin kita asosial. Kebanyakan narasumber yang muncul selama hampir dua jam durasi: mantan eksekutif perusahaan digital besar. Sesekali, kutipan pernyataan menyelingi paparan mereka. Salah satu yang saya ingat: 

Hanya ada dua industri yang pakai kata “user” ke konsumennya: drugs and social media. 

Dalam dokumenter ini, media sosial memang diposisikan serupa candu—dan tentu saja industri. Untuk mempermudah pemahaman penonton, ada ilustrasi yang memperkuat pemaparan para narasumber. Dalam ilustrasi ini, sebuah keluarga menghadapi keseharian di tengah adiksi media sosial. Orang tua berusaha bikin disiplin, si anak nggak bisa nahan pegang handphone. Pada akhirnya anak remaja ini menggantungkan penerimaan terhadap diri sendiri, berdasarkan respon orang atas citra yang dia tampilkan di media sosial. 

Balik lagi ke renungan saya soal rokok tadi. Tembakau hisap itu bikin kecanduan seseorang, sehingga dia jadi konsumtif (atas produk rokok itu). Ketika konsumtif, kebanyakan orang akan berhenti di sana. Di lain pihak, adiksi media sosial bikin kita jadi konsumen sekaligus produsen. Dalam sudut pandang tertentu, bisa dibilang kita sebenarnya ikut sekalian “bekerja” buat si perusahaan media sosial. Tanpa dibayar. Kalau belum nyampe level influencer yang postingnya dibayar, netizen macam ini bisa dibilang buruh gratisan.

Meskipun kesan distopia terasa dominan, toh kita sama-sama mafhum juga bahwa media sosial punya manfaat yang nggak kalah besar. Rokok aja bermanfaat kok. Setidaknya bagi ahli hisap yang merasa pikirannya lebih “plong”. Kadang sosial media bikin “nyesek”, ketika dia jadi bahan perbandingan antara hidup bahagia orang lain dengan hidup kita. Di sisi sebaliknya, barangkali justru itu jadi sumber motivasi. Dan motivasi itulah yang bikin hidup kita makin hidup. Kamu setuju nggak? []  

Friday, September 25, 2020

Belajar Sejarah Dari "Dari Buku ke Buku"

Mata pelajaran sejarah katanya mau dijadikan mata pelajaran pilihan. Ternyata, mendikbud klarifikasi bahwa itu sumbernya dokumen internal yang isinya “permutasi”—demikian Pak Nadiem menyebut istilah untuk (kurang lebih) “berbagai kemungkinan” penyusunan mata pelajaran. Pada akhirnya, Menteri Nadiem bilang mata pelajaran sejarah bakal tetap ada. 

Di satu sisi, polemik ini menunjukkan bahwa ada masalah komunikasi di Kementerian Pendidikan. Di sisi lain, publik jadi punya perspektif baru soal mata pelajaran sejarah. Tulisan di Tirto ini ditulis seorang mantan guru sejarah SMA Petrik Matanasi. Dia bilang, harusnya mata pelajaran sejarah diajarkan dengan menerapkan tingkat perkembangan siswa. 

Seharusnya di SMA dan SMK pelajaran Sejarah lebih menekankan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, serta ekonomi di dalam dan luar negeri. Semestinya siswa SMA jurusan IPS dan SMK rumpun ekonomi belajar tentang sejarah perekonomian Indonesia dengan, misalnya, menampilkan Hatta sebagai ekonom atau paling tidak menyinggung sejarah kewirausahaan di Indonesia.

Kasus ditutup. Sekarang, saya mau cerita tentang buku sejarah yang baru tamat saya baca. Bulan Agustus lalu, saya pernah ulas singkat sih buku yang judulnya “dari Buku ke Buku” ini. Kali ini, perspektif ulasan saya akan lebih banyak bahas tentang “pentingnya sejarah”.

Polycarpus Swantoro, penulis buku ini, menempuh pendidikan formal bidang sejarah di IKIP Sanatha Dharma Yogyakarta—selain dikenal juga sebagai salah satu dedengkot Kompas Gramedia. Meski buku ini bahas buku-buku bersejarah tentang Nusantara, kisahnya dibungkus dalam judul-judul tematik. 

Pak Swantoro membuka dengan judul Bermula dari Gambar Berwarna. Swantoro kecil terkenang dengan gambar lambang kotapraja Hindia-Belanda tahun 1930-an. Dari sanalah minat studi sejarahnya bermula. 

“’Historia docet’, kata sebuah adagium, ‘sejarah itu mengajar’. Masih ada sebuah adagium lagi yang erat kaitannya dengan sejarah... ‘di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan’.” (Hal. 6) 

Bahasan soal sejarah di buku “dari Buku ke Buku” ternyata ada juga yang terkait dengan tulisan di Tirto yang saya kutip di atas. Pak Swantoro mengutip pendapat Denys Lombard, penulis buku Nusa Jawa. Katanya, “ia tidak mengajarkan sejarah sebagai rentetan peristiwa, tetapi sebagai metode.” Dalam tulisan Tirto tadi, Petrik menulis bahwa justru mata pelajaran sejarah sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari saat ini.

Bagi saya, pelajaran Sejarah seharusnya melatih mereka menggali dan mengklarifikasi informasi. Pelajaran Sejarah sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk melawan hoaks dan disinformasi, karena dalam pembelajaran sejarah sifat kritis seseorang adalah wajib dan sejarawan mesti melakukan kritik sumber ketika meriset dan menulis.

Artikel yang diterbitkan Tirto juga mengkritisi bahwa sejarah yang disajikan di sekolah, terlalu dominan bermuatan politik. Seandainya begitu, mungkin sejarah bakal jadi pelajaran favorit. Setidaknya bagi saya. Sayangnya, kata Pak Swantoro menutup buku yang saya bahas ini: “kata ‘seandainya’ tidak terdapat dalam kamus sejarah kehidupan siapa pun”. []   

Tuesday, September 15, 2020

Teori Hawking Untuk Membunuh Tuhan

Bulan September ini film The Theory of Everything bisa ditonton melalui Netflix. Film ini merupakan biopik seorang astrofisikawan kenamaan dunia: Stephen Hawking. Stephen sendiri masih hidup di usia kepala tujuh saat film ini dirilis, tahun 2014. Ia mangkat empat tahun setelahnya. Bagi saya, film ini membantu mendekatkan sosok humoris ini. Nada pemikirannya sudah terasa cair dalam dua buku yang saya baca: A Brief Answer To The Big Question dan The Grand Design. 

Dalam buku yang saya sebut pertama, Stephen menulis kata pengantar dengan menukil bahwa “Eddie Redmayne memerankan versi tampan dari diri saya”. Tampaknya, Redmayne juga berhasil memerankan versi komikal yang sama dengan Hawking versi asli. 

