Saturday, April 25, 2020

Reformasi


Hari Jumat kemarin, ada diskusi tentang buku Gen buatan Siddharta Mukherjee. Pemandunya seorang edukator biologi, Prasdianto. Yang jadi pembicara utama, dokter neurosains Ryu Hasan. Pembicaraan dokter Ryu tidak melulu soal isi buku Gen, tapi justru soal gen itu sendiri. Bahwa studi dan berbagai temuan tentang gen dan genetika, jadi penanda penting perkembangan ilmu biologi.

Di akhir diskusi, dokter Ryu menjawab sebuah pertanyaan menarik: ketika perkembangan ilmu pengetahuan—dalam hal ini biologi—semakin melampaui batas etika manusia, siapa yang nantinya berwenang menetapkan batas baru? Dokter Ryu menjawab dengan sebuah contoh. Ketika seorang dokter disodori perampok yang berdarah-darah, maka urusannya cuma satu: menyelamatkan hidup. Soal perampok itu menjalani pertanggungjawaban atas perbuatannya, bukan urusan si dokter. Maka jawaban pertanyaan di atas: tergantung sudut pandang pemanfaatan temuan sains tadi.

Perumpamaan dokter Ryu, mengingatkan saya ke sepotong adegan di awal film 1987. Ceritanya tentang peran berbagai profesi di Korea Selatan dalam menumbangkan pemerintahan represif. Di tahun yang dipakai jadi judul filmnya, terjadi rangkaian peristiwa serupa Indonesia di tahun 1998.

Bulan Januari kala itu, seorang dokter diminta menolong mahasiswa yang menjalani pemeriksaan sebagai terduga komunis. Pemerintah Korea Selatan ketika itu menjadikan penumpasan komunisme—yang dijalankan di Korea Utara—sebagai dalih untuk mempertahankan kekuasaan. Pengkritik pemerintah, dicap komunis. Mereka diinterogasi dengan siksaan, sukur-sukur sampai kapok melawan pemerintah. Sayangnya, di awal tahun itu polisi tidak sengaja membunuh sang mahasiswa: Park Yong-chul.

Di Indonesia tahun 1998, ada peristiwa serupa. Mahasiswa yang melakukan aksi damai dibubarkan aparat, bahkan ditembak mati. Sampai sekarang, tidak ada yang bertanggung jawab. Pihak jaksa agung yang harusnya jadi pengusut kasus Semanggi, malah memaklumi insiden tadi.

Dalam 1987, ada rangkaian subkisah pilu tentang orang tua Yong-chul yang sangat kehilangan. Ibunya histeris ketika sang anak—yang masih ia panggil “bayiku”—harus pergi lebih dulu. Sebuah adegan puitik juga digambarkan ketika abu jenazah Yong-chul dilarung ke sungai.

Di Indonesia pada bulan April tahun 2020, keluarga pahlawan reformasi—begitu para korban penembakan Mei 1998 digelari—masih terus menuntut penegakan hukum melalui aksi kamisan. Tiap Kamis, mereka berdiri di depan Istana Kepresidenan. Aksi ini sudah digelar 632 kali. Pemerintahan berganti, tuntutan mereka tetap sama.

Satu fragmen film 1987 juga merefleksikan kondisi di Indonesia. Seorang ahli forensik diminta merekayasa hasil otopsi. Jaksa diarahkan menyetujui kremasi tanpa otopsi. Meski harus berkompromi, ia pada akhirnya membocorkan dokumen asli penyebab kematian Yong-chul kepada wartawan—paru-paru sang mahasiswa diisi air. Maka, mahasiswa, dokter, jaksa, pers, lalu disusul pemuka agama, sipir, pemimpin oposisi, bergerak menggulingkan tirani.

Aksi kejar-kejaran aktivis prodemokrasi juga digambarkan film ini. Pasokan informasi buat dia, disalurkan seorang sipir. Petugas penjara ini rajin mencatat pembicaraan di ruang besuk tahanan politik. Informasi itulah yang ia sembunyikan dari pemeriksaan polisi berpakaian sipil.

Indonesia di bawah rezim orde baru, ditakut-takuti dengan represi serupa. Plus, fiksi tentang deskripsi pembunuhan para jenderal korban peristiwa G-30-S: mata dicungkil, bagian tubuh diiris silet. Nyatanya, setelah April 1987 barulah kita tahu melalui Cornell Paper yang ditulis Benedict Anderson, bahwa hasil visum et repertum tidak menunjukkan informasi sadistik tadi. Rilis Jurnal Indonesia itu lalu jadi salah satu bahan bakar reformasi.

