Sunday, March 23, 2014

Something In The Way

Oleh: Rheza Ardiansyah


"Ini bukan film tentang pornografi. Ini tentang orang yang berhubungan dengan pornografi," kira-kira demikian jawaban Teddy Soeriaatmaja ketika ditanya apa filmnya identik dengan tren film Indonesia yang katanya selalu berbumbu seks dan komedi. Penjelasan Teddy yang bernada tegas beralasan karena memang filmnya yang barusan diputar tidak demikian. Seri kedua trilogi kehidupan masyarakat urban Jakarta itu kini hadir lagi dengan judul Something In The Way.

Something In The Way berkisah tentang seorang sopir taksi bernama Ahmad (Reza Rahadian) yang hobinya bermasturbasi. Ia lakukan itu ketika menunggu penumpang, ketika sendirian di rumah susunnya, ketika di kamar mandi, hampir dimana-mana. Tapi, Ahmad ini relijius juga. Dia solat. Siang hari sebelum cari penumpang ketika malam, Ahmad menghadiri ceramah di masjid. "Film ini tentang kita yang kadang rajin pergi ke mesjid, ke gereja, ke tempat ibadah, tapi juga tetap melakukan dosa," Teddy menggambarkan di sebuah sesi tanya jawab.

Konflik dalam film ini muncul setelah Ahmad mengenal dan jatuh cinta dengan Kinar, seorang pekerja seks komersial yang ternyata tetangganya. Namun Kinar terganggu dengan cara Ahmad menunjukkan yang perasaannya. Ahmad dinilai mengusik profesi yang telah ia jalani selama 13 tahun. Ada tiga bab yang menjadi jeda sekian detik di film ini. Ketiganya berdasarkan fluktuasi interaksi Ahmad dan Kinar.

Something In The Way adalah film kedua Teddy yang digarap bukan berdasarkan pesanan. Biasanya putra mantan duta besar Indonesia di Austria ini jadi sutradara "sewaan". Setelah kenyang mengolah Banyu Biru (2005), Ruang (2006), Badai Pasti Berlalu (2007) hingga Rumah Maida (2009), Teddy menempuh jalur lain ketika menggarap Lovely Man (2011). Lovely Man kemudian mengantarkan Donny Damara, aktor utamanya, menyabet gelar aktor terbaik dalam gelaran Asian Films Awards. Film ini juga diganjar penghargaan Best Director dan Best Film di Festival Film Palm Spring AS.

Nasib serupa dialami Reza Rahadian. Berkat membintangi film Something In The Way, ia menjadi aktor terbaik versi majalah Tempo tahun 2013. Predikat yang diraih Reza memang setimpal dengan yang ia tunjukan di film berdurasi hampir 90 ini. Sosok Ahmad dalam tubuh Reza terlihat sedemikian kikuk, canggung, sekaligus emosional di saat lain. Kata Teddy sang sutradara, Reza terpilih karena permainan memukaunya di film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta.

Donny Damara hadir lagi di Something In The Way. Meski belum menonton film Lovely Man, kehadiran Donny saya rasa bisa mendistraksi sosoknya yang digambarkan berbeda di film pertama. Teddy berargumen pemilihan Donny karena ia dinilai pantas memerankan tokoh itu. Demikianlah Teddy bergaya memainkan "instrumen" dalam filmnya. Suka tidak suka itulah dia. Saya juga harus maklum ketika tokoh Pinem selalu tampil sedang menyantap mie, sehingga terkesan dia makan mie tiap waktu. Sang sutradara mengaku sadar dan memang itu yang ia ingin perlihatkan. Apapun itu, gagasan Teddy menampilkan kisah dan mendramatisasinya tetap memikat. Something In The Way saat saya menyaksikannya di Galeri Indonesia Kaya Sabtu (23/3) lalu, belum ditayangkan di bioskop Indonesia manapun. Makanya tak heran sang sutradara meminta penonton menitipkan semua ponsel dan alat rekam saat menyaksikan film itu. Jadi kapan filmnya tayang di bioskop? Entahlah, saya lupa nanya. Hehe.

The Raid 2: Berandal

Oleh: Rheza Ardiansyah

Di sebuah pematang perkebunan tebu, suatu sore, dengan langit kelabu pekat. Sebuah lubang kubur terbuka menganga, siap menyambut penghuni barunya, Andi (Donny Alamsyah). Dengan tangan terikat, ia diseret orang-orang Bejo (Alex Abbad), seorang bos mafia berkacamata hitam dengan kaki pincang. Andi dan Bejo kemudian saling lempar kata, sebelum sebuah hal mengejutkan terjadi. Demikian The Raid 2: Berandal memulai kisah.