Film The Theory of Everything berujung di momen ketika Stephen menerbitkan buku fenomenal A Brief History of Time. Buku yang diluncurkan tahun 1988 itu ia tulis bersama sahabatnya: Kip Thorne. Stephen dan Kip pernah bertaruh: langganan majalah pria dewasa Penthouse. 

Stephen kemudian mengidap kelainan otot. Beruntung kemampuan berpikirnya tetap sehat. Dia juga terus mencari sebuah teori “elegan dan sederhana” yang ia yakini bisa menjelaskan alam semesta. Namanya: The Theory of Everything. Teori tentang segala ini disampaikan sejak awal film. Ketika dia pertama jumpa dengan Jane yang lalu jadi istrinya. 

Soal teori yang dia cari itu, sempat dibahas juga dengan seorang pendeta—yang kemudian jadi suami sang istri. 
“Kamu katanya punya teori bagus yang menjelaskan awal mula semesta?” 
“Oh, itu tesis doktoralku.” 
“Jadi kamu nggak percaya lagi adanya penciptaan?” 
“’Percaya’ itu nggak relevan di dalam fisika.” 
Di bagian selanjutnya, Jane menjelaskan lebih detil. 
“Ide besar Stephen yang baru: jagad raya nggak punya batas. Nggak ada batas, nggak ada awal.” 

Jane lebih lanjut menerangkan bahwa ketika mencari “teori segala”, Tuhan harus mati. 
“Dua pilar utama dari fisika: teori kuantum dan teori relativitas. Masalahnya, dua teori itu nggak bisa berlaku di aturan yang sama.” 

Dialog di meja makan itu juga menjelaskan kuotasi Einstein soal “dadu dan Tuhan”. Stephen menanggapi: "tapi Dia ngelempar sampe kita nggak bisa nemu lagi dadu itu". 

Pertanyaan soal Tuhan ternyata jadi penutup film juga. Di momen tanya jawab soal bukunya, Hawking menjawab diplomatis: 
“Jelas-jelas kita ini primata unggul di dalam planet kecil yang mengelilingi matahari berukuran sedang, di dalam galaksi yang jumlahnya ada 100 triliunan lagi. Tapi, sejak awal peradaban, manusia terus berusaha mencari penjelasan soal pengaturan dunia. Dan untuk upaya itu, manusia nggak punya batasan. Di mana ada kehidupan, selalu ada harapan.” []



Saturday, September 12, 2020

Deugalih Bicara Pendidikan

Saya baru tamat baca buku kumpulan esai buatan Galih Nugraha Su. Dia saya kenal sebagai vokalis Deugalih and Folks. Album Anak Sungai jadi soundtrack keseharian saya di tahun 2015. Sebelumnya, di sekitar tahun 2011 saya pernah nonton kolektif ini di panggung pertunjukan Dago Tea House, Bandung. Sebelum saat itu, Galih ternyata sudah aktif menulis. Di antaranya, tahun 2003-2004 sebagai penulis cerpen di Air Zine. Dalam rentang masa aktifnya, Galih juga mengajar. Buah pikirannya soal pendidikan, dibukukan.


Judul buku ini Pendidikan yang Menjajah. Isinya ada 8 esai yang 7 di antaranya punya subjudul. Dalam buku ini, Galih tidak hanya berbagi pemikiran, tapi juga pengalaman. Tulisan pertama dalam rangkaian tulisan setebal seratusan halaman ini, menceritakan kesan Galih ketika mendampingi ”7 anak yang berjuang dengan dirinya untuk melampaui apa yang disebut keterbatasan, bukan untuk dimaklumi."


Pengalaman sebagai pendidik juga memberi muatan dalam kritik atas jalannya pendidikan di Indonesia. Tulisan yang menurut saya paling kaya, berjudul “Apakah Lagu Anak Masih Diperlukan?”. Titel ini pertama kali dimuat di situs Jurnal Ruang. Di dalamnya, Galih mempertanyakan argumen bahwa anak-anak harus punya “lagu anak”. Paparan ini kaya data. Untuk menjawab pertanyaan di judul tadi, penulis menyandingkan peran macapat dan lagu yang dibawa bangsa Portugis ke Nusantara pada abad ke-15. Suntikan pengalaman yang ia sodorkan sebagai solusi, juga tak luput dituliskan. Galih mengakui bahwa “tulisan ini bertujuan mengembalikan peran rumah dan sekolah menjadi tempat anak berkarya, bereksperimen dan bertualang."


Representasi judul Pendidikan yang Menjajah, juga Galih tampilkan melalui potret kehidupan seorang anak jalanan yang diurus PSK di Bandung tahun 2001. Selain itu, dorongan tentang “pendidikan yang tidak datang melalui mulut yang menasihati mereka dalam bentuk pemerintah, guru, dan orang tua” turut diperlihatkan lewat kondisi pendidikan di wilayah adat. Bahasan yang satu ini dilengkapi argumentasi Cak Nun dan Paulo Freire yang ditulis Galih sebagai: satu pemikiran.


Sayangnya, keputusan Galih untuk menerbitkan buku ini tanpa melalui editor, berdampak ke kualitas tata susun kata. Saya tidak terbiasa membaca paragraf yang diawali angka—seperti tampak di tulisan “Yang Melihat Dunia Dari Teras Rumah”. Di bagian kata pengantar, penulis memang mengakui bahwa absennya editor memang sebuah upaya untuk “tidak bergantung pada industri yang banyak pakem”. Padahal, jika Galih punya semacam sparring partner dalam menyusun buku ini, barangkali judul Homeschooling di Tengah Pandemi akan terasa lebih kaya. Tapi toh itu pilihan penulis sendiri. The medium is the message. Saya masih bisa menangkap pesan yang ingin dia sampaikan. []

Wednesday, August 26, 2020

Jika Illuminati Ada

Wartawan Tirto.id dan The Jakarta Post baru-baru ini berduet menguak skandal pelecehan seksual di dalam institusi keagamaan. Bertahun-tahun sebelum ini, wartawan The Washington Post mendapat hadiah Pulitzer di Amerika Serikat karena mengungkap kasus serupa. Kisah mereka lalu difilmkan dalam judul Spotlight.

 

Film lain yang juga berlatar lembaga kekristenan, ada di film Angels and Demons. Ceritanya tentang pembalasan dendam oleh organisasi rahasia bernama Illuminati.

 

Syahdan, para ilmuwan disebut sebagai illuminatus atau “mereka yang tercerahkan” setelah sejumlah temuan ilmiah, ternyata bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo menyatakan bahwa bumilah yang sebenarnya mengelilingi matahari, bukan sebaliknya seperti yang termaktub dalam kitab suci. Atas publikasi itu, Galileo dihukum mati.

