Friday, September 25, 2020

Belajar Sejarah Dari "Dari Buku ke Buku"

Mata pelajaran sejarah katanya mau dijadikan mata pelajaran pilihan. Ternyata, mendikbud klarifikasi bahwa itu sumbernya dokumen internal yang isinya “permutasi”—demikian Pak Nadiem menyebut istilah untuk (kurang lebih) “berbagai kemungkinan” penyusunan mata pelajaran. Pada akhirnya, Menteri Nadiem bilang mata pelajaran sejarah bakal tetap ada. 

Di satu sisi, polemik ini menunjukkan bahwa ada masalah komunikasi di Kementerian Pendidikan. Di sisi lain, publik jadi punya perspektif baru soal mata pelajaran sejarah. Tulisan di Tirto ini ditulis seorang mantan guru sejarah SMA Petrik Matanasi. Dia bilang, harusnya mata pelajaran sejarah diajarkan dengan menerapkan tingkat perkembangan siswa. 

Seharusnya di SMA dan SMK pelajaran Sejarah lebih menekankan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, serta ekonomi di dalam dan luar negeri. Semestinya siswa SMA jurusan IPS dan SMK rumpun ekonomi belajar tentang sejarah perekonomian Indonesia dengan, misalnya, menampilkan Hatta sebagai ekonom atau paling tidak menyinggung sejarah kewirausahaan di Indonesia.

Kasus ditutup. Sekarang, saya mau cerita tentang buku sejarah yang baru tamat saya baca. Bulan Agustus lalu, saya pernah ulas singkat sih buku yang judulnya “dari Buku ke Buku” ini. Kali ini, perspektif ulasan saya akan lebih banyak bahas tentang “pentingnya sejarah”.

Polycarpus Swantoro, penulis buku ini, menempuh pendidikan formal bidang sejarah di IKIP Sanatha Dharma Yogyakarta—selain dikenal juga sebagai salah satu dedengkot Kompas Gramedia. Meski buku ini bahas buku-buku bersejarah tentang Nusantara, kisahnya dibungkus dalam judul-judul tematik. 

Pak Swantoro membuka dengan judul Bermula dari Gambar Berwarna. Swantoro kecil terkenang dengan gambar lambang kotapraja Hindia-Belanda tahun 1930-an. Dari sanalah minat studi sejarahnya bermula. 

“’Historia docet’, kata sebuah adagium, ‘sejarah itu mengajar’. Masih ada sebuah adagium lagi yang erat kaitannya dengan sejarah... ‘di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan’.” (Hal. 6) 

Bahasan soal sejarah di buku “dari Buku ke Buku” ternyata ada juga yang terkait dengan tulisan di Tirto yang saya kutip di atas. Pak Swantoro mengutip pendapat Denys Lombard, penulis buku Nusa Jawa. Katanya, “ia tidak mengajarkan sejarah sebagai rentetan peristiwa, tetapi sebagai metode.” Dalam tulisan Tirto tadi, Petrik menulis bahwa justru mata pelajaran sejarah sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari saat ini.

Bagi saya, pelajaran Sejarah seharusnya melatih mereka menggali dan mengklarifikasi informasi. Pelajaran Sejarah sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk melawan hoaks dan disinformasi, karena dalam pembelajaran sejarah sifat kritis seseorang adalah wajib dan sejarawan mesti melakukan kritik sumber ketika meriset dan menulis.

Artikel yang diterbitkan Tirto juga mengkritisi bahwa sejarah yang disajikan di sekolah, terlalu dominan bermuatan politik. Seandainya begitu, mungkin sejarah bakal jadi pelajaran favorit. Setidaknya bagi saya. Sayangnya, kata Pak Swantoro menutup buku yang saya bahas ini: “kata ‘seandainya’ tidak terdapat dalam kamus sejarah kehidupan siapa pun”. []   

Tuesday, September 15, 2020

Teori Hawking Untuk Membunuh Tuhan

Bulan September ini film The Theory of Everything bisa ditonton melalui Netflix. Film ini merupakan biopik seorang astrofisikawan kenamaan dunia: Stephen Hawking. Stephen sendiri masih hidup di usia kepala tujuh saat film ini dirilis, tahun 2014. Ia mangkat empat tahun setelahnya. Bagi saya, film ini membantu mendekatkan sosok humoris ini. Nada pemikirannya sudah terasa cair dalam dua buku yang saya baca: A Brief Answer To The Big Question dan The Grand Design. 

Dalam buku yang saya sebut pertama, Stephen menulis kata pengantar dengan menukil bahwa “Eddie Redmayne memerankan versi tampan dari diri saya”. Tampaknya, Redmayne juga berhasil memerankan versi komikal yang sama dengan Hawking versi asli. 

Film The Theory of Everything berujung di momen ketika Stephen menerbitkan buku fenomenal A Brief History of Time. Buku yang diluncurkan tahun 1988 itu ia tulis bersama sahabatnya: Kip Thorne. Stephen dan Kip pernah bertaruh: langganan majalah pria dewasa Penthouse. 

Stephen kemudian mengidap kelainan otot. Beruntung kemampuan berpikirnya tetap sehat. Dia juga terus mencari sebuah teori “elegan dan sederhana” yang ia yakini bisa menjelaskan alam semesta. Namanya: The Theory of Everything. Teori tentang segala ini disampaikan sejak awal film. Ketika dia pertama jumpa dengan Jane yang lalu jadi istrinya. 

