Wednesday, February 21, 2024

Atasi Kelangkaan Air di Indonesia, TNI AD Lanjutkan Program “Manunggal Air”

 Hingga tahun 2017, sebanyak 27 juta penduduk Indonesia kesulitan mendapat akses air bersih. Hingga kini, tantangan tersebut masih membayangi keseharian warga di berbagai daerah, termasuk Halmahera Tengah, Maluku Utara.


Mahadiah Abdul Hamid terpaksa menggunakan air dari sumur rumahnya yang terletak di bibir pantai Desa Kipai, Kecamatan Patani. Ibu rumah tangga ini harus terbiasa dengan rasa asin yang sulit hilang, meski ia sudah menambahkan sepotong kayu secang (Biancaea sappan) ke dalam air yang ia rebus.

“Karena kalau saya masak air sumur, itu panci saya banyak garam (mengendap). Sudah banyak itu. Jadi mau bikin bagaimana, terpaksa saya minum. Mau ambil air juga jauh,” keluhnya.

Upaya pemerintah setempat belum cukup untuk mengatasi masalah kelangkaan air di tujuh desa di Patani. Instalasi pipa PDAM dan bak penampung air yang dikelola warga selalu kering saat musim kemarau tiba. 

Bertolak dari kondisi seperti itulah, TNI Angkatan Darat secara resmi memulai gerakan TNI AD Manunggal Air. Kecamatan Patani menjadi lokasi peresmian kegiatan nasional ini, karena di pulau Halmahera itu, TNI AD berkolaborasi dengan sektor swasta dan pemerintah daerah untuk menunjukkan bahwa negara hadir untuk memenuhi kebutuhan warga.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Maruli Simanjuntak pada Selasa (6/2/2024) dalam wawancara khusus bersama tim liputan SEA Today.

“Jadi, kita mengambil peran ini karena saya pikir kalau pemerintah pusat (yang) membuat, mungkin cost-nya akan mahal. Tapi kalau kami yang mengerjakannya dengan masyarakat, itu jauh nilainya pasti jauh lebih murah. Selain juga kehadiran TNI dengan masyarakat, mereka bisa bekerja bersama di lapangan, menikmati bersama hasil karyanya, saya pikir itu jauh lebih bernilai,” paparnya.

Dalam kesempatan yang sama, Jenderal Maruli juga menegaskan tiga hal yang menjadi fokus utamanya selama menjabat Kasad sejak 29 November 2023. Ketiganya adalah penanaman pohon, pembukaan lahan untuk kebutuhan pangan dan penyediaan air bersih.

Sebelum bersemat bintang empat, penyediaan air bersih telah menjadi perhatian Jenderal Maruli Simanjuntak sejak ia menjadi komandan korem (danrem) Surakarta. “Suatu saat saya lihat di Korem itu masyarakat tidak bisa bertani karena persoalannya air. Ada daerah-daerah yang saluran-saluran airnya rusak. Dan kebetulan saya punya banyak teman-teman akhirnya kita perbaikilah ini saluran-saluran air,” ujarnya dalam wawancara yang digelar pada Senin (5/2/2024) di penerbangan menuju Ternate.

Di hari yang sama, perwira tinggi kelahiran Bandung, Jawa Barat ini, menerima penghargaan dari kesultanan Ternate. Pada Senin (5/2/2024), Jenderal Maruli Simanjuntak dianugerahi gelar Kapita Ahi Besi Malamo (Panglima Besar Angkatan Darat).

Usai memimpin upacara adat penyematan gelar, Yang Mulia Sultan Ternate Hidayatullah Sjah mengungkapkan harapannya. “Semoga kehadiran Bapak Kasad dan Ibu (Ny. Uli Simanjuntak), juga Pangdam, Danrem beserta jajarannya, dapat membawa keberkahan bagi Kesultanan Ternate. Bisa lebih kuat lagi mempertahankan adat istiadat dalam menjaga keutuhan NKRI,” ujar Sultan Ternate seperti dikutip situs resmi TNI Angkatan Darat.

