Friday, April 21, 2023

Pura





 
Dalam kolom Cari Angin yang terbit dalam sebuah edisi Koran Tempo, Putu Setia mengulas tentang toleransi. Ia menulis bahwa pembuatan aturan yang kaku untuk pendirian rumah ibadah justru memunculkan situasi intoleran, karena bias mayoritas.

Dalam esai yang sama, pendeta Hindu bernama Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda  itu menyebut dua pura besar yang didirikan di daerah mayoritas muslim. Pertama, Pura Mandhara Giri Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur. Saya pernah ke sana saat dulu membuat liputan booming wisata pendakian ke gunung Semeru pasca populernya film 5cm.

Pura kedua yang ia sebut sebagai contoh bagus toleransi beragama, ada di kaki gunung Salak, Bogor. Sebagai warga kota hujan, saya merasa harus mengunjungi pura bernama Parahyangan Agung Jagatkartta itu.

Suatu pagi, saya bertolak dari pusat kota setelah solat subuh. Perlu waktu sekitar 45 menit menuju lokasi yang sudah ditandai di aplikasi Google Maps.

Perjalanan menuju titik setinggi 800 meter di atas permukaan laut itu melintasi kondisi jalan yang cukup nyaman untuk dilalui dengan mobil jenis sedan. Ada beberapa jalan rusak, tapi tidak sampai merusak kendaraan jika saat menyetir kita bisa menyesuaikan kecepatan.

Pura Parahyangan Agung Jagatkartta berdiri di atas lahan seluas 2,5 hektar. Untuk masuk, kita perlu memakai kain khusus. "Bisa beli di atas," kata Pak Sugeng, seorang petugas kebersihan.

Pak Sugeng dengan ramah menceritakan tentang kawasan pura. Katanya, dia bisa mengantar saya untuk menjelajahi titik lain di dekat situ.

Saya sebetulnya tertarik dengan ajakan Pak Sugeng untuk menambah dua jam kunjungan demi menjelajahi kawasan Ciapus itu. Sayangnya, saya sedang puasa dan akan butuh minum kalau ikuti ajakannya. Saat saya tanya kontak Pak Sugeng untuk lain kali janjian, dia bilang "nggak punya handphone, nggak bisa mencetnya".

Pada akhirnya, saya duduk-duduk saja di tangga dan pinggiran gerbang masuk sambil berjemur. Sempat pula saya jalan kaki ke arah ujung jalan. Ada tempat wisata Kampoeng Salaka kalau kita terus menerabas jalan.

Setelah puas menikmati suasana, saya bertolak pulang dan pamit ke Pak Sugeng. Katanya, kalau mau diantar ke tempat yang dia janjikan di lain hari, saya cukup datang sekitar jam 10 pagi. Dia janji mau memperlihatkan tempat petilasan Prabu Siliwangi. "Ada lima," katanya meyakinkan. []