 

Nasib serupa juga menimpa empat orang illuminatus lain yang meninggal dalam sebuah tragedi bernama La Purga. Para illuminatus lalu berkumpul dalam organisasi bernama Illuminati. Mereka menjadi organisasi rahasia untuk menghindari penghukuman gereja. Ratusan tahun kemudian, orang-orang yang memilih percaya sains dan menafikan agama itu, membalas dendam.

 

Empat orang kardinal diculik dan diancam pembunuhan. Di dada mereka masing-masing dilesakkan penanda ambigram: earth, fire, air, water. Illuminati malah bertindak lebih katastropik. Mereka mencuri antimateri dari pusat penelitian CERN untuk kemudian membuat ledakan setara sekian kali lipat ton bom atom di Vatikan. Berhasilkah pembalasan dendam ini?

 

Film Angels & Demons diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Dan Brown. Serial buku penulis asal Inggris itu bertokoh utama Robert Langdon, ahli simbologi. Dalam The Da Vinci Code dan Inferno yang juga difilman, Langdon diperankan oleh Tom Hanks.

 

Langdon berperan penting dalam teka-teki pencarian lokasi pembunuhan para kardinal, sebelum Hassassin alias pembunuh bayaran tiba di lokasi itu. Ia mengandalkan kode yang ditulis Galileo dalam buku di perpustakaan Vatikan. Galileo sendiri—diinformasikan melalui sebuah dialog—sebenarnya seorang pengamal agama yang taat, selain—sekali lagi—anggota Illuminati.

 

Karena menjadi organisasi rahasia sejak represi dari otoritas keagamaan, Illuminati jadi menarik didalami. “Kerahasiaannya” tadi ternyata terus jadi komoditas. Misalnya jadi inspirasi lagu ini. Kalau pun memang masih ada dan keanggotaannya melekat ketika seseorang lebih mempercayai pembuktian sains dibanding agama, maka jumlahnya barangkali tidak sedikit.

 

Apa pun itu, gambaran serupa di film Angels and Demons tak boleh terjadi. Kepercayaan terhadap sesuatu jangan sampai menjadi pembenaran atas teror dan pembunuhan. []

Tuesday, August 25, 2020

Mengenang Film Bong

Agustus tahun lalu, Parasite tayang. Waktu itu saya masih tugas di Bandung. Di sana, ada komunitas Layar Kita yang rutin putar film-film “aneh”. Ketika Parasite diputar di bioskop, Memories of Murders dipertontonkan di Museum Konferensi Asia-Afrika—tempat para pegiat Layar Kita biasa nonton bareng.

 

Saya melewatkan Memories of Murders, soalnya belum paham bahwa sutradara Bong Joon-ho, film-filmnya sepenting itu. Singkat kisah, hari itu saya hanya nonton Parasite dan sangat terkesan. Barulah setelah itu nyesel nggak datang ke acara Layar Kita.

 

Sebenarnya ketika Snowpiercer tayang, saya sempat nonton. Sayangnya saya belum sedetil saat ini soal kru di balik sebuah film bagus. Barulah setelah nonton Parasite tadi saya sadar bahwa dua film ini lahir dari sineas yang sama. Perkenalan saya dengan film lain Bong Joon-ho berlanjut.

 

Ada dua film Bong yang bisa kita tonton di Netflix. Pertama, Okja. Film ini secara telanjang memperlihatkan kritik terhadap kapitalisme yang mengeksploitasi hewan. Bong nampaknya seorang penganut teori pertentangan kelas. Lihat saja Snowpiercer yang menceritakan tentang sebuah kereta di akhir zaman yang mengelilingi dunia tanpa henti. Di dalamnya ada manusia yang menjalani hidup berdasarkan urutan gerbong tempat mereka tinggal. Konflik hadir ketika seorang penghuni gerbong buncit menerobos ke depan. Momen ini bisa ditafsirkan sebagai “upaya membuat masyarakat tanpa kelas”.

 

Lantas pertentangan serupa hadir pula dalam Parasite. Bahwa “peradaban manusia berlangsung melalui pertentangan antara kelas proletar dan kaum borjuis”, ada di dalam judul ini. Meski begitu, tafsirnya sebenarnya nggak tunggal. Tiap orang bisa punya pemahaman masing-masing atas kisah dalam Parasite. Yang jelas, ada meme kutipan wawancara Bong Joon-ho dengan kalimat:

 

“Essentially, we all live in the same country... called Capitalism.”

 

Film Bong kedua yang ada di Netflix: The Host. Film ini ternyata berkisah lebih dari fantasi kehadiran monster di sungai Han kota Seoul. Tulisan ini membedah simbol-simbol dalam film The Host sehingga penulisnya, Anthony Kao berkesimpulan bahwa siapa pun yang peduli dengan Korea musti nonton The Host.

 

Kao menulis bahwa pertama, penonton bisa merasakan sentimen anti Amerika Serikat. Ada penggambaran ilmuwan perusak lingkungan yang membuat monster terbentuk. Penggunaan gas Agent Orange juga membuat kita mengingat bahwa AS punya dosa terhadap warga Vietnam ketika mereka menyerang negara bergaya pemerintahan “komunisme” itu dengan gas yang sama. Alasan kedua dan ketiga, soal kondisi ekonomi dan makna Han sebagai nama sungai tempat tinggal si monster. []

Monday, August 24, 2020

Allied-Casablanca

Buku Catatan Turis Siluman buatan Agus Dermawan T. memang kaya referensi. Bukan hanya bahas pengalaman penulis menjelajahi banyak lokasi, dia juga memuat informasi lain yang terkait dengan itu. Salah satunya, film yang baru saya tonton ini. Judulnya Allied (2016). Buku yang saya singgung tadi menuliskannya sebagai remake film legendaris berlatar di Maroko berjudul Casablanca.

Allied dibintangi Brad Pitt dan Marion Cotillard yang masing-masing berperan sebagai Max dan Marianne Vattan. Mereka pasangan suami-istri, setelah sebelumnya bertugas di lokasi yang sama: Casablanca. Kisah tentang bagaimana keduanya berpasangan dalam satu keluarga, kira-kira mengambil jatah separuh dari durasi total. Selebihnya, mengungkap bagaimana dilema pasangan agen rahasia di suasana perang dunia kedua.


Di paruh pertama dekade 1940-an, Nazi masih berkuasa. Maroko termasuk salah satu wilayah yang dikuasai Jerman dan sekutunya. Seorang duta besar bertanda lengan lambang swastika ala Nazi dan foto Hitler di ruang kantornya, berkuasa. Dialah sasaran serang kedua pasangan ini. Dan adegan penyerangan si duta besar, jadi satu-satunya momen peperangan khas film Mr & Mrs Smith (2005). Setelahnya, drama lebih kental terasa.