Dalam “Launching Program TNI AD Manunggal Air” di Kecamatan Patani, Halmahera Tengah, Maluku Utara, terdapat enam unit tandon air berkapasitas delapan ribu liter untuk mengairi rumah warga di dekat pantai. Pengelolaannya pun akan dilakukan dengan berkoordinasi bersama pemerintah setempat.

“Dari Desa Kipai juga kami lebih berterima kasih kepada Pak Kasad. Mudah-mudahan program ini bisa berlanjut terus,” ujar Kaur Perencanaan Desa Kipai, Nurdin Safar.

Penyelesaian masalah kelangkaan air juga menjadi perhatian pemerintah pusat. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024, pemerintah menargetkan pemasangan 10 juta sambungan air minum perumahan. []

Saturday, February 17, 2024

Sejarah Rempah Dan Teori Evolusi Berkelindan di Ternate

 Di Kota Ternate, gunung dan laut saling bertemu. Maka tak heran jika di sore hari, warga setempat dan pelancong memadati tempat publik untuk merasakan sejuk angin laut yang berpadu dengan hangatnya sinar matahari hingga ia tertutup Gamalama.


Pucuk gunung setinggi 1.715 meter itu bisa dilihat dari segala arah, termasuk dari sebuah rumah makan dengan menu utama papeda. Bubur berbahan sagu itu jadi makanan utama di Indonesia Timur, termasuk Ternate.


Saya melengkapi sepiring papeda dengan kuah soru. Ini kuah bening yang dilengkapi terong dan ikan tore (Hemiramphus brasiliensis). Selain kuah soru ada pilihan kuah lain yang lebih pedas, kuah kuning.


Sebagai pelengkap papeda, di antara sekian banyak menu yang tersaji di meja, saya memilih gohu. Sashimi khas Maluku ini terasa segar dengan sensasi aftertaste hangat di tenggorokan.


Rasa demikian berasal dari rempah, hasil pertanian yang membuat Kepulauan Maluku jadi wilayah rebutan bangsa eropa di sekitar abad 16 hingga 18. Jejak penguasaan jalur perdagangan rempah itu terlihat di delapan benteng yang tersebar di sekeliling pulau.


Semua benteng itu kini bisa dikunjungi wisatawan. Saya datang ke benteng Tolukko yang didirikan di abad ke-16. Pada sekitar abad ke-17, bangunan ini menjadi lokasi penting untuk mengendalikan perdagangan rempah di perairan antara pulau Ternate, Tidore, Maitara dan Halmahera.


Benteng lain di Kota Ternate berfungsi sebagai kantor pemerintahan dan museum. Selain kantor Dinas Kebudayaan Kota Ternate, di Benteng Oranje juga ada “Museum Sejarah Ternate” yang menampilkan memorabilia kota di Maluku Utara ini dalam berbagai periode.


Di sana, ada sebuah ruangan yang berisi segala hal tentang Alfred Russel Wallace. Ilmuwan asal Inggris Raya ini tinggal di Ternate selama delapan tahun menjelajahi Nusantara dan mengumpulkan lebih dari 125 ribu spesimen.


Alhasil, Wallace merumuskan sebuah garis imajiner yang memisahkan kelompok hewan Asia dan Australia. Peneliti yang hidup selama 90 tahun ini juga dikenal sebagai sosok penting di balik teori evolusi, selain Charles Darwin.


Pada tahun 1858 Wallace menulis “Letters From Ternate” yang berisi temuannya bahwa makhluk hidup berubah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Setahun setelah itu, Charles Darwin menerbitkan buku “On The Origin of Species”. Gagasan utama dalam buku itu kini dikenal sebagai teori evolusi melalui mekanisme seleksi alam (evolution by means of natural selection).


Saat menuai ide tentang salah satu misteri alam itu, Wallace ditemani seorang Melayu bernama Ali. Usianya 15 tahun saat mulai menemani Wallace selama tiga tahun terakhir masa tinggal sang naturalis di Ternate. Di lorong A. Wallace yang ada di sebuah sudut kota, tergambar mural Ali yang merujuk foto dirinya saat direkam pada Februari 1862 di Singapura–ketika mengantar Wallace pulang ke Inggris dan meninggalkan kepulauan rempah.