Segmen akhir 1987 diakhiri romantika kisah mahasiswa Lee Han-yeol yang juga tewas karena serangan aparat. Ia dilihat dari sudut pandang seorang mahasiswi yang diselamatkan Han-yeol di sebuah kerusuhan. Sang mahasiswi—yang juga keponakan sipir penjara di atas—sempat membelikannya sepatu. Sepatu itu pula yang ia pakai ketika kepala bagian belakangnya dihantam peluru. Momen akhir kehidupan Han-yeol lalu jadi foto utama koran esok harinya. Sang mahasiswi berduka, lalu gabung ke kerumunan massa yang menuntut perubahan pemerintahan.

Kita sebenarnya punya juga film yang merekam momen semacam itu. Tahun 2015—dua tahun lebih awal dari rilis film 1987—Lukman Sardi menyutradarai film Di Balik 98. Ceritanya tentang seorang mahasiswa yang abangnya seorang tentara. Mereka bertemu di arena demonstrasi. Sementara, sang mahasiswa juga punya pacar sesama aktivis, yang kena imbas hembusan isu rasial di masa gawat Mei 1998. Dua film ini, Di Balik 98 dan 1987, menggambarkan bahwa mahasiswa punya peran besar dalam perubahan sebuah negara. []

Friday, April 17, 2020

AntiSuperman

Kisah superman menampilkan utopia atau gambaran ideal kehadiran alien yang jadi penyelamat manusia. Namanya juga fiksi, kita bebas berfantasi. Tapi, kalau mau realistis, makhluk ekstraterestrial itu bakal sulit kita temukan—kalau ga mau pesimistik bilang nggak ada.

Misalnya, astrofisikawan Stephen Hawking yang bilang bahwa memang ada planet sejenis bumi di tata surya lain, tapi kecil kemungkinan adanya kehidupan lain di sana. Lagipula, kalau pun ternyata ada, tempat itu terlalu jauh untuk kita tuju—setidaknya menurut teknologi tercanggih hari ini. Dan lagi, kalau pun kita berhasil ngontak “mereka”, yakin mereka bakal jadi sahabat kita?

Gambaran itulah yang bisa kita tonton di film Brightburn (2019). Ceritanya mirip kisah Superman di desa Smallvile, ketika bayi Clark Kent ditemukan dari dalam pesawat sampai tumbuh ke masa remaja awal. Kekuatannya juga sama: mata membakar, gerak cepat, terbang, kebal peluru. Bedanya, dia bukan melindungi. Hanya menjalankan instingnya untuk mengikuti seleksi alam: melestarikan jenis spesiesnya sendiri.

Di sebuah adegan, tokoh bernama Brandon Breyer sedang belajar di kelas tentang perbedaan lebah dan tawon. Ketika gurunya bertanya, Brandon menjelaskan bahwa yang satu membuat sarang, sementara yang lain menyerang, demi sarang.

Ms. Espenschied : And that is what we call a hive. Wasps and bees, both members of the insect family, both with two pairs of wings, both with stingers. Can anyone tell me difference between them? Mr. Breyer?
Brandon Breyer : Uh, well, um, bees are pollinators, and wasps are predators.
Ms. Espenschied : Good, good. Anybody else?
Brandon Breyer : And wasps are more aggressive, more dangerous. One species, the Polistes sulcifer, is what's called a brood parasite, they've lost the ability to make nests, so they use brute force to make other wasp species to raise their young. And they make them feed their babies things like beetle larvae and maggots.

Sepanjang film bergulir, Brandon kemudian menjadi tawon predator. Dia memodifikasi topeng yang membentuk moncong serangga itu. Dia membunuh, untuk kemudian mungkin (spesiesnya) menjajah.

Familiar dengan skenario itu? Dalam buku Guns, Germs and Steel (1997), Jared Diamond merangkum peradaban manusia yang melibatkan tiga unsur tadi: bedil, kuman dan baja. Kuman yang dimaksud, merujuk ke wabah bawaan penjajah Eropa ke benua Amerika. Warga setempat tidak punya kekebalan terhadap kuman itu, sehingga tumbang.

“Sebagai contoh, suatu wabah cacar meluluhkan bangsa Aztek setelah gagalnya serangan pertam aorang Spanyol pada 1520 dan menewaskan Cuitlahuac, kaisar Aztek yang sempat menggantikan Montezuma untuk waktu yang singkat.” (Hal. 84)

Lantas, dalam wabah covid-19 ini, beberapa orang percaya bahwa virus menjadi mekanisme alam untuk memulihkan kondisi bumi. Padahal, nggak begitu.

