Tuesday, March 7, 2017

Mengenang Kelahiran Via Bukaan 8

Akhirnya saat ini tiba juga. Saya menghadapi tantangan yang saya buat sendiri: merasakan seberapa kangen sama anak-istri yang enggak tinggal bareng. Sebulan terakhir kami memang terpisah. Saya di Bandung, Windi dan Aksara—yang baru lahir—di Bogor. Tiap pagi, Windi selalu kirimi saya foto atau kadang video kondisi teraktual anak kami. Hampir tiap jam, kami juga berkirim pesan. Sekedar tanya “lagi apa?”. Hingga pada suatu ketika, tayanglah film Bukaan 8. Saya akan mengenang momen-momen kelahiran Aksara melalui film ini. Bukaan 8 adalah kisah tentang seorang keluarga muda yang ada di tahap krusial mereka: kelahiran anak pertama. Sang suami bernama Alam yang diperankan Chicco Jericho berpasangan dengan Mia, sosok yang dimainkan Lala Karmela. Intinya, film ini berkisah tentang lika-liku proses kelahiran anak pertama dengan sapuan warna karakter Alam yang slengean, dan keluarga Mia yang riweuh. Pilinan kisah di film garapan Angga Sasongko ini diperkeruh dengan macam-macam masalah yang mungkin dihadapi seorang pendengung, buzzer di Twitter. Maka, film ini sekaligus juga berkisah tentang gambaran sebuah profesi yang belum tentu bisa dialami banyak orang. Menarik. Yang menarik dari Bukaan 8, pertama visualisasinya. Di dalam film berdurasi sekitar dua jam ini, tidak sedikit percakapan media social dimunculkan. Dan percakapan itu berhasil ditampilkan dengan menarik. Saya suka bagian ini. Kedua, musiknya. Komposisi kru yang menggarap film ini, kurang lebih sama dengan tim yang mencipta Filosofi Kopi. Sapuan musik pengiring suasana yang digubah Mc Anderson terasa pas. Ada ketukan kick drum dan snare ketika suasana rusuh. Ada lirih melodi ambient ketika drama memuncak. Rasanya pas saja. Pemilihan lagu Payung Teduh yang sebenarnya musik produksi lama yang diolah ulang juga oke-oke saja. Oiya, lagu FSTVLT di awal film juga pas dengan aktivitas netizen di belantara Jakarta:
“hits namun kitsch hujan blitz padahal gulita naik naik ke puncak gunung kasta mati lelah karena terlalu berusaha”
Terakhir, saya tersentak dengan sebuah dialog. Ketika Alam dan seorang mandor ngobrol sambil ngopi. “Anaknya laki-laki atau perempuan?” Tanya sang mandor yang lalu dijawab ketidaktahuan. “Pasti dia bangga karena ayahnya ada pas dia lahir.” Tutupnya. Pernyataan itu rentan mengundang debat, tapi membuat saya bersyukur. Saya beruntung bisa hadir ketika Aksara datang ke dunia. Padahal saat itu handphone koordinasi biro Bandung tetap dibawa. Saya juga harus bersyukur, karena bisa maksain nonton, meskipun kepotong-potong karena harus bolak-balik keluar bioskop buat ngangkat telepon buat koordinasi. Saran saya, segeralah kamu—ayah-ibu baru dan calon orang tua baru terutama—nonton juga. Jumlah layarnya udah makin sedikit. []