Wednesday, May 27, 2015

Menilai Entrok dan 86

Saya baru khatamkan dua buku novel buatan Okky Madasari: Entrok dan 86. Sebenarnya kedua novel itu sudah saya beli sejak lama. Entrok keluaran 2010, saya beli dua tahunan lalu, sementara 86 sekitar setahun setelahnya. Tapi baru kali ini saya punya mood buat menamatkannya. Lalu saya punya kesan tersendiri setelah dua buku itu habis dilahap. Inilah beberapa hal yang ingin saya bagi tentang kedua novel itu.


Monday, May 18, 2015

Pelajaran Dari Kelas Angkatan 92


Saya baru khatam menonton sebuah film dokumenter, judulnya The Class of 92. Film ini berkisah tentang 6 orang pemain bola tim Manchester United yang direkrut divisi pengembangan pemain baru pada tahun 1992. Mereka adalah David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs, Gary Neville, Philip Neville dan Nicky Butt. Keenam orang ini, tujuh tahun setelah mereka merumput bersama, meraih gelar treble winner. Gelar itu disematkan bagi tim yang berhasil meraih juara di tiga kompetisi besar.

Friday, May 8, 2015

Mary Jane Veloso dan Film Tentang Hukuman Mati

Kemarahan Jelang Vonis Mati
Tahukah kamu, bahwa dalam proses persidangan di Amerika Serikat, hakim dibantu oleh juri. Sejak tahun 1898, Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa dewan juri harus terdiri dari setidaknya 12 orang. Mereka nantinya berdiskusi untuk memberikan masukan putusan kepada hakim sehingga putusan hakim benar-benar tepat. Para anggota juri adalah warga yang tinggal di daerah yurisdiksi pengadilan. Mereka memantau jalannya sidang sejak awal. Semua keterangan saksi, tuntutan jaksa dan pembelaan pengacara juga disimak untuk jadi bekal mereka merumuskan rekomendasi kepada hakim. Sebuah rekomendasi tim juri baru bisa diputuskan jika semua anggota setuju atas sebuah pendapat. Pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan bahwa angka 12 orang juri tersebut adalah kecelakaan sejarah, sehingga selanjutnya jumlah juri hanya 6 orang agar pengambilan keputusan lebih efektif dan efisien. Tantangan untuk bersatu suara dalam sebuah tim juri, tergambar menarik di film rilisan tahun 1957 berjudul 12 Angry Men.


Twelve Angry Men berkisah tentang perdebatan tim juri untuk memutuskan apakah mereka akan merekomendasikan ke hakim bahwa seorang pria 18 tahun benar-benar bersalah atas pembunuhan ayahnya. Jika mereka merekomendasikan bahwa anak itu memang bersalah, maka ia lebih rentan berakhir di kursi listrik untuk dihukum mati. Pengambilan keputusan tersebut sangat penting karena selain menentukan hidup atau matinya seseorang, terpidana yang dibincangkan ini usianya masih muda, meski pun memang sudah cukup dewasa. Saya jadi ingat kasus Yusman Telaumbanua, seorang terpidana mati pembunuhan asal Nias, Sumatera Utara. Ada simpang siur tentang usia Yusman. Sebuah dokumen menyatakan bahwa ia divonis mati ketika masih berstatus anak-anak. Sementara data lain justru menunjukkan bahwa usianya sudah 18 tahun ketika divonis, sehingga putusan itu wajar karena Yusman sudah dewasa. Baiklah kita lupakan dulu kisah Yusman.

Thursday, May 7, 2015

Menonton Novel Tanpa Huruf R

Saya baru menyaksikan film Novel Tanpa Huruf R. Diarahkan oleh Aria Kusumadewa, film buatan tahun 2004 ini punya identitas khas ala sutradaranya, seperti yang saya juga saksikan di film Kentut buatan orang yang sama. Novel Tanpa Huruf R mengisahkan tentang Drum dan ayahnya yang jadi korban selamat kerusuhan di Ambon pada awal tahun 2000an. Mereka kemudian tumbuh dekat dengan kekerasan, atau brutalitas. Ayah Drum bekerja sebagai tukang jagal sapi. Otomatis ia familiar dengan terpaan darah dan kematian, termasuk dengan kematian ayahnya ketika Drum dewasa. Drum dan Talang, seorang tuna rungu dan tuna wicara yang dikenalnya sejak kecil kemudian tumbuh bersama di kawasan pantai. Drum pun menulis sebuah novel berjudul Kejet-Kejet. Novel itu menarik perhatian seorang mahasiswa bernama Sunyi untuk membahas novel itu dalam sebuah karya tulis. Dari situlah kemudian konflik berkembang. Sunyi kemudian tahu bahwa Drum punya sebuah kebiasaan aneh yang mungkin berkaitan dengan proses kreatif kepenulisannya.


Bagi saya, ini film naratif yang merespon tren kekerasan yang memang marak di periode waktu itu. Dalam sebuah tugas peliputan, saya pernah berjumpa Hary Sudwijanto, yang saat itu menjabat posisi direktur resor kriminal umum polda Kalbar. Pak Hary berkisah tentang riset ilmiahnya pada awal tahun 2000an. Ia meneliti tentang cara media memaparkan kekerasan yang sedemikian vulgar. Ingatkah kamu dengan tayangan Buser? Sergap? Patroli? Atau program lain semacamnya? Kala itu program berita kriminal tayang di siang hari, dengan tampilan gambar yang dramatis: pengejaran penjahat, tampakan mayat dan darah, dll. Ternyata, "gambar bagus" itu memang sengaja dibuat, direkayasa. Misalnya ketika polisi menangkap seorang penjahat, maka ia akan memanggil wartawan. Para mat kodak itu tentu ingin mendapat gambar dramatis agar menarik perhatian penonton. Maka polisi dengan sengaja melepas si penjahat, lalu ditembaklah si penjahat yang lari. The more it bleeds, the more it leads. Demikian mantra layar kala itu yang juga senada dengan figur di film Nightcrawler. Mengerikan bukan? Karenanya, sekarang metode tersebut tak lagi digunakan karena tentu menentang HAM juga. Di film Novel Tanpa Huruf R, fenomena itu disindir dengan caranya tersendiri. 


Tapi ada beberapa hal yang saya pertanyakan dari film yang didominasi lagu Slank berjudul Bulan Bintang itu. Misalnya adegan Drum yang tiba-tiba tertawa setelah memberi sebatang rokok kepada seseorang di jalan. Drum lalu tertawa terbahal setelah itu. Apa maksudnya? Talang yang dikisahkan tak bisa mendengar pun, toh bisa menoleh ketika namanya dipanggil Drum. Sayang sekali detil kecil itu harus muncul. Tapi secara keseluruhan ini film yang tentu penuh makna. Novel Tanpa Huruf R adalah potongan pemberi makna terhadap suatu fenomena. [rhezaardiansyah]