Wednesday, August 11, 2021

Film Tentang Hoaks di Tahun 1982

 


Judulnya memang seakan-akan ini film tentang suasana di hari pembalasan. Orang baik akan sukses melintas titian serambut dibelah tujuh, atau sebaliknya. Ternyata, tidak ada akhirat di film ini, melainkan sebuah "tanah jahanam".


Saya sebut "tanah jahanam" karena kampung itu dikisahkan sarat dengan prasangka. Ada seorang gadis yang dituduh kerasukan setan.


Padahal dia gila gara-gara difitnah. Nasib buruk si gadis berkaitan dengan seorang ahli agama yang ternyata tak sebaik ajarannya. 


Ke sanalah Ibrahim datang. Dia seorang guru mengaji. Alih-alih ditakuti murid semacam ahli agama tadi, Ibrahim justru disukai.


Meski begitu, dia punya tantangan lain. Pertama, menyadarkan penduduk kampung agar jangan termakan hoaks--tentu saja istilah itu nggak ada di film produksi tahun 1982 ini. Kedua, sesuai judul film, Ibrahim harus selamat dari fitnah yang menimpa dirinya sendiri.


Isu simpang siur informasi, rupanya relevan sampai hari ini. Kita mudah ambil contoh soal ini: dari peristiwa di sekitar momen pemilihan umum, hingga pengelolaan pandemi covid-19.


Dalam konteks kala itu, saya lebih suka mengaitkan makna bahwa persekusi terhadap si gadis yang dituduh kerasukan tadi, rupanya kritik atas pelabelan komunis di masa ketika Presiden Soeharto berkuasa. Selama 30 tahun itu, mayoritas penduduk Indonesia saling curiga. 


Ratusan ribu hingga jutaan orang kemudian meninggal tanpa melewati pengadilan, cuma gara-gara sebuah tuduhan yang belum tentu betul. Dan kalau pun betul, masa iya pembunuhan musti jadi ujungnya.  


Titian Serambut Dibelah Tujuh juga menyisipkan sentilan soal kepemimpinan. Ada seorang karakter kakek pengembara yang muncul di awal dan akhir kisah. 


Ia sempat memperingatkan bahwa warga kampung yang akan didatangi Ibrahim ibarat layangan putus. Sementara di akhir, Ibrahim diingatkan si kakek tentang memanfaatkan kepercayaan warga buat si guru ngaji. Sekali lagi, di masa ketika kritik harus dibuat sesubtil mungkin, rasanya di sanalah beberapa hal menemukan makna. []

Sunday, August 8, 2021

Sentilan Buat Eksploitasi di Industri Fashion

 Gimana caranya ngenalin isu eksploitasi pekerja di industri tekstil, tanpa jadi bingung dan malah jadinya lucu? Ya, lewat nonton film ini. 


Zoolander, ceritanya tentang kehidupan absurd model pria. Pemenang tiga tahun berturut-turut model terbaik dalam tahun itu, kalah bersaing.


Derek, si model tokoh utama kita--yang diperankan komikal maksimal oleh Ben Stiller--harus mengakui kharismanya kalah sama model lain, Hansel yang diperankan Owen Wilson--nggak jelas juga sebenanrya kriteria model pria terbaik itu apa. Haha.


Dengan kekalahan itu,  Derek malah ditawari kerjaan sama Mugatu, seorang fashion influencer yang sejak awal film peran antagonisnya udah diungkap. Mugatu yang dimainkan oleh Will Ferell, sebenarnya bekerja buat sekelompok "mafia" yang ingin melestarikan eksploitasi pekerja di bidang fashion tadi. 


Caranya: rekrut model pria "terabsurd" buat dijadikan agen rahasia. Si model bakal bertugas membunuh pemimpin baru sebuah negara yang warganya jadi pekerja industri busana tadi. Nama negaranya: Malaysia.


Di negara tetangga kita, jelas film ini berujung dilarang tayang. Soalnya memang candaannya bisa jadi menyakitkan bagi kaum nasionalis harga mati. Hansel setidaknya dua kali nyebut nama mikronesia dan apa gitu satu lagi. Haha. 


Padahal keliatannya, yang dikritik mungkin China. Soalnya si presiden "malaysia" bernama dan penampilan khas negara yang kini jadi sumber pekerja murah itu--buktinya, korporasi besar produksi barangnya malah di sana. Jadi, ketersinggungan soal Malaysia sepertinya berlebihan.


Mungkin yang seharusnya tersinggung justru para model pria di dunia nyata. Soalnya memang kehidupan mereka di film ini keliatan konyol. 


Untungnya para model barangkali sadar bahwa ini komedi. Kalau pun misalnya memang model pria itu seaneh demikian, ya ketawain aja.