Sunday, October 11, 2015

Perbedaan Film Everest dan Buku Into Thin Air


“Jangan baca bukunya”, Kang Edy langsung melarang saya membaca buku yang terkait dengan film yang baru saya tonton. “Ya pasti lu bilang ‘kok gini?’, ‘kok gitu?’”, ujarnya melengkapi. Buku yang menurut Kang Edy jangan saya baca adalah Into Thin Air, sebuah memoar perjalanan pendakian ke puncak tertinggi dunia: gunung Everest.

Buku yang ditulis tahun 1997 itu memang jadi salah satu acuan pembuatan film Everest (2015). Rupanya, Kang Edy menilai isi film dan buku sumbernya, ternyata berbeda. Perbedaan yang paling kentara, adalah peran sang penulis buku: Jon Krakauer. Wartawan dengan spesialisasi kepenulisan bidang aktivitas alam bebas itu, dalam versi bukunya, berperan lebih besar. Ia tidak hanya memasangkan tali pendakian ketika tali yang dibawa seorang Sherpa telat datang, akibat kendala yang dihadapi seorang pendaki wartawan perempuan. Bagi kamu yang sudah nonton filmnya, tentu ingat adegan itu. Nah, buku Into Thin Air, adalah kesaksian Krakauer yang menjadi bagian dari rombongan dua tim pendaki gunung Everest: kelompok Adventure Consultant dan Mountain Madness.

Melawan Lupa di Tahun Ke-50 G30S

Tahun ini, Indonesia memperingati 50 tahun kejadian berdarah di tahun 1965. Kala itu, adalah masa awal pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto. Ketika itu pula, terjadi peristiwa memilukan yang melibatkan kematian 500 ribu sampai lebih dari dua juta orang Indonesia. Bahkan kejadian itu disebut-sebut genosida terbesar kedua di abad ke-20 setelah pembantaian yang diotaki Hitler. Sementara di Jerman sejumlah museum dan monument penting diabadikan untuk jadi bahan pelajaran bagi generasi muda Jerman berikutnya, bagaimana Indonesia belajar dari masa lalunya?Kine Forum Jakarta menolak lupa dengan menayangkan seri film yang berkisah tentang peristiwa G30S. Selama satu bulan penuh, tiap akhir pekan kita bisa menyaksikan puluhan judul tentang itu. Dua hari terakhir, ada lima judul yang saya saksikan. Empat di antaranya dihimpun dalam kompilasi 3. Mereka adalah Menggali Buaya (2015), Rantemas (2006), Jembatan Bacem (2013) dan Mass Grave (2002). Satu film documenter yang saya tonton sehari setelahnya, berjudul Terlena: Breaking of a Nation (2004).

Cara Hidup di Mars ala The Martian

Apa judul film yang menyatukan keseruan di tiga film—Gravity, Interstellar dan Prometheus—sekaligus? Jawabannya: The Martian. Film ini berkisah tentang seorang astronot yang tertinggal di planet mars dan dikira meninggal. Di sana ia berusaha untuk terus hidup selama berbulan-bulan. Saya membandingkannya dengan tiga film di atas karena memang ada sejumlah kemiripan, selain karena ketiganya berkisah tentang perjalanan ke luar angkasa. Jatuh bangun perjuangan tokoh utama menyelamatkan diri, tentu sebangun dengan yang terjadi di Gravity. Bedanya, film ini tidak hanya mengandalkan acting Matt Damon sepanjang film, tapi ada juga tokoh lain. Pengemasan The Martian juga berbalut humor yang segar.


Monday, October 5, 2015

Jakarta di Mata Trendkill Cowboys Rebellion

Beberapa waktu lalu band metal asal Jakarta Trendkill Cowboys Rebellion merilis album ketiganya yang bertajuk Anti Image. Can I Say sempat mewawancarai mereka ketika album tersebut masih ada dalam rahimnya. Simak lagi nukilan dua halaman dalam Can I Say edisi 14 berikut ini:



Friday, October 2, 2015

Alasan Vokalis Purgatory Meninggalkan Musik

foto dipinjam dari sini
Pada bulan juni lalu, saya mewawancarai eks vokalis Purgatory, Amor. Selepas berhenti bernyanyi untuk band metal islami itu, ia fokus berbisnis dan menjadi fasilitator acara dakwah. Amor, bahkan kini percaya bahwa musik haram. Berikut ini isi wawancara selama 15 menit itu.

Thursday, October 1, 2015

3 Cara Menonton Film 3

Anggy Umbara menunjukkan produktivitasnya sebagai seorang sineas. Hari ini filmnya yang berjudul 3 (baca: tiga) mulai tayang di bioskop. Padahal tiga bulan sebelumnya (15 Juli lalu), filmnya yang berjudul Comic 8: Casino King juga telah tayang. Perolehan penontonnya pun tidak mengecewakan. Sampai akhir September kemarin, film sekuel bagian pertama itu ditonton lebih dari satu juta dua ratus orang, atau menduduki posisi kedua dalam daftar sepuluh film Indonesia yang paling banyak ditonton tahun ini. Oke lupakan dulu film Comic 8, karena ini waktunya kita bincangkan film terbaru garapan sutradara yang juga memainkan turntable untuk band Purgatory* itu.