Allied memang menekankan tentang dilema yang dihadapi ketika seseorang harus membunuh pasangannya, jika terbukti si pendamping hidup itu memang penyusup. Serangkaian tes lalu dijalankan. Namanya Blue Dye Operation. Jika hasilnya positif dan ia enggan membunuh pasangannya, mereka berdua akan mati bersama: dibunuh. Dramatisasi plot dilengkapi dengan kehadiran anak pasanan Vattan. Namanya Anna. Penonton juga akan diajak menebak-nebak, kira-kira bagaimana jalan tengah terbaik? 


Saya selalu suka akting Brad Pitt, termasuk dalam film ini. Terlebih, saat dia juga harus berakting jadi seorang pekerja pertambangan di depan si duta besar. Bagian itu termasuk menegangkan. Dia diminta mengocok kartu remi untuk menentukan keputusan apakah layak mereka hadir di acara si duta besar. Bengis dan paranoidnya orang-orang Nazi juga terlihat ketika tokoh Max Vattan diminta menulis rumus kimia untuk fosfor. 


Ada satu dialog yang saya tandai di film ini, karena diulang dalam dua adegan. 


“a husband will offer his cigarette to his wife"

 

Kata Marianne ketika mereka baru bertemu di penugasan yang sama. Kalimat yang sama diucapkan di momen klimaks yang menandai pengungkapan bahwa salah satu di antara mereka harus mati. Kala itu, perempuan memang lazim merokok. Setidaknya demikian yang ditampilkan foto-foto dalam artikel terbitan majalah Life berikut ini. Judul terbitannya “Casablanca and 'Allied': A Real Wartime Couple in Casablanca, 1943".

Sunday, August 23, 2020

Patung Buddha yang Belum Tuntas

Buku Dari Buku ke Buku sepertinya akan lebih cocok dibaca akademisi di bidang sejarah. Seperti yang saya ulas di posting sebelumnya, gaya penulisan Pak Swantoro melompat-lompat. Apalagi detil sitasi dari sumber asli dipaparkan melimpah dan mentah. Misalnya, teks berbahasa belanda ditulis seadanya. Begitu pula dengan informasi berbahasa inggris. 

“Sebenarnya enggan saya menerjemahkannya, khawatir kalau menjadi padam ‘apinya’. Namun demi pembaca muda yang masih bergulat dengan bahasa inggris, mohon dimaklumi keberanian saya menerjemahkannya.” (Hal. 164)

Meski begitu, fakta dan data yang dipaparkan di dalamnya tetap bisa dipahami, dan menguntungkan. Bayangkan, buku ini kasih kita kesempatan lihat bagian dalam sebuah buku yang dibeli bersama The History of Java seharga 800 dolar AS di Amerika Serikat. Buku yang dimaksud: Antiquarian, Architectural and Landscape Illustrations of the History of Java. Di dalam buku ilustrasi ini, ada visualisasi seorang ningrat bertelanjang dada, keris tersampir di pinggangnya. Ada pula gambar tampak samping ningrat lain, yang dipajang pula di bagian cover buku berisi esai tentang buku koleksi P. Swantoro ini. 


Ada pula salah satu tulisan dalam buku ini, yang membandingkan beberapa buku untuk menjawab misteri keberadaan arca yang belum diukir sempurna di puncak Candi Borobudur. Meskipun foto arca yang dimaksud diperlihatkan, Pak Swantoro mendeskripsikannya melalui kutipan pernyataan Profesor Soekmono, kepala pemugaran Candi Borobudur:


“Dalam literatur mengenai Candi Borobudur, arca itu memang disebut ‘the unfinished buddha’, arca buddha yang belum rampung. ‘Mukanya jelek dan tubuhnya cacad. Keriting rambutnya belum dipahat…” (Hal. 115)


Buku buatan Bernet Kempers berjudul Ageless Borobudur, memaparkan bahwa ada dua pendapat tentang eksistensi The Unfinished Buddha: apakah dia memang bagian dari stupa induk, atau sebaliknya? Pada akhir tulisan, Pak Swantoro menarik kesimpulan berdasarkan tafsir Serat Centhini. Prof Soekmono memaknai bahwa: arca cacad yang bertakhta dalam stupa induk Candi Borobudur adalah pelengkap yang mutlak harus ada untuk menggambarkan kesempurnaan manifestasi Sang Buddha secara keseluruhan. []

Saturday, August 22, 2020

Manusia Lawan Hewan

Manusia lawan hewan. Dalam film, mana yang menang? Biasanya, yang pertama. Setidaknya, begitu pula ketika seorang perenang melawan kawanan buaya dalam film Crawl. Percayalah, mengetahui ending film survival semacam ini tidak akan mengurangi ketegangan menyaksikan menit demi menit judul yang saya bahas ini.

Crawl berkisah tentang Haley. Dia nekad menembus jalur terlarang yang berpotensi dilanda badai. Prediksi pun terjadi. Haley terjebak bersama ayahnya di rumah yang semula akan dijual. Lewat dialog di bagian awal film, penonton akan mafhum bahwa ada yang tidak beres dalam relasi ayah dan anak ini.


Kisah bergulir. Badai memburuk. Hujan lebat dan angin kencang merusak kawasan di sekitar rumah, termasuk peternakan aligator. Hewan melata inilah sumber ancaman Haley dan ayahnya. Saya memang bilang manusia menang, tapi nggak bilang manusia yang mana kan?


Crawl disutradarai Alexandre Aja. Dalam salah satu daftar filmografinya, ada judul Piranha yang diproduksi 2010. Nampaknya urusan hewan melawan manusia berlatar alam yang ganas, jadi perhatian khusus sutradara asal Inggris ini. Dalam hal menyisipkan kisah humanis di antara pertarungan itu, rasanya Crawl nggak terasa mulus. Saya teganggu dengan dialog melankolis bahwa ayah Haley ragu menjual rumah mereka. Terutama ketika Haley bilang “this is not home, we are home”—merujuk ke dirinya dan sang adik. Saya sulit membayangkan kalimat melankolis tadi cocok diucapkan dalam situasi genting semacam itu.


Film tentang manusia melawan binatang, yang paling fenomenal barangkali Jurassic Park. Bagi saya, ada dua judul lain: The Shallow dan Grey. Yang pertama, tentang seorang peselancar lawan ikan hiu. Deep Blue Sea dan Jaws boleh dibilang perintis phobia orang awam terhadap hiu. Dan The Shallow ini, menambah satu poin kontribusi. Meskipun kontra narasi soal itu juga banyak dikampanyekan: di dunia nyata, jauh lebih sedikit hiu membunuh manusia dibandingkan sebaliknya.


