Monday, March 1, 2021

Ulat

Pagi ini saya sarapan ulat. Ya, Kamu nggak salah baca. Bubur yang ditaburi ulat tepung tepatnya. Saya dapat ulat jenis itu dari peliputan minggu lalu. Tim kami mengulas tentang makanan masa depan. 

Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) merilis kriteria makanan masa depan. Dalam prediksi yang mereka tulis untuk tahun 2050 ini, para ahli pangan merekomendasikan jenis makanan yang memenuhi prinsip Sustainable Development Goals atau SDGs. Tiga hal sih yang jadi syarat utama: mengentaskan kelaparan, bergizi, dan ramah sosial-ekonomi-lingkungan. Ternyata, ulat tepung alias ulat hongkong atau Tenebrio molitor, nampaknya memenuhi kriteria tadi. 

Pengusaha Ulat 

Saya ngobrol sama Koes Hendra, peternak ulat ini. Koes lulus dari IPB tahun 2019, tapi pengalamannya dalam hal ulat-ulatan bukan sejak dua tahun lalu itu. 
”Kita tuh waktu semester 5, saya juga aktif di kampus. Saya pengen usaha, gimana kita bias usaha tapi tidak menyita banyak waktu. Waktu itukankita di jurusan IPTP sangat padat semester 4, 5 dan 6 nya. Saya juga aktif organisasi. Saya mikir gimana caranya bisnis tanpa menyita banyak waktu, nah caranya adalah budidaya serangga. Waktu itu emang almarhum dekan kita namanya Pak Yamin dia ingin mencetak 10 entrepreneur gitu kan di divisi dia, kan dia baru menjabat waktu itu. Ingin mencetak 10% dari jurusan itu untuk menjadi wirausaha yang mana pada saat kita lulus dari jurusan IPTP itu penyumbang 60% entrepreneur dari IPB, satu jurusan aja.” 
Berbekal semangat kewirausahaan itu, Koes dan kawan-kawannya lalu beternak semut kroto di tahun 2016. Percobaan itu terhenti setelah mereka sadar bahwa serangga yang satu itu sulit diatur. Kata Koes, parameternya terselubung. Pada akhirnya mereka mengembangkan makanan si semut kroto itu: ulat tepung. 

Pernah Rugi

Namanya juga usaha. Kalo gagal, wajar. Dan pengusaha sejati, bangkit dari kegagalan itu. Koes pernah dimodali orang tuanya sebesar 10 juta rupiah untuk bisnis ulat tepung ini—dari alokasi dana pendidikannya hingga level sarjana. Sayang, mitra bisnis mereka kurang kooperatif. 

Keterpurukan itu, membuat Koes dan timnya harus menyesuaikan diri dengan situasi. Mereka sampai harus tidur di kandang. 
"Kita beli waktu itu 9kg ulat, kita pelajari harus bagaimana dan kita tidur di kandang. Sampai sekarang ada ruangan kita itu, jadi bener-bener ruangan kecil kita tinggal bertiga waktu itu. Jadi kita hidup bersama ulat, ulatnya kita taro di kamar kita, di kampus." 
"Ya keterpurukan itu memang susah, karena ya waktu itu kita makan aja bareng-bareng yang penting ada nasi lah ya, sisanya ya disitu kan banyak tumbuh-tumbuhan kemudian ada kolam ikan, ada banyak. Jadi kita merawat kandang itu juga, nanam-nanam juga sembari kita belajar ulat ini. Kurang lebih waktu yang kita butuhkan 1 tahun sampai kita bias produksi massal.” 

Pangan vs Pakan

Tahun 2018, Koes dan kawan-kawan punya 5 unit cabang usaha. Nilai asetnya sekitar 3 milyar rupiah. Ulat tepung yang mereka ternak, diolah jadi abon yang dikemas dalam merk MeFu atau Mealwork Furikake. Dalam peliputan minggu lalu, saya dan tim mempraktikkan proses pengolahannya. Ternyata gampang. Ulat cukup dikeringkan pakai oven, lalu dilumat, dan sisanya tinggal dicampuri beragam bumbu. 

Abon MeFu sampai sekarang dijual di Gerai IPB dan beberapa toko dalam jumlah terbatas. Ide membuat abon dari ulat tepung, datang dari sebuah pesanan dari luar negeri. 
"Tahun 2019 kita kedatangan buyer dari finlandia, dia jauh-jauh datang dari Finlandia ke sini dari Nordic Insect Economy, CEO-nya datang ke sini untuk pesan ulat hongkong ke kita. Waktu itu saya tawarin samplenya, ‘wah ini bagus’, karena emang kita paling bagus daripada produk-produk impor. Karena di China itu ada produk keringnya cuma kualitasnya kurang, mulai dari sisi nutrisi lalu karakteristiknya segala macem itu kurang. Ketika saya tawarkan dengan produk saya nih, ‘bagus nih’, kadar air kita juga di bawah 5% itu udah memenuhi food ekspor kan, untuk kadar air di bawah 5% untuk serangga. Itu yang dimaksudkan kering." 
Pangsa pasar yang ditempati Koes dan perusahaannya, berpotensi tinggi di masa depan. FAO mengingatkan kita bahwa ada lebih dari 1.900 spesies serangga yang bisa dimakan manusia. Sementara, hasil riset Global Market Insights menyitir bahwa nilai ekonomi serangga pangan akan capai 7,4 trilyun rupiah di tahun 2023. 

Antisipasi semacam inilah yang dihadirkan dalam tayangan 15 Minutes yang tim saya kerjakan. Kami mengedukasi penonton tentang adanya potensi makanan masa depan berupa larva kumbang. Selain itu, ada pula beberapa inovasi yang berpotensi memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan 10 milyar manusia di tahun 2050. []