Sunday, May 16, 2021

Satu Keluarga vs Banyak Robot

Sony Pictures Animation makin bahaya. Pada tahun 2020, film Love Hair yang diproduksi studio ini memenangkan Oscar.

Dua tahun sebelumnya, film Spiderman: Into The Spider-verse banyak dipuji juga karena animasinya nggak menghilangkan sensasi baca komik. Dan tahun ini, sensasi itu pula yang muncul di film The Mitchells vs The Machines.

Film ini terinspirasi dari kisah nyata. Sebagaimana dipaparkan melalui akun YouTube Netflix Film Club, tokoh sang ayah yang antiteknologi memang sosok ayah si penulis cerita, Mike Rianda.

Film ini sendiri mengisahkan keluarga Mitchells melawan robot berbasis kecerdasan buatan. Para mesin itu "sakit hati" akibat ulah manusia. Si robot Pal yang jadi otak koloni robot, lantas punya satu pertanyaan filosofis: "kasih tau gue, kenapa manusia musti tetep ada?".

Sampai akhir kisah, pertanyaan itu nggak punya jawaban memuaskan. Dan itu justru jadi muatan filosofis film berdurasi hampir dua jam ini.

Tapi ini film keluarga, janganlah dipikirin soal itu. Nikmati aja cerita sama visualisasinya.
Saya haqqul yakin kalo satu frame aja difreeze lalu dijadiin artwork, kok memang layak. Karena memang seindah itu.

Yang juga menyenangkan dari film ini, ada referensi silang ke beberapa fakta dan unsur budaya pop lain. Robot Pal Max mirip stormtroopers, meski sebenarnya bentuk mereka meniru robot asimo--yang produksinya dihentikan tahun 2018 demi menghindari katastropi yang digambarkan film ini.

Tokoh "start-up guy" pencipta Pal juga merujuk pendiri Facebook. Nama tokoh itu: Mark.

Sektor musik juga jadi daya tarik tersendiri. Ada lagu Sigor Ros di bagian akhir. Bagi beberapa orang, itu cocok karena nuansanya pas. Buatku, Hoppipola jadinya terlalu generik.

Saya lebih suka membayangkan visualisasi lagu itu bukan untuk film ini, melainkan bagi dokumenter Heima. Yang dengan puitis menampilkan bentang alam Islandia itu.

Ke depannya, saya jadi lebih antisipatif sama rilisan Sony Pictures Animation. Kira-kira mereka lagi bikin animasi seseru apa lagi ya? []

Saturday, May 15, 2021

Kinipan

Katanya, rentang perhatian alias attention span manusia semakin singkat. Orang cuma bisa tahan nonton sekian detik, makanya story Instagram cuma 15 detik.

Tunggu, kenapa orang juga bisa tahan nonton serial berjam-jam? Rupanya attention span yang menciut itu mitos belaka. Yang penting: satu menit pertama musti memukau.

Akhirnya, Watchdoc merilis film dokumenter Kinipan lewat kanal YouTube, yang durasinya dua setengah jam. Satu menit pertama, kita langsung dihadapkan ke inti film—perusakan lingkungan.

Empat menit awal film, bagian “lead” berakhir. Judul muncul. Dua setengah jam lalu berakhir.

Kinipan ternyata bukan cuma soal sebuah desa di Kalimantan yang menghadapi perusahaan perusak hutan. Tokoh utamanya dua orang: Basuki dan Feri.

Ada 7 bab yang menggambarkan perjuangan pelestarian alam melalui perspektif dua orang ini. Di awal, penokohan mereka terasa dekat.

Kita pun bisa menaruh simpati dan kepercayaan. Sehingga, ketika mereka turut menganalisa, terasa sahih.

Basuki memusatkan perjuangan di pulau Kalimantan, sementara Feri di Sumatera. Keduanya bakal ketemu di bagian akhir.

Di antara pertemuan itu, mereka mengungkap bahwa eksploitasi alam, pandemi, kuasa negara, semua berkaitan. Ada beberapa informasi lama, ada pula yang baru.

Misalnya, soal konflik kepentingan antara pemuka negara dan pengusaha yang pernah didalami film dokumenter Sexy Killer. Tentang kegagalan proyek sawah di Kalimantan yang diulas Asimetris.