Sementara, film Grey bercerita tentang duel seorang penyintas kecelakaan pesawat dan sekawanan serigala. Di sini, para canis tadi “akting” nggak kalah meyakinkan. Entah gimana tekniknya. Si tokoh utama yang dimainkan Liam Neeson seakan bertaktik dengan makhluk berintelejensi. Dibanding Crawl dan The Shallow, Grey lebih interpretatif. Penonton akan punya penafsiran sendiri atas pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya bertahta sebagai pemuncak piramida ekologi. []

Thursday, August 13, 2020

Selera Itu Kuasa

Dalam ulasan bab pertama, saya menulis bahwa buku Jurnalisme Musik yang ditulis Idhar Resmadi mengurai sejarah perkembangan media musik. Salah satunya Aktuil. Majalah ini dibahas lagi dalam halaman-halaman yang bisa dibilang inti buku Jurnalisme Musik.

 Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya, diakui penulis merupakan penghormatan bagi buku “Musik dan Selingkar Wilayahnya”. Buku itu terbit tahun 1955 dan ditulis Amir Pasaribu. Peran Amir Pasaribu dalam perkembangan jurnalisme musik di Indonesia, dinilai penting.

 

Sebagai komponis, Amir tak hanya memiliki wawasan teknis, tapi juga paham aspek sosiologis musik yang ia kritisi. Idhar juga menulis bahwa Amir seorang ahli musik yang lugas dan jujur. Misalnya, ia menulis:

 

“dalam tulisannya berjudul ‘Seperempat Abad Lagu Indonesia Raya”, dia berani mengkritik lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman sebagai plagiat dari lagu “Lekka Lekka” atau “Pinda Pinda” yang dikenal orang Belanda pada zaman sebelum Perang Dunia I.” (Hal. 146)

 

Peran Amir Pasaribu yang tulisan-tulisannya cukup berpengaruh hingga memantik reaksi masyarakat, sebangun dengan kontribusi yang disuguhkan Remy Sylado atau Yapi Tambayong kala ia mengampu majalah Aktuil. Aktuil muncul dalam era yang disebut-sebut sebagai puncak gairah jurnalisme musik di tanah air.

 

Idhar menyoroti kiprah Aktuil dalam memantik selisih antara musik rock dan dangdut. Dalam masa operasinya, Aktuil membagi sensasi musik ke dalam dikotomi “gedongan” dan “kampungan”. Yang pertama dicitrakan bagi musik rock, sementara lainnya dilekatkan dengan citra musik orkes melayu—yang kemudian dicibir dengan sebutan: dangdut.

 

Pola pembentukan opini yang dilakukan Aktuil, ternyata berlanjut hingga masa hidup Rolling Stone Indonesia—dan media lain sejenisnya. Idhar mencatat, kritikus musik membutuhkan musik yang “buruk” untuk menegaskan selera mereka kepada pembaca. Dalam kasus majalah yang tutup di tahun 2016 itu, musik “buruk” yang dimaksud adalah musik pop-melayu.

 

Lantas, benarkah orkes melayu dan pop-melayu yang populer itu boleh dibilang musik “buruk” bagi bangsa rumpun melayu semacam kita? Idhar menawarkan beberapa perspektif.

 

Jurnalisme musik didefinisikan jurnalis musik Lester Bangs sebagai upaya “menularkan selera musik kepada orang lain”. Sementara, menurut Bourdieu berpendapat bahwa selera bisa dimaknai sebagai suatu kuasa simbolis. Maka, bisa dibilang bahwa peran jurnalis musik sebagai pencipta selera, berkaitan dengan upaya mereka merebut kuasa dalam sebuah medan sosial. Dalam contoh kasus majalah Rolling Stone Indonesia, medan sosial yang dimaksud adalah peran para awak medianya yang juga manajer band rock,  musisi band metal, kolektor rekaman, penonton festival dan konser luar negeri, hingga aktivis beragam komunitas musik indie.

 

Rasanya Idhar cukup berhasil menjadikan buku akademis ini terasa semacam buku populer. Contoh kasus semacam tuntutan Kings of Leon atas MTV, membuat pembaca lebih merasa dekat dengan bahasan soal kritik musik. Begitu pula dengan kisah Yapi Tambayong yang terkesan galak dengan kritiknya kepada Sang Mengapa—sebutannya bagi musik pop “cengeng” di masa orde baru yang sering memakai kata “mengapa” dalam liriknya. Kala itu, sang pemilik nama pena Remy Sylado dikenal lugas melontarkan kritik hingga pemerintah melarang musik “cengeng” disiarkan di TV. Dalam masa lain, disampaikan pula bahwa Yapi menulis buku unik dan bertaburan sanjungan untuk SBY berjudul “Pak Presiden Menyanyi: Esai tentang Karya Musik dan Puisi SBY”. []

Tuesday, August 11, 2020

Buku tentang Buku

Saya sedang baca buku tentang buku. Ini kumpulan tulisan nonfiksi. Bisa dibilang, esai berdasarkan judul buku dan topik tertentu. Penulisnya: P. Swantoro. 

Polycarpus adalah P dalam nama depan Pak Swantoro. Ini perlu disampaikan agar Kamu nggak nyangka bahwa ketika saya sebut nama Pak Swantoro, P di nama depan beliau malah disangka “Pak”. Sebetulnya kalau mau lebih tepat kita bisa sebut beliau dengan panggilan Kek. Almarhum Kek Swantoro, wafat setahun lalu dalam usia 87 tahun.

 

Buku “Dari Buku ke Buku”, jadi warisan salah seorang pendiri Kompas Gramedia ini. Ada 32 judul yang dibundel ke dalam 472 halaman. Salah satu yang barangkali menggambarkan keseluruhan gaya tutur buku ini, bisa ditilik dalam sebuah judul: “Dari Majalah Basis ke Balai Poestaka”.

 

Pembahasan Balai Poestaka, sebetulnya bermula dari “pancingan” di tulisan sebelum judul-yang-juga-mengulas-Majalah-Basis-itu. Kalimat pertama bab kelima ini berbunyi: 

“Di atas sudah saya sebut nama G.Vriens yang menulis laporan tentang meletusnya Gunung Merapi akhir 1930. Nama itu membawa kenangan tersendiri bagi saya.” (hal. 43)

Pada dekade tahun 1930an dunia memang menghadapi resesi ekonomi, justru setelah redanya dampak suram perang dunia pertama. Di pulau Jawa, kondisinya diperparah dengan bencana gunung meletus. Laporan jurnalistik tentang katastropi itulah yang membuat Pak Swantoro tertarik jadi wartawan di Majalah Basis tahun 1957.

 

Lantas, Pak Swantoro “melantur”—demikian dia menyebut dirinya sendiri ketika membelokkan topik bahasan. Pak Swantoro menceritakan Balai Poestaka sebagai salah satu lembaga penerbitan yang berperan mengabarkan pagebluk 1930-an.

 

Fakta unik: Balai Poestaka dibentuk tanggal 15 Agustus 1908. Dan kita sama-sama paham bahwa 37 tahun lebih dua hari kemudian, Indonesia merdeka. Padahal, Balai Poestaka ternyata juga dikenal rajin membendung arus penerbitan buku dan artikel karya para aktivis anti-kapitalis dan anti-kolonialis.