Soal teori yang dia cari itu, sempat dibahas juga dengan seorang pendeta—yang kemudian jadi suami sang istri. 
“Kamu katanya punya teori bagus yang menjelaskan awal mula semesta?” 
“Oh, itu tesis doktoralku.” 
“Jadi kamu nggak percaya lagi adanya penciptaan?” 
“’Percaya’ itu nggak relevan di dalam fisika.” 
Di bagian selanjutnya, Jane menjelaskan lebih detil. 
“Ide besar Stephen yang baru: jagad raya nggak punya batas. Nggak ada batas, nggak ada awal.” 

Jane lebih lanjut menerangkan bahwa ketika mencari “teori segala”, Tuhan harus mati. 
“Dua pilar utama dari fisika: teori kuantum dan teori relativitas. Masalahnya, dua teori itu nggak bisa berlaku di aturan yang sama.” 

Dialog di meja makan itu juga menjelaskan kuotasi Einstein soal “dadu dan Tuhan”. Stephen menanggapi: "tapi Dia ngelempar sampe kita nggak bisa nemu lagi dadu itu". 

Pertanyaan soal Tuhan ternyata jadi penutup film juga. Di momen tanya jawab soal bukunya, Hawking menjawab diplomatis: 
“Jelas-jelas kita ini primata unggul di dalam planet kecil yang mengelilingi matahari berukuran sedang, di dalam galaksi yang jumlahnya ada 100 triliunan lagi. Tapi, sejak awal peradaban, manusia terus berusaha mencari penjelasan soal pengaturan dunia. Dan untuk upaya itu, manusia nggak punya batasan. Di mana ada kehidupan, selalu ada harapan.” []



Saturday, September 12, 2020

Deugalih Bicara Pendidikan

Saya baru tamat baca buku kumpulan esai buatan Galih Nugraha Su. Dia saya kenal sebagai vokalis Deugalih and Folks. Album Anak Sungai jadi soundtrack keseharian saya di tahun 2015. Sebelumnya, di sekitar tahun 2011 saya pernah nonton kolektif ini di panggung pertunjukan Dago Tea House, Bandung. Sebelum saat itu, Galih ternyata sudah aktif menulis. Di antaranya, tahun 2003-2004 sebagai penulis cerpen di Air Zine. Dalam rentang masa aktifnya, Galih juga mengajar. Buah pikirannya soal pendidikan, dibukukan.


Judul buku ini Pendidikan yang Menjajah. Isinya ada 8 esai yang 7 di antaranya punya subjudul. Dalam buku ini, Galih tidak hanya berbagi pemikiran, tapi juga pengalaman. Tulisan pertama dalam rangkaian tulisan setebal seratusan halaman ini, menceritakan kesan Galih ketika mendampingi ”7 anak yang berjuang dengan dirinya untuk melampaui apa yang disebut keterbatasan, bukan untuk dimaklumi."


Pengalaman sebagai pendidik juga memberi muatan dalam kritik atas jalannya pendidikan di Indonesia. Tulisan yang menurut saya paling kaya, berjudul “Apakah Lagu Anak Masih Diperlukan?”. Titel ini pertama kali dimuat di situs Jurnal Ruang. Di dalamnya, Galih mempertanyakan argumen bahwa anak-anak harus punya “lagu anak”. Paparan ini kaya data. Untuk menjawab pertanyaan di judul tadi, penulis menyandingkan peran macapat dan lagu yang dibawa bangsa Portugis ke Nusantara pada abad ke-15. Suntikan pengalaman yang ia sodorkan sebagai solusi, juga tak luput dituliskan. Galih mengakui bahwa “tulisan ini bertujuan mengembalikan peran rumah dan sekolah menjadi tempat anak berkarya, bereksperimen dan bertualang."


Representasi judul Pendidikan yang Menjajah, juga Galih tampilkan melalui potret kehidupan seorang anak jalanan yang diurus PSK di Bandung tahun 2001. Selain itu, dorongan tentang “pendidikan yang tidak datang melalui mulut yang menasihati mereka dalam bentuk pemerintah, guru, dan orang tua” turut diperlihatkan lewat kondisi pendidikan di wilayah adat. Bahasan yang satu ini dilengkapi argumentasi Cak Nun dan Paulo Freire yang ditulis Galih sebagai: satu pemikiran.


Sayangnya, keputusan Galih untuk menerbitkan buku ini tanpa melalui editor, berdampak ke kualitas tata susun kata. Saya tidak terbiasa membaca paragraf yang diawali angka—seperti tampak di tulisan “Yang Melihat Dunia Dari Teras Rumah”. Di bagian kata pengantar, penulis memang mengakui bahwa absennya editor memang sebuah upaya untuk “tidak bergantung pada industri yang banyak pakem”. Padahal, jika Galih punya semacam sparring partner dalam menyusun buku ini, barangkali judul Homeschooling di Tengah Pandemi akan terasa lebih kaya. Tapi toh itu pilihan penulis sendiri. The medium is the message. Saya masih bisa menangkap pesan yang ingin dia sampaikan. []