Yang baru saya dapat dalam film ini: beda persepsi soal restorasi hutan dari mata korporasi dan masyarakat adat. Kamu akan temukan detil kisah ini di sekitar 45 menit terakhir film, lengkap dengan “cover both side” yang sempat diributkan netizen ketika Sexy Killer tayang dua tahun lalu.

Pada akhirnya, ada nada pesimisme dalam narasi bahwa “negara tidak mungkin mengembalikan hak pengelolaan hutan ke masyarakat adat”. Tapi toh perjuangan warga di sekitar hutan menolak padam.

Meski, narasi di bagian akhir Kinipan menuturkan nada getir:


“Kini semuanya telah terhubung/

Peradaban dan gaya hidup kita/

Menuntut pengorbanan besar dari alam//

Yang merasakan dampaknya/

Tak hanya manusia//

Sebab manusia/ jelas bukan

Satu-satunya yang butuh hidup//

Dan harga yang harus dibayar manusia/

Kadang lebih besar

Dari keuntungan yang didapat//

Apalagi/ jika yang membayar

Bukan mereka yang paling

Menikmati kue ekonomi//

Bahkan jika tragedi itu

Menjangkau sampai

pusat-pusat ekonomi dan pusat populasi/

Korban yang ditimbulkan akan semakin besar//

Lalu/ dengan dalih untuk mencari solusi

Untuk semua masalah ini/

Sekelompok manusia yang berkuasa/

Membuat kebijakan yang justru/

Berpotensi memperburuk keadaan di masa depan/

Yakni kembali menuntut pengorbanan

Alam dan seisinya//

Lalu lingkaran masalah yang sama

Akan terulang di masa yang akan datang//

Bahkan jika keputusan itu/

Murni untuk kepentingan bersama/

Dan tanpa konflik kepentingan sedikit pun//

Di sisi lain/ untuk memperbaiki lingkungan/

Justru tak melibatkan mereka

Yang paling berkepentingan//

Pelestarian hutan/ diserahkan kepada

Mereka yang hidupnya tidak tergantung

Secara langsung pada hutan//

Sementara yang terdekat/

Justru hanya menonton//

Menonton bagaimana dulu hutan dirusak/

Dan kini/ menonton bagaimana/

Konon hutan akan dipulihkan/

Lewat berbagai proyek yang tak mereka pahami//

Padahal/ justru dari bangku penonton inilah/

Pertunjukan keserasian antara alam dan kebutuhan hidup/

Telah dipentaskan selama ribuan tahun//“

Saya tiba-tiba kepikir lagu Iwan Fals untuk anaknya, Galang Rambu Anarki. Cuma liriknya diubah jadi begini: “tinjulah congkaknya negara buah hatiku, doa kami di nadimu”. []

Saturday, May 8, 2021

Nyari Soul to Squeeze di Conehead

 Saya cukup serius dengan hobi musik sejak Red Hot Chili Peppers merilis album By The Way (2002). Mulai saat itu, beberapa album RHCP saya simak cukup khusyuk. 


Beberapa waktu setelahnya, kuartet yang sering telanjang dada ini merilis album kompilasi Greatest Hits. Di dalamnya ada lagu yang dibuat untuk sebuah film. Judul lagunya Soul To Squeeze, judul filmnya Coneheads. Keduanya keluar pertama kali tahun 1993.


Tahun ini, Coneheads rilis di Netflix. Demi kecintaan saya ke RHCP tadi, saya tonton film komedi itu.


Coneheads berkisah tentang alien dengan kepala runcing. Niatnya menginvasi, nyatanya mereka malah hidup berintegrasi dengan manusia setempat.


Seperti lazimnya film lain yang bermetafora tentang peminggiran kaum minoritas--macam film X-Men--Coneheads juga bersuara serupa. Keluarga alien ini ketauan otoritas setempat setelah memakai nama imigran yang sudah meninggal.


Sekali lagi, ini film komedi. Meski di beberapa momen mereka menyembunyikan identitas, di kesempatan lain keanehan mereka terlihat dianggap normal. Misalnya ketika tokoh Beldar memeriksakan giginya yang runcing di rongga mulut yang berlapis-lapis.


Nampaknya memang keanehan alien itu yang mau ditonjolkan film ini. Dari cara tidur vertikal, cara kencan yang beda, sampai logat bicara serupa robot. Bagi saya, semua itu nggak menarik. Nggak lucu. Karena memang saya nonton film ini demi RHCP.