 

Dalam lembar-lembar selanjutnya, saya kemudian membaca kisah tentang Pangeran Diponegoro dan buku Java de Oorlog atau Perang Jawa. Ini masih halaman 80-an. Masih ada 400-an halaman lain yang akan mengenalkan saya ke buku-buku lain yang berkaitan dengan Nusantara dan Indonesia. Dengan membacanya, sejauh ini sih saya suka. []

Monday, August 10, 2020

How I Love “Slaughter Beach, Dog”? And why?

Have you ever met someone that you dislike at an initial moments? Yet, you still have to interact with him or her due to any particular circumstances. Unpredictably, you and your colleague are match to each other. Sometimes, that scenario occurs not only in an interpersonal relationship.

Here’s my experience. I got a recommendation from one Twitter account about the best music albums of 2019. One of them was Slaughter Beach, Dog. Personally, I am not very fond of folk music. I still have enough energy to enjoy Rammstein with their latest album which was released on the same year. Recently, I also love the burst of distortion from Four Year Strong’s last album: Brain Pain—“Learn to Love the Lie” is my favorite one. Even so, I don’t know why, I cannot help myself for not to clicking that heart icon of Spotify on the album from Slaughter Beach, Dog: Safe and Also No Fear.

 

Times goes by, and little by little I managed to enjoy those 10 songs. Slaughter Beach, Dog offers an acoustic ambience with the accurate power of drum stroke so much so that it make the songs felt enjoyable. My favorite song is: Black Oak.

 

This is the fourth song on the album. I bet that Black Oak was not the main single from this album. The length maybe too long for some people, but I like it. Imagine that you have to climb steeply on the hill towards the top. Slowly. Instantly after reached the peak, you ought to move downward monotonously. All of those ups and downs analogy of the song happens in 6 minutes and 42 seconds. 

“A looping coda evokes the spaced-out lapse of highway hypnosis, as if the band were cruising those darkened roads themselves.” (Abby Jones, on Pitchfork.com)

After fell in love with the song, album and this band, I searched one or two information about them. From the same article written by Abby Jones, I found out that Slaughter Beach, Dog was a one man show that formed by Jake Ewald. He was the co-front man of Philadelphia based emo/ punk band named Modern Baseball—whom disbanded in 2017.

 

Safe and Also No Fear was his third album. And on this folk-rock album, Ewald includes Modern Baseball’s bassist Ian Farmer. Slaughter Beach, Dog released their latest single on June 5, 2020. The song was entitled: Fair Shot.

 

How to explain my instant likeness to this album? On the same timeline, I read the book of Jurnalisme Musik that was written by Idhar Resmadi. On the section of “How Taste Was Formed?” he cited the analysis from Martin Suryajaya’s book of Sejarah Estetika (2016). Martin wrote that British philosopher David Hume, argued: taste was formed by two steps: perception and affection.

 

Furthermore, Idhar expand his writing by stated that Hume’s opinion is coherent with Immanuel Kant’s argument of taste. Idhar concluded that it would be hard to insist someone about the beauty of one song without let them listen by themselves. []

 

 

Sunday, August 9, 2020

Jurnalisme Musik

Sepuluh tahun lalu, profesi ini jadi cita-cita saya: jurnalis musik. Ketika itu, Rolling Stone Indonesia masih ada.  Trax Magazine dan Hai yang legendaris itu juga tetap dicetak. Tiga majalah itu, menurut Idhar Resmadi dalam bukunya Jurnalisme Musik, “memberikan pengaruh sangat penting bagi perkembangan jurnalisme musik di Indonesia setelah reformasi.” Saya berikhtiar untuk bisa menulis di setidaknya satu nama besar itu. Pada akhirnya memang gagal. Saya bikin media sendiri: blog ini.

Keikutsertaan saya menulis musik di blog, bisa dibilang dampak dari berkembangnya media musik di internet, pasca popularitas majalah cetak yang mulai meredup. Dalam buku itu juga, Idhar justru memuji kemunculan blog, webzine, radio streaming dan video sebagai momen “mengembalikan keautentikan penulisan musik oleh orang-orang yang memang antusias dan memiliki renjana (passion) terhadap musik.” Dia menambahkan, penulis musik di webzine biasanya “non-jurnalis”.

 

Kilasan sejarah media musik mengisi bab pertama buku Jurnalisme Musik yang terbit pertama kali tahun 2018. Idhar merunut sejarah perkembangan media musik yang muncul sejak tahun 1940. Ketika itu pemberitaan atau kritik terhadap musik ada dalam majalah Suara NIROM. Nama singkatan itu diambil dari sebutan bagi radio yang populer kala itu: Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschapij.

 

Geliat perkembangan jurnalisme musik memuncak di tahun 1970-an. Ketika itu, Aktuil digdaya. Nama majalah itu sendiri terpengaruh dari majalah asal Belanda, Actueel. Ada beberapa hal fenomenal yang dicatatkan majalah bentukan Denny Sabri—mantan wartawan majalah musik Diskorina yang muncul tahun 1957. Idhar mencatat, pasca Aktuil tutup tahun 1975, “sudah tak ada lagi tulisan-tulisan musik yang kritis terhadap industri atau melakukan propaganda budaya layaknya Aktuil”.

 

Aktuil fenomenal karena pertama, mereka “mampu memberikan opini yang lugas tanpa tedeng aling-aling”.

“Majalah ini pernah merendahkan lagu-lagu Koes Plus meski band itu sangat digemari dan laku di pasaran (Mulyadi, 2009). Aktuil bahkan tak segan menyebut musik pop cengeng atau lagu-lagu easy listening dengan sebutan ‘kue pancongan’, ‘kacang goreng’ atau ‘kuacian’.” (Hal. 13)

Kedua, Aktuil menyulut pertempuran antara penggemar musik rock dan musik dangdut. Nama “dangdut” sendiri awalnya disematkan redaktur Aktuil, Billy Silabumi “untuk menyebut (atau ‘mengejek’) musik melayu yang dianggapnya kacangan”. Dan fakta itu diamini Rhoma Irama. Dalam video wawancara Si Raja Dangdut ketika menghadiri Archipelago Festival tahun 2019, ia paparkan bahwa musik sejenis yang dimainkannya, bernama musik “melayu” atau “orkes melayu”.

 

Ketiga, Aktuil membuat populer kata “belantika”. Kata ini disadur dari Bahasa Sunda “balantik” yang berarti usaha atau dagang. Aktuil memang berkantor di Kota Bandung hingga akhirnya tutup redaksi setelah boncos akibat menggelar konser Deep Purple.

