Monday, November 23, 2015

Pameran Seni Rupa Indonesia di Frankfurt

Seiring dengan kehadiran Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam gelaran pameran buku terbesar di dunia Frankfurter Buchmesse, digelar pula serangkaian acara yang juga bertema Indonesia. Salah satunya di sebuah galeri di area Romerberg kota Frankfurt. Nama galerinya Frankfurter Kunstverein. Di dalam tempat pameran seni kontemporer ini, empat seniman atau kelompok seniman Indonesia unjuk karya. Mereka adalah Joko Avianto, Jompet Kuswidananto, Eko Nugroho dan kelompok Tromarama (perupa dari Bandung yang terdiri atas Febie Babyrose, Herbert Hans, dan Ruddy Hatumena).


Can I Say berkesempatan mengunjungi langsung pameran tersebut dan menyaksikan betapa karya seni buatan anak bangsa jadi magnet tersendiri bagi penikmat seni di benua biru itu.

Pohon Besar. Instalasi buatan Joko Avianto yang tersusun dari beton dan 1500an batang bambu. Dikerjakan selama tiga minggu, pohon artifisial ini adalah kritik terhadap pengurangan pepohonan yang jadi pertanda perubahan alam. Saya sempat kesulitan menemukan lokasi pameran ini, karena keluar dari stasiun kereta yang salah. Hehe. Jika Anda keluar dari pintu yang tepat, maka pohon besar inilah yang menyambut Anda di sisi kanan.

Sunday, November 22, 2015

Mengenal FSTVLST Dari Kedai Buku Jenny


Menuju Kedai Buku
Sebuah koordinat di GPS jadi acuan saya untuk menuju sebuah tempat: Kedai Buku Jenny. Toko buku dan rumah baca itu saya ketahui kala sebuah band asal Jogja bernama FSTVLST merilis album dan rajin berjualan. Saya sendiri hampir beli CD albumnya. Sangat hampir. Hehe.*

Setelah menembus kemacetan kota Makassar sore itu, sekitar 45 menit kemudian saya tiba di lokasi yang dituju. Satu yang di ujung komplek perumahan. Spanduk nama toko meyakinkan bahwa saya tidak salah alamat. Mobil yang saya sewa berhenti dan memekikkan bunyi singkat klakson. Seorang ibu yang memangku anaknya menghambur keluar rumah. Gelagat itu tak lazim tampak di sebuah toko buku. Maka saya memastikan apakah itu benar-benar tempat yang dituju. Rupanya meski di GPS nama lokasinya bertanda lokasi baru, ini tempat lama. Justru yang tanpa keterangan "new store" di peta digital itulah kedai buku sebenarnya. Suami sang ibu kemudian mengatur motornya keluar, dan memandu saya ke lokasi sebenarnya.

Yang Terinspirasi
Pria berjaket kuning itu kemudian memandu saya ke ujung sebuah perumahan lain. Kami pun berkenalan. Namanya Bobhy. Rumah berpagar kami masuki. "Itu Farid yang buat" katanya menunjuk sebuah triplek bergambar di depan rumah itu. Farid yang dimaksud adalah vokalis FSTVLST, band yang jadi mula dari nama kedai buku itu: Jenny.

Sunday, November 8, 2015

Pameran Bebas Tapi Sopan

Meski Jakarta Biennale 2015 baru akan dibuka pada pertengahan november mendatang, acara pemanasannya sudah sedemikian panas. Gelaran yang dihelat di galeri nasional ini padat pengunjung. Tak hanya di akhir pekan, di tengah minggu pun pameran ini tidak sepi. 

Nampak sebagian besar pengunjung memanfaatkan karya para seniman sebagai latar untuk berswafoto. Mural ini dibuat oleh Bujangan Urban

Friday, November 6, 2015

Frankfurt Book Fair 2015: Indonesia Tamu Kehormatan, Lalu Apa?

Festival literasi terbesar di dunia Pekan Raya Buku Frankfurt atau Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman menghadirkan Indonesia sebagai tamu kehormatan. Apa istimewanya?

Sebuah aula seluas 2500 meter persegi, dihias beragam rupa pernak pernik. Lentera terang serupa tiang bergantungan di ruang temaram itu. Sementara titik-titik cahaya juga tersebar di dalamnya. Itulah suasana di dalam paviliun Indonesia, ruang pamer sang tamu kehormatan. Arena pameran buku dan berbagai hal tentang Indonesia itu, adalah hal pertama yang didapat Indonesia kala menyandang gelar tamu kehormatan. Di dalam paviliun itu, arsitek Muhammad Thamrin menampilkan wajah Indonesia melalui desain beragam tema. Ada yang bertajuk  Island of Words, Island of Images, Island of Inquiry, Island of Illumination, Island of Tales, Island of Spices dan Island of Scenes. Melalui area tematik tersebut, para pengunjung akan berkenalan dengan Indonesia. Di Island of Spices misalnya. Sebanyak 71 bumbu makanan khas nusantara, dipajang di atas sebuah meja berbentuk perahu. Pengunjung pun bebas merasakan Indonesia melalui indera penciuman mereka. Seorang wartawan asal Amerika Serikat, Diego Aretz, mengaku dirinya serasa berada di pulau antah berantah setelah mengenal berbagai jenis bumbu itu. Ia paling jatuh cinta dengan aroma cengkeh, dan mengaku makin berkeinginan mengunjungi Indonesia. Pameran bumbu-bumbu tersebut sebenarnya bukan nyawa utama gelaran yang berlangsung lima hari itu. Sejak tanggal 14 hingga 18 Oktober lalu, jual beli lisensi penerbitan buku, adalah komoditas utama.