Beberapa saat setelah mereka berpisah, Andi dan Rama (Iko Uwais) meniti kisah masing-masing. Rama mengikuti saran kakaknya Andi untuk menemui seorang polisi bersih, Bunawar (Cok Simbara). Disodori bukti kejahatan, Bunawar pesimistis. Ia tawarkan Rama sebuah peran: menyusup ke dalam organisasi mafia penguasa kota yang ada di belakang para polisi korup. Telanjur basah, Rama terima tantangan itu. Namanya kini Yuda. Di dalam sebuah penjara kemudian ia ada. Misinya, masuk organisasi mafia melalui anak pemimpinnya bernama Uco (Arifin Putra). Uco di dalam penjara mencari pengakuan. Ia sedang diproyeksikan mengganti Bangun (Tio Pakusadewo), ayahnya yang menguasai seperdua wilayah kota. Separuh lainnya dikuasai mafia pimpinan Goto (Kenichi Endo). Goto dan Bangun hidup harmonis dengan jatah wilayah masing-masing. Bejo, yang belum punya wilayah kekuasaan, berusaha memecah keduanya. Perebutan wilayah kekuasaan antar kelompok mafia itulah garis merah film ini.

Liku perebutan kekuasaan kelompok mafia dalam The Raid 2: Berandal, diwarnai drama serta audio visual yang brutal, kelam, sadis, sekaligus indah. Ada banyak "subjudul" pertempuran di dalamnya, sebut saja yang pertama dihadirkan, perkelahian di lapangan berlumpur penjara. Itu baru satu hal. Masih ada adegan adu jotos di dalam mobil yang sedang melaju, kejar-kejaran di jalan, hingga pembantaian oleh tokoh-tokoh dengan karakternya yang khas.

Penokohan yang kuat dalam film ini memperkuat kesan komikal The Raid 2. Dalam wawancaranya di majalah Tempo, sutradara Gareth Evans mengakui niatnya meng-komik-kan Jakarta. Kota dalam film ini adalah antah-berantah. Meski kita bisa mengenali kawasan Blok M, atau sekitaran Distrik Pusat Bisnis Sudirman (SCBD) Jakarta, kita bakal dikecoh ketika melihat kota yang sama bersalju. Diakui Gareth ketika menghadiri midnight show di Blitz Megaplex Grand Indonesia Sabtu (23/3) lalu, tujuannya mendinginkan Jakarta agar mendukung suasana seorang tokoh Prakoso. Sebagai Prakoso inilah Yayan Ruhiyan kini tampil. Berambut panjang terurai berantakan dan berlaga seperti gelandangan, anehnya Koso beristri cantik, seorang anonim yang diperankan Marsha Timothy. Meski tak terlalu banyak scene yang menghadirkan Koso, toh penggambaran watak ayah rindu anak itu demikian jelas. Kekuatan watak itu juga terjadi di tokoh lain. Semua hadir dengan ciri khasnya masing-masing. Bejo si anak tukang sapu jalan yang jadi bos mafia, si pria dengan stik base ball yang dengan senyum meminta bola ke musuhnya (Very Tri Yulisman), si wanita bisu bermartil dua yang ternyata kekanakan (Julie Estelle), si pria minang pendiam dengan sepasang karimbit di tangan (Cecep Arif Rahman), dan Eka (Oka Antara) si tangan kanan Bangun. Tokoh-tokoh tersebut adalah kunci dalam setiap fragmen adegan menarik dalam The Raid 2.

Film berdurasi lebih dari dua jam ini menyisakan sebuah adegan misterius di akhir. Sebuah saat ketika satu pembicaraan ditutupi musik latar yang merepetisi. Detik-detik "yang hilang" itulah jabang bayi The Raid 3. "Jika The Raid 2 berawal kisah beberapa jam setelah pertempuran di gedung, maka The Raid 3 akan menceritakan beberapa saat sebelum adegan terakhir terjadi," begitu kira-kira Gareth menjelaskan. Katanya sih sudah rampung. Saya berharap memang demikian. Semoga tak perlu menunggu bertahun-tahun buat bisa menyaksikan yang ketiga. []

Monday, March 17, 2014

300: Rise of an Empire (Perang di Lautan Darah)