Sayangnya, lagu favorit saya itu ternyata cuma tempelan musik latar yang cuma beberapa detik. Mood film ini juga ternyata beda sama music video Soul To Squeeze.


Di dalam video clip, empat orang personil RHCP ceritanya jadi anggota kawanan sirkus. Di luar Chad, Flea, Anthony dan John, ada seorang anonim berkepala menonjol ke arah atas, persis karakter Coneheads.


Bedanya, video bernuansa hitam putih itu terasa noir. Si Conehead dalam MV Soul To Squeeze terlihat jadi peluru sebuah meriam--gambaran kongkrit jiwa yang diperas (squeezed soul). Gaya itu lebih cocok sama mood lagunya. 


Bagi penonton lain, Coneheads mungkin lucu. Bagi saya, film komedi yang berhasil bikin ngakak, paling cuma Home Alone dan Le Petit Nicholas. Atau kamu punya usul judul lain? []

Buku Pak Celli Dari Gramedia Padjadjaran

 Gramedia Padjadjaran Bogor sudah almarhum. Bagi mereka yang tumbuh dewasa di kota hujan, tempat ini legendaris. 


Beberapa teman saya, sedih lihat pengumuman ini. Ada yang sering pake Gramedia Padjadjaran buat janjian--entah sama pacar, atau sama nonpacar. Haha. Ada juga yang baca gratis disana--jangan-jangan gara-gara kebiasaan ini pengelolanya susah balikin modal usaha.


Saya nggak sempet nanya alasan pastinya, tapi saya sempat tanya satu pertanyaan: ada cuci gudang nggak. Haha. Jawabannya ternyata nggak ada. Artinya nggak ada diskon khusus sebagai tanda perpisahan.


Surprisingly, buku yang saya beli ini, tetep didiskon. Karena ternyata, dibeli dalam periode "promo gedebuk" yang berlaku di semua Gramedia saat itu. Lumayan.


Dari Jokowi ke Harari isinya kumpulan esai buatan Rizal Mallarangeng atau akrab disapa Celli. Dia dikenal sebagai ilmuwan politik lulusan AS. Mantan wapemred Metro TV--yang kini jadi pemred Lampung Post--Abdul Kohar pernah menulis bahwa Celli inilah yang turut berkontribusi dalam tren penghitungan suara quick count di televisi--yang dipelopori Metro TV tahun 2004.


Dalam buku setebal dua ratusan halaman ini, kita bisa mengenal Pak Celli sebagai ilmuwan politik tadi. Dalam sebuah esai yang ditulis untuk Bill Lidle, ia mengisahkan pengalaman akademisnya sejak menempuh strata sarjana di UGM Yogyakarta hingga lulus dari OSU Columbus, Amerika Serikat.


Tulisan itu terasa personal sekaligus bergizi. Ada nukilan tentang pengalaman uniknya batal jadi dosen UGM akibat aktif di kegiatan kemahasiswaan. Ditulisnya bahwa momen itu: penanda zaman. Sebagai akademisi, Dalam judul yang sama, Pak Celli juga menyisipkan gagasan dari buku yang ia baca. Di situlah gizi yang saya maksud--yang dengan berlimpah kita temui pula dalam artikel lain dalam buku ini.


Judul terakhir memang berkisah tentang Bill Lidle--selain tentang Ashadi Siregar di bab yang sama. Meski begitu, Pak Celli menulis topik lain juga. Tentu saja, seperti yang tertulis di judul: dari analisa pidato presiden Jokowi, pembahasan fenomena presiden Trump, hingga resensi dua buku Yuval Noah Harari.


Bahasan-bahasan dalam buku terbitan 2019 ini sebenarnya banyak yang juga bisa dibaca di internet. Saya pernah baca artikel tentang Silicon Valley di situs Qureta. Rasanya ternyata beda. Ketika simak lagi tulisan yang sama di atas kertas, ada semacam ingatan yang terasa lebih melekat. Barangkali itulah keajaiban buku fisik yang nggak bisa digantikan piranti digital.


Menurutku, tulisan Pak Celli tentang Golkar dan Airlangga Hartarto terasa bias.  Kakak mantan menpora Rizal Mallarangeng ini memang punya jabatan di Golkar, sehingga tulisan yang saya maksud terasa kurang introspektif. 