 

Sekarang saya lanjut membaca Bab 02 buku setebal 200-an halaman ini. Setelah sejarah, Idhar mengajak pembaca berkenalan dengan beberapa nama jurnalis musik. Ada pula tabel perbedaan antara “jurnalis umum” dan “jurnalis musik” yang diukur dari berbagai segi. Dalam sesi ini Idhar menjabarkan jurnalisme musik sebagai Perpanjangan Tangan Industri. []

Sunday, August 2, 2020

Rancang Agung

Dua orang fisikawan ini ternyata nggak semembosankan yang dicitrakan. Mereka cukup humoris kok. Saya baru tamat baca buku The Grand Design atau Rancang Agung. Judul ini ditulis dua orang: Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow.

 

Hawking dikenal sebagai astrofisikawan yang meskipun mengalami kelumpuhan namun tetap produktif menyampaikan buah pikirannya. Stephen Hawking sohor dengan bukunya yang berjudul A Brief History of Time. Sementara Mlodinow, ahli fisika dari Caltech. Pernah nonton serial Star Trek: The Next Generation? Nah, Leonard Mlodinow inilah penulis kisahnya.

 

Buku Rancang Agung menjabarkan jawaban atas tiga pertanyaan utama yang tertulis di sampulnya:

-       Kapan dan bagaimana alam semesta bermula?

-       Mengapa kita ada di dunia ini?

-       Bagaimana campur tangan Tuhan dalam rancangan agung alam semesta?

Saya akan bocorkan jawabannya satu per satu.

 

Alam semesta kita bermula dari sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama big bang alias ledakan besar. Melalui buku ini, saya paham lebih detil bahwa big bang yang dimaksud bukan terbayang lambat, melainkan sangat cepat.

 

“Kecuali kalau Anda tinggal di Zimbabwe, di mana inflasi mata uang baru-baru ini melebihi 200.000.000 persen, istilah itu mungkin tak terkesan sangat eksplosif. Tapi menurut perkiraan konservatif pun, selama inflasi kosmologis, alam semesta mengembang 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000 kali lipat dalam 0,000000000000001 detik. Ibarat koin dengan garis tengah 1 sentimeter mendadak membesar jadi selebar sepuluh juta kali lebar galaksi Bima Sakti.” (Hal. 139)

 

Kalimat soal Zimbabwe di atas itulah yang saya maksud humoris. Ada beberapa perumpamaan yang memang nggak sampe bikin ngakak sih, tapi cukup lah melonggarkan kerutan dahi ketika baca buku ini. Mau contoh lain?

 

“Malah, jika eksentrisitas orbit Bumi mendekati satu, samudra kita bakal mendidih ketika mencapai titik terdekat ke Matahari, dan membeku ketika mencapai titik terjauh, sehingga libur musim dingin maupun musim panas sama merananya.” (Hal. 159)

 

Kutipan di atas sekaligus menjawab pertanyaan kedua. Bahwa alasan eksistensi kita di alam semesta, karena kebetulan. Posisi planet tempat kita hidup, berada tepat di area yang memungkinkan munculnya kehidupan—namanya Zona Goldilocks. Apakah itu karena Tuhan mengatur demikian?

 

Duet penulis Hawking-Mlodinow menjawab tidak. Sebuah percobaan disitir sebagai sebuah analogi bahwa “set hukum yang sederhana pun bisa menghasilkan ciri-ciri rumit yang menyerupai kehidupan cerdas.”

 

“Contoh yang bisa membantu kita memikirkan perkara realitas dan penciptaan adalah Game of Life, yang dibuat pada 1970 oleh seorang ahli matematika muda di Cambridge bernama John Conway.” (Hal. 183)

 

Buku ini disusun dalam delapan bab. Dalam bab pamungkas berjudul Rancang Agung, penulis menyimpulkan dengan sesekali mengingatkan pembaca bahwa beberapa bahasan sudah disampaikan di bab sebelumnya. Di bagian ini pula, mereka menutup dengan paparan tentang Teori-M.

 

“Berdasarkan alasan-alasan itu, teori-M adalah satu-satunya kandidat teori alam semesta yang lengkap. Jika teori-M terhingga—dan ini belum dibuktikan—maka teori tersebut akan menjadi model alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri.” (Hal. 193) []

Tuesday, July 28, 2020

Data

I deleted my data. Wittingly. It was including several thousands of mp3, a number of movies and at least four folders of my overseas visits photos and videos. It began when I decided to format an SD card that contained a video from 2016. As I entered it, I didn't realize that the drive wasn't detected by my laptop. I thought the drive F was the card that I want to format. Without hesitation, I pushed the button and got shocked to have known that I formatted the wrong drive. My heart instantly beat faster.

In 2016 I did the same mistake. It was the time when I am paving my dream to pursue a master degree--which haven't been accomplished yet up until today. I recorded the video of myself studying IELTS. I also portrayed of how I join the test. The moment of regret came right after I received the result. I didn't pass the minimum score of IELTS to apply for a scholarship. Not to mention the criteria to get the Letter of Acceptance (LoA) from the university.

Up until now, sometimes I think about it. The moments of failure (that I deleted) actually could get me up through the fight, I guess. Unfortunately, no matter how hard I tried to recover, they have gone. One thing for sure, I ought to get over it.

It was awkward to know that data could be that quite important for me--maybe for you as well. I remember to the analysis as told by Yuval Noah Harari. In his second book entitled Homo Deus, this Israeli historian wrote that we are now applying what he called as the religion of data.

Yuval defined religion simply as an ideology. The religion of data could be determined by how its follower(s) apply the freedom of data. It has to be flow uninterruptedly. Who was the adherents of data religion? They could be us. Whomever apply the principle of data freedom, they are the follower of such belief. No matter they accept the label or not. []

Saturday, July 25, 2020

Vicinity of Obscenity

Sometimes, we inherit characteristics of our parents unconsciously. Unfortunately, there are a number of attitude that we want to abolish. On my case, it was the taboo of talking the vicinity of obscenity.

 

One day, when I was learning to play guitar, I played a song from Jamrud. I didn’t remember which song it was, but one thing for sure that Jamrud was well known for their sense of funny-obscene lyrics. I sang the song in front of my dad. Eventually, he forbade me to sing that song. No explanation.

 

On another occasion, my wife told me that our daughter sang to Jingle Bell song—which wasn’t our kind of religious song. At that time, perhaps she meant jokingly that we should prohibited our daughter to sing it. Sadly, I took it seriously so much so that I responded to her with saying: “don’t disallow her, don’t give her (too specific) religious value in that age”.

 

Now let’s jump to another day. My daughter once showed me a video that she was watching. Enthusiastically, she told me that there was a video showing Ipin and Upin (her favorite cartoon show) with an adult body—with a proper appearance. Hence, the audio was disturbing. It was a dangdut music with the lyrics about second wife. Even though she wouldn’t understands the meaning, we as adult will known what it tells about. So yeah, I turned it off, remove it from the timeline so that my daughter won’t find it anymore. Consequently, she cried.

