Saturday, February 17, 2024

Sejarah Rempah Dan Teori Evolusi Berkelindan di Ternate

 Di Kota Ternate, gunung dan laut saling bertemu. Maka tak heran jika di sore hari, warga setempat dan pelancong memadati tempat publik untuk merasakan sejuk angin laut yang berpadu dengan hangatnya sinar matahari hingga ia tertutup Gamalama.


Pucuk gunung setinggi 1.715 meter itu bisa dilihat dari segala arah, termasuk dari sebuah rumah makan dengan menu utama papeda. Bubur berbahan sagu itu jadi makanan utama di Indonesia Timur, termasuk Ternate.


Saya melengkapi sepiring papeda dengan kuah soru. Ini kuah bening yang dilengkapi terong dan ikan tore (Hemiramphus brasiliensis). Selain kuah soru ada pilihan kuah lain yang lebih pedas, kuah kuning.


Sebagai pelengkap papeda, di antara sekian banyak menu yang tersaji di meja, saya memilih gohu. Sashimi khas Maluku ini terasa segar dengan sensasi aftertaste hangat di tenggorokan.


Rasa demikian berasal dari rempah, hasil pertanian yang membuat Kepulauan Maluku jadi wilayah rebutan bangsa eropa di sekitar abad 16 hingga 18. Jejak penguasaan jalur perdagangan rempah itu terlihat di delapan benteng yang tersebar di sekeliling pulau.


Semua benteng itu kini bisa dikunjungi wisatawan. Saya datang ke benteng Tolukko yang didirikan di abad ke-16. Pada sekitar abad ke-17, bangunan ini menjadi lokasi penting untuk mengendalikan perdagangan rempah di perairan antara pulau Ternate, Tidore, Maitara dan Halmahera.


Benteng lain di Kota Ternate berfungsi sebagai kantor pemerintahan dan museum. Selain kantor Dinas Kebudayaan Kota Ternate, di Benteng Oranje juga ada “Museum Sejarah Ternate” yang menampilkan memorabilia kota di Maluku Utara ini dalam berbagai periode.


Di sana, ada sebuah ruangan yang berisi segala hal tentang Alfred Russel Wallace. Ilmuwan asal Inggris Raya ini tinggal di Ternate selama delapan tahun menjelajahi Nusantara dan mengumpulkan lebih dari 125 ribu spesimen.


Alhasil, Wallace merumuskan sebuah garis imajiner yang memisahkan kelompok hewan Asia dan Australia. Peneliti yang hidup selama 90 tahun ini juga dikenal sebagai sosok penting di balik teori evolusi, selain Charles Darwin.


Pada tahun 1858 Wallace menulis “Letters From Ternate” yang berisi temuannya bahwa makhluk hidup berubah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Setahun setelah itu, Charles Darwin menerbitkan buku “On The Origin of Species”. Gagasan utama dalam buku itu kini dikenal sebagai teori evolusi melalui mekanisme seleksi alam (evolution by means of natural selection).


Saat menuai ide tentang salah satu misteri alam itu, Wallace ditemani seorang Melayu bernama Ali. Usianya 15 tahun saat mulai menemani Wallace selama tiga tahun terakhir masa tinggal sang naturalis di Ternate. Di lorong A. Wallace yang ada di sebuah sudut kota, tergambar mural Ali yang merujuk foto dirinya saat direkam pada Februari 1862 di Singapura–ketika mengantar Wallace pulang ke Inggris dan meninggalkan kepulauan rempah.


Rempah-rempahan (termasuk cengkeh, kayu manis, kemiri, hingga pala) kini tak lagi sebernilai ratusan tahun lalu. Meski begitu, hasil bumi itu tetap menjadi bagian penting dari identitas Ternate dan Kepulauan Maluku.


Sementara, dengan fakta bahwa banyak hal yang bisa dijelajahi dan dipelajari dari pulau ini, tak berlebihan jika saya menarik kesimpulan bahwa Ternate memang kaya. []

No comments:

Post a Comment