Menyaksikan film 300: Rise of an Empire, seakan memasuki mimpi buruk. Yunani kala itu begitu suram. Ditambah suasana invasi kerajaan Persia dan tumpahan darah perangnya, film itu cukup kuat menghadirkan peradaban lampau yang menyeramkan. Saya sebenarnya ketinggalan 10 menit pertama. Tapi toh saya tetap bisa mengalir dalam alur cerita yang menjadi prekuel sekaligus sekuel film 300 itu. Dikisahkan kerajaan Persia pimpinan raja Xerxes ingin menginvasi Yunani, termasuk Athena dan Sparta. Sparta yang dikenal dengan manusia beringasnya seperti dikisahkan di film pertamanya yang keluar 2007, menyerang penjajah dengan 300 pasukan dan gagal karena pengkhianatan. Beda dengan film pertama yang fokus di para Spartan, kali ini film didominasi pertempuran orang Athena pimpinan Temistokles.

Temistokles adalah jenderal yang berhasil membunuh raja Darius, pimpinan Persia sebelum digantikan Xerxes. Ia memanah dari jarak jauh hingga Darius tewas. Dalam menghadapi invasi kedua Persia ke kotanya, Temistokles berhadapan dengan Artemisia, seorang panglima perang berdarah dingin yang menjadikan dendam pribadi sebagai motifnya menyerang Yunani. Artemisia sebenarnya orang Yunani, tapi keluarganya dibantai tentara sipil. Ia pun tumbuh bersama dendam, setelah seorang Persia menyelamatkan dan melatihnya bertarung. Perang antara pasukan pimpinan Temistokles dan Artemisia inilah inti kisah Rise of an Empire.

Artemisia dan Temistokles banyak bertarung di laut. Pertempuran kedua armada pun menjadi daya tarik tersendiri di film ini. Bagaimana Temistokles berstrategi dengan armadanya, bagaimana kuat dan banyaknya tentara Artemisia, tergambar indah dalam banyak gerak lambat. Kemana para Sparta? Ada. Mereka menolak bergabung dengan Athena karena merasa Sparta adalah wilayah terpisah yang merdeka. Para orang Athena yang rata-rata petani dan pujangga, kemudian harus bertarung tanpa bantuan para manusia brutal dari Sparta. Mampukah mereka menghalau Artemisia dan rajanya Xerxes?
(rhezaardiansyah)

Regenerasi ARTE

Rangkaian acara pameran seni ARTE hadir lagi. Kali ini ia datang dengan tema re:generation. Ada empat interpretasi dari tema ini. Pertama, karya-karya yang ditampilkan mewakili kondisi generasinya saat ini. Kedua, ada juga yang memaparkan kemungkinan yang terjadi di masa depan dengan karyanya. Ketiga, sejumlah karya memperlihatkan adanya jarak antar generasi. Lalu yang terakhir, ada juga yang berupaya mengenang masa lalu. Dari 400 karya yang masuk, telah lolos seleksi 72 diantaranya. Mereka lahir dari 57 orang seniman. Berikut ini akan saya ceritakan beberapa karya yang bisa saya bahas.
Seorang komikus bernama Azer menampilkan karya melalui goresan tinta diatas kertas yang berisi kritikan tentang sejumlah hal. Misalnya, tentang media sosial yang justru membuat seseorang antisosial. Ada juga tentang nostalgia super hero masa kecil yang dikaitkan dengan teknologi terkini. Azer juga menampilkan fenomena sosial yang tak hanya berkaitan dengan media sosial. Goresannya sederhana, minim warna, tapi sarat makna.
The Bomber's Heart. Demikian saya melihat karya The Popo Bertajuk D.O.A. Entah berarti doa entah maknanya dead or alive (you always be in my heart dad). Tahun lalu ayah Ryan "Popo" Riyadi berpulang. Sejumlah karya visual bernafas kenangan bersama ayah pernah ia produksi. Kali ini ia melakukannya lagi di ARTE. Ada lima adegan unik seorang ayah dan anak khas The Popo. Yang juga menyentil hati, di satu bagian Popo menuliskan kutipan kalimat ayahnya, "Tuhan memberikan surga-Nya lebih dulu di dunia kepada saya yaitu anak-anak saya".

Monday, March 10, 2014

Jejak Brutalitas Konser Teenage Death Star

Konser pertama Teenage Death Star di tahun 2014 baru dihelat. Saya beruntung jadi salah satu yang ada di tengah teriakan, lembab keringat dan bentur-gesekan rianya suasana pesta itu. Penampilan Teenage Death Star kali ini bertempat di IFI Bandung. Dua band pembuka menghangatkan amplifier. 