 

Later after found out that she was upset because of me, I realize that I have done something wrong. I must not act as such—if I really want to change my father’s way to tell that something has not to be performed. If you face a quite the same situation, I suggest you to let them express their happy feelings. After the device abandoned, take it over. Set the video so that it won’t appear anymore when she open the apps back. Hope it helps you. []

 

 

Friday, July 24, 2020

Hospital

Yesterday was the first time I came to one hospital in Serpong, for I am living here since August last year. Formerly, I always go to hospital for averagely six months. The mission is: removing ear wax.

 

Ear wax was a natural substance that produced by our ears to prevent dangerous materials getting in to the ear lobe. At some range of time, it needs to be cleaned—or have been cleaned by its natural mechanism. In my case, one should be taken out manually.

 

Before I decided to went to the hospital (about a month ago), I tried to get my ears clear by myself. I bought an ear oil, and it worked. Nevertheless, it wasn’t enough to get all the wax out of my ears. Subsequently, in this pandemic situation, I decided to go.

 

When I was arrived at this hospital, the situation was quite deserted. I mean, there were lack of people inside the lobby. I didn’t need to wait for such a long time to register. So did when I wait for a doctor’s calling.

 

Before entering the doctor’s room, I’ve got several screening. Of course, covid-19 symptom’s confirmation has been asked—including some steps of hand-washing, temperature measuring, and confirmation-form filling. One screening that I’ve been through was the blood pressure test. The result: my blood pressure was categorized as low.

 

As I entered doctor’s room, I sense that she was a communicative kind of person. She hardly stop speaking, but I guess that was still tolerable. I was asked whether I always wear a headset or not. The answer was of course: yes. About six hours a day, I told her. Then, the doctor said that the maximum duration of using headset was actually only one hour, for about 60 decibel of sound volume. While the maximum amount of sound volume in iphone was 102 decibel.

 

Long story short, my ears were fully functioning. In a while, I asked doctor about how to increase my blood pressure. Because even though I work out routinely lately, the number was quite dissapointing. At the end of our consultation, she answered that sometimes, we have to ignore the number. As long as our body felt fine, the number wouldn’t matter. Just keep thankful of what God gives us. She concluded. []

Sunday, July 5, 2020

Indie

Apalah arti sebuah nama. Itu kalimat terkenal dari sastrawan William Shakespeare. Maknanya, bahwa nama bukan yang utama. “Andaikan bunga mawar kita namai berbeda, harumnya tetap sama”, kurang lebih begitu kutipan lengkapnya.

Lantas apa yang utama? Menurut Martin Luther King Jr. dalam pidatonya yang terkenal, I Have a Dream, yang penting itu sikap seseorang, bukan warna kulitnya. Dan pesan untuk menyampingkan nama hingga warna kulit, rasanya masih relevan sampai hari ini.

“I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character.”

Baru-baru ini sebuah video melintas di linimasa medsos. Saya tergelak mendengar nama anak saya disebut sang kreator. Dia memang terkenal membuat parodi tentang identitas—so called—indie.

Irfan Ghafur membuat guyonan tentang bagaimana seorang ayah memanggil nama anaknya untuk sekadar mengambilkan kopi. Ayah “normal”, menyebut nama “Anisa”, "Putra", "Via" atau nama lain yang biasa kita jumpai. Sementara, ayah “indie”, memanggil anaknya yang bernuansa itu tadi: indie. Ada nama "Semesta", "Bintang", "Langit", sampai "Aksara". Yang terakhir itu nama anak saya. Haha.



Ketika dia baru lahir, di grup-obrolan tempat saya bekerja, seorang teman bertanya tentang makna Aksara. Saya lalu jabarkan makna (sok) filosofisnya. Padahal, nggak seserius itu.

Suatu hari, kehamilan istri saya sudah cukup matang. Dengan dalih memperlancar kelahiran kelak, kami berkunjung ke Kinosaurus, sebuah bioskop kecil di Kemang, Jakarta. Di sana kami nonton film Sunya. Setelahnya, kami "belanja mata" di toko buku yang jadi bagian depan Kinosaurus tadi: Toko Buku Aksara. Nah, dari situlah asal nama anak kami.

Di dalam nama lengkap Aksara, tidak ada kata akhir nama lengkap saya. Maksudnya, tidak membentuk nama marga. Meskipun, lazim juga melanggengkan nama keluarga, bahkan sejak dulu. Setidaknya itu yang saya baca di buku Kehidupan Kaum Menak Priangan1800-1942.

Di dalam buku yang ditulis DR. Nina H. Lubis itu, dipaparkan bahwa ada keunikan dalam tata cara penamaan keturunan bupati di Galuh—daerah Ciamis dan sekitarnya. Ternyata, kabanyakan nama depan putra-putri bupati R.A.A Kusumasubrata, berawalan huruf G: Gardea, Gurnita, Gotawa, Gurtiwa.

“Konon, hal ini dimaksudkan untuk memperkuat identitas mereka sebagai keturunan asli Galuh. Di belakang nama kecil putra-putri bupati ini disertakan nama Kusumasubrata yang menyiratkan adanya pengaruh Barat dalam hal pemakaian nama ayah sebagai nama keluarga. Tidaklah hal ini mengherankan karena Kusumasubrata sejak kecil banyak menerima pendidikan dari orang Belanda.”

Pemberian nama yang kini dicitrakan sebagai identitas “indie”, pasti terkait pula dengan pengaruh sosiologis ketika nama “indie” populer. Kondisi ini, bikin sesepuh kultur “indie” dari masa awal istilah itu populer, geleng-geleng kepala. Pasalnya, memang ada perubahan makna. Dewi Lestari alias Dee, pernah mencuit begini:



Selain dikenal sebagai novelis, Dee sohor juga sebagai penggerak scene “indies” di Bandung pada dekade tahun 1990-an. Hal itu terekam dalam buku yang ditulis Idhar Resmadi tentang biografi band Pure Saturday: Based on a True Story. Istilah yang saat itu populer, memang “indies”. Bukan “indie”. Dia merujuk ke musik britpop. Dalam kata pengantar buku tadi, Nishkra yang sempat aktif sebagai penulis di Ripple Magazine menulis sebagai berikut:

“Memasuki 1994, musik indies kian menjadi-jadi terutama berkat perilisan album Definitely Maybe oleh Oasis. Suede pun kembali merilis album, diberi judul Dog Man Star”
Seiring perkembangannya, kata “indie” yang bermakna “independen” semakin sumir jika dilekatkan ke satu identitas tertentu. Meski begitu, indie tetap menjadi semacam zeitgeist atau semangat zaman yang relevan sejak istilah itu mulai populer di akhir abad ke-20. Memasuki dekade kedua abad ke-21, kata “indie” terus dimaknai. Setidaknya relevan sebagai parodi. []