Rempah-rempahan (termasuk cengkeh, kayu manis, kemiri, hingga pala) kini tak lagi sebernilai ratusan tahun lalu. Meski begitu, hasil bumi itu tetap menjadi bagian penting dari identitas Ternate dan Kepulauan Maluku.


Sementara, dengan fakta bahwa banyak hal yang bisa dijelajahi dan dipelajari dari pulau ini, tak berlebihan jika saya menarik kesimpulan bahwa Ternate memang kaya. []

Sunday, January 14, 2024

Arsitektur yang Nggak Penting

Awalnya dari buku yang saya bawa pulang dari media gathering di kediaman dubes Belanda di menteng. Saidah Boonstra menulis detil ornamen yang ada di sana dan menjadikan rumah yang direnovasi tahun 2020 itu seakan galeri milik bersama yang bebas dikunjungi publik.

Lantas saya baca ulang “Arsitektur Yang Lain”, sekumpulan esai arsitektur yang ditulis Avianti Armand. Vivi, demikian dia akrab dipanggil, mengkritik praktik arsitektur berdasarkan pengalamannya sebagai arsitek.

Kritiknya juga lahir dari pengamatan ke suasana kota, bukan cuma ”bangunan” sebagai objek arsitektur. Sebagai sastrawan, peraih Kusala Sastra Khatulistiwa ini juga menulis dengan gaya penulisan kisah fiksi—coba simak judul 2046.

Dari buku itu, saya jadi lihat beberapa hal dari sudut pandang arsitektur. Misalnya saat lewat di depan gedung Sekolah Vokasi IPB.

Dari pinggir jalan, kampus IPB Gunung Gede itu terlihat khas. Arsitek yang mendesain bangunannya terasa sadar tentang “form follows function”.

Jendela terlihat berderet, seakan siap menyalurkan aliran oksigen ke dalam ruangan dari rerimbun yang menaungi gedung bertulisan SV IPB di bagian atas pintunya—terasa redundant karena di pagar yang berbatasan dengan trotoar juga ada tulisan yang lebih besar: SEKOLAH VOKASI IPB. Di atas deretan jendela yang tertutup itu, ada sebuah kotak mesin AC.

Saya nggak masuk ke gedung yang mungkin terasa “sejuk mekanik” alih-alih “sejuk organik” itu. Bagaimana pun, kecurigaan saya mungkin tidak tepat karena arsitektur sebenarnya bukan cuma tentang “melihat desain” bangunan, tapi juga “mengalami ruang” yang terbentuk dari desain itu.

Saya punya pengalaman merasakan (kalo kata anak lenskep) ”feel of the land” di gedung lain, IPB Baranangsiang.

Di beberapa kesempatan, anggota kelompok paduan suara Agriaswara latihan vokal dipandu pelatih (waktu itu Arvin Zeinullah) di gedung yang berbatasan langsung dengan lapangan di samping mall Botani Square. Dinding ruang kelas itu punya jendela berupa kisi-kisi vertikal meninggi.

Plafonnya menjulang, cocok dengan susunan bangku yang meninggi ke belakang mirip amfiteater. Barangkali, dua hal itulah beberapa faktor yang bikin suhu ruangan tetap nyaman meskipun nggak ada AC di sana.

Entah gimana kondisinya sekarang. Mungkin kisi-kisi itu ditutup juga kayak gedung sekolah vokasi tadi. Atau mungkin masih original karena Bogor rasanya memang masih adem-adem aja.

Atau mungkin “arsitektur” sudah nggak penting lagi. Bisa jadi “pengalaman tentang ruang” (termasuk mengalami fluktuasi suhu udara di berbagai kondisi cuaca) nggak lebih penting dibanding suhu dingin konstan yang mudah diciptakan lewat sekali tekan tombol AC. []


Thursday, January 11, 2024

Jakarta, 31 Desember 2023

 

Jakarta asik juga kalo lagi sepi. Waktu itu Minggu, 31 Desember 2023.