Yang pertama Jenny Be Good. Empat orang personilnya perempuan semua. Musik yang mereka mainkan ada nuansa blues/rock n roll. Cukup atraktif, menghibur, komunikatif. Beberapa kali tawa saya tersungging mendengar candaan si mojang dengan logat sundanya yang kental.


Band kedua namanya Zaggle Griff. Kuartet pejantan ini terdengar bermusik rock alternatif. Ada nuansa emo/shoegaze/post-rock juga. Tapi entahlah apa itu nama tepatnya. Mereka ditanggapi dingin, karena mereka juga berlaku dingin diatas panggung. 


Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba juga. Teenage Death Star naik akhirnya panggung. Band bentukan 2002 ini langsung menggeber lagu-lagu di dari album Long Way To Nowhere, album penuh mereka satu-satunya. Sebenarnya TDS punya minialbum yang dirilis berbentuk kaset dan CD yang jadi bonus Majalah Cobra edisi perdana. Minialbum itu isinya rekaman selama akhir tahun 80an. Tapi mereka tak membawakan satu pun lagu dari sana. Lupa kata Alvin sang gitaris. Saat itu katanya terlalu banyak drugs. Haha. Tapi toh meskipun lagu yang dinyanyikan itu-itu juga, penampilan mereka tetap asik.


Berikut kamu bisa tonton sendiri suasana konsernya melalui video di bawah. Disana terlihat suasana saat lagu Absolute Beginner Terror disuguhkan. Tanpa babibu, panggung langsung rusuh. Stage diving langsung menyambut. Ya karena mungkin itu lagu terakhir, jadi suasana sudah benar-benar panas. Entah kaki siapa yang ada diatas kepala. Entah siapa lagi yang pakai topeng singa itu. Semua chaos. Saya lalu terlempar keatas panggung yang tingginya cuma selutut, lalu sadar di sebelah saya Iyo bermain bass dengan ugal-ugalan. Dia seakan lupa bahwa perban masih menempel di jidat kirinya. Iyo atau Satrio ini kepalanya dihajar oknum polisi karena dia melanggar aturan jam malam di Bandung. Lalu sadarlah saya sudah diatas. Di pojok sana Sir Dandy sudah bertolak pinggang, pasrah mikrofonnya dikuasai seorang fotografer perempuan. Pandangan saya kembali ke massa di bibir panggung, lalu reff tiba. Dengan kamera dalam posisi merekam, saya terjun bebas. Jelas saya tersungkur, lalu seseorang membangunkan, entah siapa. Rusuh lagi. 

Lagu terus mengalun. Sir Dandy nampaknya malas menyanyi, atau lupa liriknya. Lalu Iyo menunjuk seseorang di hadapan saya yang menundukkan kepala di lantai panggung. Semua lalu meneriakinya. Dia sadar, lanjut nyanyi lagi dengan muka meringis dan mata tertutup. Hahaha. Gila. Sekali lagi, saya naik panggung dan loncat. Lagu tiba di interval akhir. Alvin dengan gaya superman-nya melompat ke bawah panggung. Semua menangkap dia. Iyo tak mau kalah dengan Alvin. Dia dibopong umatnya. 

"We want more! We want more!" teriakan menagih encore terlontar. Tak ada yang menggubris. Lampu panggung mati. Tunggu dulu, bukan berarti tak ada apa-apa lagi di panggung. Iyo mengajak tos orang-orang yang tersisa. Dia bilang yang mau berfoto bisa naik panggung. Saat semua sudah siap diatas, yang mengajak hilang. Haha.

Dalam video di bawah ini saya sertakan juga foto-foto selama pertunjukan berlangsung. Ada visualisasi kegilaan Alvin ber-stage diving bersama gitarnya, Sir Dandy berguling-guling, Sir Dandy tampil sendirian sebagai Sir Dandy bersama "Anggur Merah" dan "Chris John"-nya, dan tentu saja yang paling epik adalah tampakan ketika semua personil Teenage Death Star menyerahkan senjatanya masing-masing untuk dimainkan penonton. Kecuali Firman di kursi drum, semua personil TDS cuma jadi penari di lagu All That Glitters Are Not Gold.

Kamu yang ketinggalan kesempatan bergila ria bersama Teenage Death Star, masih bisa hadir di panggung TDS berikutnya di Jakarta tanggal 22 Maret. Fuck Skill, Let's Rock! (rhezaardiansyah)