Pepe Mujica mungkin setara High Noon in Jakarta. Abi Means Papa diluar ekspektasi. Ternyata kental suasana humor.
Sebelum penayangan dimulai, selalu ada petugas yang membacakan tata tertib. Ketika film tandas diputar, jangan buru-buru pergi karena selalu ada pembagian hadiah berdasarkan nomor tiket. Tiketnya akan dibagi sebelum penonton masuk ruangan. Gratis. |
Pepe Mujica
Abraham Lincoln pernah berkata bahwa untuk mengetahui sosok seseorang yang sebenarnya, berilah ia kekuasaan. Berkaca ke sejumlah realitas, dalih itu biasanya menggiring kita bahwa ketika seorang baik diberi kuasa, maka selanjutnya kita kecewa. Rupanya alur berpikir demikian tidak selalu sahih. Setidaknya seperti yang tampak di film berjudul Pepe Mujica, kisah tentang presiden paling miskin sedunia dari Uruguay. Seorang pemberontak di masa lalu, menjabat presiden di kala ini, ketika usianya 80. Sang kakek tua memang jauh dari kesan pemimpin negara yang formal.
Pada suatu hari yang cerah, ia memperlihatkan koleksi mobil VW beetles, mobil yang ia kemudikan sendiri kala senggang. “Soalnya murah. Kalau onderdil-nya rusak, tinggal beli di apotek,” ujarnya bersapu senyum. Di lokasi yang sama, kawasan rumahnya sendiri, dipamerkan pula sebuah traktor, dan Manuela si anjing pincang. Kakinya terkena pacul. Bersama Manuela dan istri Lucia Topolansky, Jose Musica tinggal di sana. Gambar kesederhanaan sang presiden itu digambarkan dengan suara natural yang digelontorkan. Sebuah potongan adegan dibiarkan menggelinding agak panjang, memperkuat suasana tapi juga memancing kantuk.
Jose Mujica atau akrab disapa Pepe, sebetulnya seorang pemberontak. Di masa ketika Uruguay dipimpin diktator dan protes rakyat mekar, dialah salah satu tokoh yang menonjol. Perkenalan Pepe sebagai mantan aktivis ditampilkan melalui video usang yang masih hitam-putih. Cara serupa juga digunakan ketika Pepe mengenang sebuah pusat perbelanjaan. Dulu, di tempat itu Pepe dan kawan seperjuangannya disiksa. “Inilah hebatnya kapitalisme,” kata seseorang yang mendampingi sang presiden.
Dokumenter Pepe Mujica juga membeberkan isi kepala Jose. Dari pandangannya tentang kapitalisme hingga kritik terhadap kaum muda masa kini. Dan semuanya disampaikan melalui penuturan polos yang menggelikan. Kata sebuah kelakar, siklus hidup manusia sebetulnya seperti sebuah lingkaran. Bermula dari seorang anak-anak, tumbuh dewasa, lalu menua lagi sebagai anak-anak. Kita akan tergelak ketika dalam sebuah wawancara ia melengos pergi hanya karena acara radio favoritnya akan segera tayang. Heidi Specogna sang kreator film sepertinya menyadari pola piker tadi, sehingga sanggahan Mujica soal dirinya yang polos itu dikomentari. “Ketika tua, kita bukan dekat dengan masa kanak-kanak, melainkan kematian,” barangkali itulah alasan kenapa presiden ini menghibahkan sebagian besar pendapatannya untuk warga miskin.
Ideologi sosialis memang tersirat kuat dari pribadi Pepe, bahkan ia cenderung antikapitalis. Katanya sistem itu hanya membuat manusia dipacu untuk hidup dalam siklus mengumpulkan uang, lalu menghabiskannya lagi. Para pemuda malah berpikir untuk cepat lulus sekolah dan menjadi pekerja, tanpa memiliki sebuah ideologi politik tertentu. Dan pada akhirnya mereka tidak sadar menjadi borjuis yang tanpa bersalah berpacu hanya untuk keuntungan. Momen mengenang lokasi penyiksaan yang kini jadi pusat perbelanjaan kemudian menjungkirbalikkan tatanan pikiran tadi. Setidaknya demikian yang ditampilkan. Meski saya ragu, pasti bukan cuma itu yang membuatnya “menjual” Uruguay.
Pepe Mujica mengingatkan saya ke film dokumenter lain berjudul High Noon in Jakarta. Film besutan Curtis Levy tahun 2001 itu mengisahkan hari-hari yang dijalani presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam dokumenter itu, Gus Dur juga menampilkan sisi kerakyatan dalam jabatan kepresidenannya: olah raga tiap subuh, berpakaian santai di istana, mengobrol santai bersama keluarga. Bedanya dengan Pepe Mujica, High Noon in Jakarta fokus ke proses pengambilan keputusan terhadap jenderal yang kala itu diduga terlibat pelanggaran HAM di Santa Cruz: Wiranto.
Saking penuhnya ruang pemutaran utama, sisa kelebihan penonton ditransfer ke perpustakaan. Sebelum menyaksikan tiap film, kita akan disajikan cuplikan tiap film yang tayang di Europe On Screen 2016. |
Abi Means Papa
Saya kira film ini akan terasa dramatik suspensif. Pertama, karena berkisah tentang anak adopsi yang mencari ayah biologisnya. Kedua, karena wajah pemeran utamanya mirip penyanyi reggae Ras Muhammad yang liriknya cenderung kritis. Ketiga, saya pernah menyaksikan kisah serupa di program 360 Metro TV*. Kuarter pertama film bergulir, kesan itu memang ada, tapi runtuh seiring kisah keseluruhan dituturkan.
Namanya Armin. Seorang Swiss yang pada usia 19 tahun tanpa sengaja menemukan surat adopsi dirinya sendiri. Kala itu pula ia dipertemukan dengan ibu kandungnya. Delapan tahun kemudian ia merasa hidupnya tidak akan tenang jika belum bersua sang ayah. Maka dimulailah petualangan Armin bersama dua temannya. Karena tidak bisa berbahasa Indonesia, Armin juga ditemani saudara tirinya, seorang remaja perempuan yang diwarisi mata serupa Armin dari ibu mereka. Tawa beberapa kali pecah ketika percakapan bahasa Inggris yang seadanya ditampilkan. Rata-rata orang Indonesia (atau Jakarta dan sekitarnya) memang sepertinya bisa berbahasa Inggris, cuma ya tidak mahir. Dan ketidakmahiran itu yang lucu.
Tidak hanya menampilkan drama perjuangan Armin mencari ayahnya, film ini juga menampilan fenomena sosiologis orang kota di Indonesia. Ketika Armin mencari kontak orang dekat ayahnya, warga sekitar tempat itu berkerumun menonton. Semua hal yang dilakukan di Indonesia juga disebutkan selalu pelan-pelan. Satu lagi, orang Indonesia adalah manusia religious. Dan semua gambaran itu tersaji dalam situasi menggelikan. Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa sebenarnya banyak hal yang lucu dari kehidupan, bahkan dari hidup segetir anak adopsi yang baru bertemu ayahnya di usia 27 tahun. []