Memang jalanan lebih lengang dan emisi berkurang, tapi—berdasarkan catatan sejarah—itu hanya sementara. Menurut liputan ini, sampah medis naik berkali lipat, energi listrik lebih banyak dipakai, dan pertemuan untuk bahas kerjasama global mengatasi masalah lingkungan, justru jadi tertunda. Kuncinya, kita sadar seberapa ramah lingkungan perilaku kita, dan berusaha terus meningkatkan kualitasnya.

Cara pandang terhadap manusia dan lingkungan yang seakan bijak tadi, bisa menghilangkan empati kita. Tulisan ini dengan telak menunjuk ketimpangan ekonomi sebagai buntut dari banyak meruginya manusia akibat wabah corona baru. Dengan sarkas, Raka Ibrahim mengutip:

“Kata sebuah anekdot, pemeriksaan COVID-19 paling masuk akal bagi orang miskin adalah bersin ke muka konglomerat, lalu tunggu hasil tesnya.”

Lalu solusi agar manusia bahagia bersama bagaimana? Filsuf Martin Suryajaya punya analisanya. Menurutnya, dunia pasca-covid19 akan dihadapkan ke dua pilihan: sosialisme atau barbarisme. Gagasan Martin lalu punya tandingan—atau sebutlah penjabaran lebih teknis.

Ardy Syihab mengkritisi sosialisme yang diceritakan Martin sebagai “lamunan indah menuju tidur yang nyenyak”. Paragraf terakhirnya berbunyi begini:

Krisis ekonomi selalu melahirkan peluang. Ketimbang sebatas membayangkan apa yang terjadi hingga lagi-lagi tersalip di tikungan terakhir, lebih bijak jika secara aktif mengkonsolidasikan kekuatan kolektif dan menggalang solidaritas untuk mengubah haluan ekonomi yang masih terjerembap dari konsep kuno kapitalisme menjadi dunia baru yang cerah bernama sosialisme. Sedari yang terdekat, kemudian terus menigkat. []

Thursday, April 16, 2020

Getty

Pekan ini saya lagi riset tentang kunjungan virtual ke beberapa museum. Buat tayangan 15 Minutes minggu depan. Ternyata, ada dua museum yang akali pembatasan kunjungan akibat wabah covid-19.

Pertama, Rijksmuseum di kota Amsterdam Belanda. Melalui akun media sosial Instagram, pengelola museum ngajak kita mengenal koleksi mereka dengan menirukan gaya karya seni dari Rijksmuseum, pakai alat seadanya yang ada di rumah. Demi eksistensi—atau pengisi kebosanan—banyak orang menirukan lukisan buatan Jan Vermeer, sampai Edouard Manet.



Pada akhirnya, mereka—atau kita yang penasaran dengan kreasi netizen—bisa mengenal beberapa karya seni. Di mana lukisan itu dirumahkan bahkan nggak lagi penting. Museum kedua yang juga ikutan gimmick serupa, Getty Museum.

Nah, nama Getty itulah yang memantik ingatan saya ke sebuah film. Judulnya All The Money In The World. Ceritanya tentang kisah nyata penculikan John Paul Getty III, cucu Jean Paul Getty. Getty nomor pertama memang orang paling kaya sedunia. Dia meraup uang dari penjualan minyak. Sampai kemudian tibalah momen John ditawan penjahat di kota Roma Italia.

Yang menarik dari kisah itu, Getty berkata di hadapan media bahwa dia tidak akan memberikan uang tebusan kepada penculik. Soalnya, kalau sekali di tahun 1973 itu, permintaan dikabulkan, 13 cucunya yang lain juga bisa aja diculik dan dimintai tebusan. Di sinilah konflik film bergulir.

Ibunda John mencari cara agar anaknya bisa dibebaskan dengan bantuan orang kepercayaan mertuanya. Ternyata, Getty nomor satu malah lebih suka hartanya dibelanjakan barang antik dan mahal. Semacam patung kayu dari kerajaan mesir kuno—yang kemudian berusaha dijual Ibu John demi tebusan—sampai sebuah lukisan seukuran pelukan yang ia dekap di hembusan nafas terakhirnya.

Prinsip Getty buat jadi orang kaya yang pelit, saya dapati berbeda dengan cara penyelamatan orang Indonesia yang diculik teroris Abu Sayyaf. Setidaknya, itu pendapat ahli terorisme Asia Tenggara Sydney Jones melalui liputan ini. Menurutnya, kita terlalu mudah memenuhi permintaan penculik. Memang dilematis. Kewajiban negara kan melindungi segenap bangsa. Lantas bagaimana caranya memerangi penculikan? Mungkin salah satunya seperti yang tersirat di liputan Vice Indonesia tadi: jangan sampai pelaut Indonesia harus mencari ikan ke luar rumah mereka. []