Saya sekeluarga datang ke kawasan Blok M sekitar jam makan siang. Kami langsung ke Futago Ya.

Ini kedai ramen favorit saya dan Windi. Kuahnya enak dan dagingnya empuk.

Selesai makan siang, kami melipir ke seberang: Taman Literasi Martha Tiahahu. Di sana, anak kami senang liat-liat buku di dalam perpustakaan yang adem.

Di dekat situ juga ada lemari buku Jakarta Book Hive. Isinya sedikit dan berantakan, saya lupa bawa beberapa judul buku buat disumbangkan.

Dari selatan Jakarta kami melesat ke arah pusat. Sore itu jalanan lancar. Tipikal gejala sub-urbanisasi.

Istilah itu merujuk ke kondisi ruang sebuah kota yang bergantung ke pembagian waktu. Jakarta lengang banget di satu waktu, tapi padet banget di waktu lain. Menurut Avianti Armand dalam buku “Arsitektur yang Lain”, sub-urbanisasi atau counter-urbanization ibarat “aspirin untuk sakit gigi”.

Dua puluh menitan kemudian kami sampai di Galeri Nasional. Ada dua area pameran yang kami datangi.

Pertama, Ruang Keluarga dan Anak. Ada instalasi lantai berpasir yang diseraki sampah plastik.

Anak kita bisa “pungut” sampah itu dengan scan sebuah barcode di dekatnya. Nantinya, proyektor akan menampilkan hewan laut yang ceritanya hasil daur ulang sampah tadi.

Interaksi serupa juga ada di gedung lain area Galnas. Sebuah imaji hewan bisa muncul setelah kita teriak di sebuah corong. Kami lantas pulang setelah hujan yang datang dari arah Bogor reda.

Malam harinya, kami tidur seperti biasa. Meski nggak nunggu sampai jam 00:01, saya akhirnya kebangun juga.

Dari balik jendela kembang api menyalak bergantian. Lampu mobil yang parkir di bawahnya juga nyala, sebuah false alarm.

Dua jam kemudian saya baru bisa tidur lagi setelah koor lagu tentang patah hati terdengar sayup dinyanyikan dari entah bar sebelah mana. Menara Blok M Square—yang motif kotaknya mirip motif roket di komik Tintin—tetap gelap.

Jakarta, selamat datang di tahun 2024. []

Wednesday, January 10, 2024

Teknoskeptisisme


Selama paruh akhir 2023, isi bacaan, tontonan dan musik yang saya dengar banyak bertema tentang teknoskeptisisme—paham yang meragukan keuntungan teknologi termutakhir. Mari saya ceritakan tentang mereka satu per satu.


Awalnya dari buku. Oleh seorang teman diskusi di English Lab, saya direkomendasikan buat baca Make Time. Dalam buku terbitan 2018 itu Jake Knapp dan John Zeratsky (JZ) kasih tips cara meluangkan waktu (make time) dan kenalkan konsep kolam tak berujung (infinity pool) untuk analogikan distraksi yang mudah diakses via internet. 


Buku itu pula yang mengenalkan saya ke istilah "industri distraksi" sekaligus menganalogikan ponsel sebagai cincin di film Lord of The Rings.


"Terkadang aku merasa ia seperti mata yang terus menatapku... Aku menemukan diriku tidak bisa tidur tanpa dia di sakuku." (Bilbo Baggins)


Halaman terakhir Make Time berisi dereran buku yang jadi acuan ide JZ dan Knapp. Alhasil saya baca Sapiens (2018).


Yuval Noah Harari jadi pemikir superstar gara-gara bukunya itu banjir pujian. Tokoh prestisius global semacam Barrack Obama hingga Bill Gates merekomendasikan buku bersubjudul "Sejarah Ringkas Umat Manusia" itu.


Isinya memang cukup cerdik merangkum sederet alasan kenapa Homo sapiens bisa jadi penguasa planet bumi. Menariknya, dalam wawancara di situs vox, Yuval mengaku kalau seandainya dia nggak rutin meditasi, sebagai profesor ilmu sejarah di Israel, dia akan terus meneliti tentang objek militer di abad pertengahan. "Meditasi" lantas jadi kata kunci yang berkait dengan "teknoskeptisisme" tadi.