Ada sih, sisi introspeksi soal prahara Setya Novanto dan Idrus Marham, tapi nggak kritisi penyakit korupsi itu sendiri. Airlangga Hartarto, juga terlalu disanjung sebagai technopol untuk konteks pemilihan calon wapres Jokowi di Pilpres 2019. Mungkin karena saya sekarang terganggu dengan gaya "technopol" menko perekonomian itu yang "kok lulusan sekolah yang sama dengan Donald Trump gaya bicara dan kelakuannya begitu?".


Seminggu setelah saya beli di Gramedia Padjadjaran dengan korting setengah harga, buku ini tandas saya baca. Soalnya memang se-nggak bisa berhenti dibaca itu. Gaya bahasanya terasa berrima. Ada kalimat panjang, disambung kata atau kalimat pendek berbahasa inggris. Pak Celli mungkin ingin makna dari gagasannya tidak terdistorsi oleh translasi. 


Selanjutnya, mungkin saya akan beli lagi kalau ada buku kumpulan esai lain yang diterbitkan Pak Celli. Mending baca lewat buku fisik, dibanding baca artikel di website. Dunia digital terlalu bising. []

Saturday, May 1, 2021

Read 9 Summer 10 Autumn After 10 Years

 Pada masanya, novel 9 Summer 10 Autumn jadi salah satu icon tren perbukuan yang didominasi kisah motivasional, semacam Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, dll. Di masa kini, kisahnya tetap terasa dekat.

Iwan Setyawan menceritakan dirinya sendiri. Sudut pandangnya unik: ada dua Iwan. Diri bersi dewasa bergelut dengan tantangan kehidupan di kota big apple, New York. Di sampingnya, ada imaji Iwan kecil yang tumbuh di kota apel, Malang.


Dalam paparan di bagian akhir buku ini, produser film yang disadur dari buku terbitan 2011 ini menulis, bahwa 9 Summer 10 Autumn bercerita tentang keluarga. Intinya memang: bagaimana dinamika relasi orang tua dan anak dalam memperjuangkan kehidupan mereka.


Selain karena kisah keluarga yang bikin hangat tadi, yang bikin saya tertarik baca tulisan Iwan Setyawan ini: kami sama-sama lulusan IPB. Tentu saja beda angkatan dan jurusan.


Dari novel ini pula, saya ketemu satu fakta kecil tentang Krisdayanti. Dia ternyata teman sekolah Iwan. Kata Mas Iwan sendiri: “dari kecil udah kayak artis”.


Sayang, saya belum nonton versi filmnya—yang dirilis tahun 2013. 

Miles of A Thousand Miles

 Saya tumbuh sebagai remaja di masa ketika Vanessa Carlton lagi naik daun dengan lagu hitsnya: A Thousand Miles—itu tahun 2002. Haha. Lagu itu tentang cinta monyet si penyanyi ke seorang pria—aktor terkenal—yang pada akhirnya nggak pernah dia kasih tau soal rasa sukanya.


Fakta itu ada di tayangan terbaru serial The Story Of dari Vice. Dokumenternya bagus banget.


Sejak awal tayangan, kita diperlihatkan tentang Vanessa yang sejak kecil berbakat seni. Dari seni tari balet lalu geser minat ke olah vokal.


Lalu lagu ciptaannya yang jadi fokus utama episode ini, mengantarkan dia ke seorang produser, Ron Fair. Bagian Ron Fair ngasih arahan ke Vanessa, jadi bagian favorit saya. Benar-benar terasa ketika dia ngetransfer energi ke artis yang dia handle. 


“Nah ini ombaknya udah dateng, ayo surf!” Katanya mengibaratkan lagu jelang reff.


Ada juga Marc Klasfeld, sutradara video musik yang digambarkan Ron sebagai “young, cool, guy with the vision”. Marc menerjemahkan brief dari Ron tentang “taruh Vanessa di belakang piano” dengan “simpan instrumen dan musisinya di atas sebuah mobil yang memperlihatkan beragam suasana”.


Inget video musik lagu Fine Today, yang dinyanyikan Arditho Pramono? Nah konsepnya sama.


Bagi Vanessa, lagu ini kayak esai yang dibuat oleh seorang penulis profesional yang dibuat di masa ketika dia SMA. Dia berterima kasih ke Interlude—judul awal lagu ini yang berarti “permulaan”. Karena dari permulaan itulah Vanessa akhirnya dikenal seperti sekarang. Dan seperti yang ditampilkan bagian akhir tayangan, lagu itu tetap hidup sampai sekarang. []