Saturday, September 7, 2019

Bawang

Sabtu siang ini saya sekeluarga diam di rumah. Kami memasak sama2. Saya giliran menyiapkan tumis buncis, sambil diarahkan windi yang gerakannya dibatasi permintaan sara untuk tetap ada di dekatnya—sara lagi sakit. Ketika bawang merah selapis demi selapis saya iris, rasa pedih di mata mulai terasa.

“Ini respon bawang menyesuaikan diri,” saya bilang dengan nada bicara sok tau.

Windi tergelak. Saya sekali lagi meyakinkan dia. 

“Lho beneran. Sebenarnya ini mekanisme dia buat berevolusi. Sama kayak tumbuhan lain, mereka menyesuaikan diri,” saya mulai membangun fondasi argumen.

“Tau nggak, kenapa strawberry merah dan manis? Agar warnanya mencolok lalu diambil hewan atau manusia biar bijinya yang udah matang siap menyebar dan tumbuh di tempat lain,” kali ini saya mengutip analogi dari sebuah buku.

“Terus kenapa strawberry mentah nggak enak? Karena bijinya belum siap disebar,” 

“Itu aku tau dari buku tebel yang biasa aku baca itu,” saya membeberkan sumber informasi. Windi masih terlihat senyum tipis.

“Selama ini kan kita taunya manusia yang berkuasa atas semua makhluk lain, padahal semuanya hasil interaksi. Jadi saling memanfaatkan,” saya nggak mau kalah.

“Kenapa nasi jadi makanan pokok? Itu cara mereka (tanaman padi) biar nggak punah. Jadi menyesuaikan diri dengan aktivitas manusia. Tentu saja mereka nggak mikir kayak manusia,” 

“Aku lagi suka pola pikir kayak gitu,” pembicaraan menuju babak akhir.

“Kalo di agama kan manusia pemimpin alam semesta. Nah kalo menurut biologi, kita ini sama aja sama yang lain, saling mempengaruhi,” Windi terlihat enggan mendebat. Penjelasannya sebenarnya bisa lebih panjang. Ada di buku Guns, Germs and Steel buatan Jared Diamond.[]