Judul lain yang saya lahap dari daftar pustaka Make Time: Deep Work (2016). Buku ini ditulis Cal Newport.


Dalam satu bab khusus, profesor ilmu komputer dari Georgetown University itu mengajak pembaca menimang benefit media sosial yang menurutnya: kurang berfaedah. Akademisi lulusan MIT tahun 2009 itu kasih tips penggunaan notebook (buku tulis dalam arti harfiah) untuk atur fokus harian pembaca. 


Trik "pemenggalan waktu per 15 menit" itulah yang saya pake sampai sekarang—meskipun saya tetap harus juggling dengan komitmen buat disiplian. Dan itu ga masalah. Jangan sampai ilusi kesempurnaan justru jadi distraksi itu sendiri.


Sebetulnya, ada satu lagi buku yang saya baca Juli lalu dan ditulis seorang teknoskeptik lain: Jaron Lanier. Judulnya, Ten Arguments For Deleting Your Social Media Accounts Right Now. 


Cukup jelas lah ya isinya tentang apa. Jadi mari kita lanjut bahas musik.


Oktober 2023, Saturday Night Karaoke merilis minialbum yang efektif dan efisien: More Chords, Better Points. Isinya lima lagu yang kalo didengar berurutan rasanya akan seperti naik kereta Whoosh dari tengah perjalanan: cepat-cepat-cepat-cepat-pelan.


Yayaya, analoginya aneh. Haha. Poin saya: secara musikal rasanya begitu. 


Secara lirikal, kuartet asal Bandung ini menawarkan nomor bernuansa tragis tapi bisa komedik dalam sekali hentak. Judulnya: Abnormal? Abnormal!!!


Tokoh utama di lagu ini ceritanya muak dengan "unggahan gawai" seseorang yang punya ego tengik dengan membagikan "piagam, properti, teknologi termutakhir, swafoto pretensius di tengah momen plesir". Lebih jauh dari urusan pamer-pameran, lagu ini menggarisbawahi "konsep prestasi" yang di judul sempat diragukan lantas diyakinkan dengan tiga tanda seru: abnormal!!!


Visualisasi abnormalitas tadi lalu saya tonton di film The Truman Show. Film rilisan 1998 itu belum menyebut "unggahan", "distraksi", atau istilah terkait teknologi kiwari di atas. Judul yang dibintangi Jim Carrey ini menampilkan komodifikasi kehidupan personal.


Hari ini bukankah itu yang terjadi? Saat scrolling tentang posting trivial aktivitas harian, di timeline muncul satu-dua iklan yang menyelingi. Kalau kata Superman Is Dead di lagu Citra OD yang dirilis 2006: "privasi hari ini adalah konsumsi".


Kita mungkin sudah merasa maklum. Bagi kreator film itu, nggak. 


Meskipun yaaah, kalau kata Yuval sih harusnya film itu diakhir dengan Truman bebas dari studio televisi dan masuk lagi ke "studio" peradaban global. Dia merujuk ke beberapa hal yang disepakati umat manusia sebagai intersubjektivitas—pembahasan tentang objektif, subjektif dan intersubjektif ada di buku Sapiens.


Teknoskeptisisme yang dikenalkan judul-judul di atas baru beberapa titel yang saya simak tahun lalu. Untuk menutup ulasan ini, saya kutipkan artikel buatan Cal Newport yang dipublikasikan The New Yorker akhir tahun lalu. Dalam sebuah paragraf dia memperhalus kata skeptis menjadi seleksionis:


Techno-selectionists believe that we should continue to encourage and reward people who experiment with what comes next. But they also know that some experiments end up causing more bad than good. 


Techno-selectionists can be enthusiastic about artificial intelligence, say, while also taking a strong stance on settings where we should block its use. They can marvel at the benefits of the social Internet without surrendering their kids' mental lives to TikTok. []