Tua dan Tak Bermakna
Tiada yang lebih mengerikan dari menjadi tua, tak relevan, tidak diinginkan. Sialnya, itu yang dialami Inuyashiki.
Di usia paruh baya, ayah dua anak ini dikisahkan payah. Bosnya memarahi karena memang dia menghambat performa tim. Di rumah, komunikasi bersama keluarga kurang lancar. Bahkan si sulung terang-terangan mengaku malu jika temannya tahu siapa sang ayah. Menyedihkan.
Sampai tiba suatu malam, Inuyashiki mengejar anjing telantar yang hendak ia pelihara--meski dilarang istrinya. Di sebuah taman, tiba-tiba cahaya menyilaukan berpendar di langit. Inuyashiki setengah sadar. Dalam samar, dia lihat beberapa siluet sosok merekayasa tubuhnya. Dan dia bukan satu-satunya.
Muda dan Berbahaya
Anak sulung Inuyashiki punya seorang teman sekolah. Dia diperankan Takeru Satoh--karena ada dialah, saya menyaksikan film ini.
Setelah direkayasa, Si Satoh ini ternyata berubah jadi manusia super. Dari punggungnya, sepasang mesin jet bisa keluar dan menerbangkannya serupa pesawat terbang.
Tangannya pun bisa jadi senapan. Cukup arahkan telunjuk ke sasaran, konsentrasi, katakan "dor!", dan matilah semua--burung, botol, manusia. Satoh diberkahi tubuh superior dan menjadikannya mesin pembunuh.
Lain halnya dengan Inuyashiki, yang menguba tubuhnya justru sebagai mesin penyembuh. Dia lalu punya semangat hidup lagi.
Pada akhirnya, si baik dan si jahat, nantinya akan bertemu. Mereka bertarung dalam sebuah duel epik. Katakanlah, setara serunya dengan Iron Man yang gelut dengan Captain America di film Marvel, Civil War.
Baik-Jahat, Soal Pilihan
Bagiku, Inuyashiki menawarkan cara pandang khas superhero bahwa seseorang yang lemah, bisa jadi sebenarnya kuat. Spiderman misalnya, punya kecenderungan itu.
Dalam semesta manusia laba-laba versi Tom Holand, tokoh Flash Thompson si tukang bully, pada akhirnya harus mengakui bahwa korbannya ternyata si superhero--meskipun pada akhirnya dia tetap bisa memanfaatkan ke-spiderman-an Peter Parker (ingat dialog tentang promosi masuk kampus MIT di film "Spider-Man: No Way Home"?).
Di sisi lain, film Inuyashiki juga hadirkan paradigma bahwa seorang berkekuatan--yang sebenarnya semalang si protagonis--pada akhirnya memilih jadi antagonis. Penonton bisa kaitkan bahwa itu barangkali karena keluarga si Satoh di film itu nggak utuh, atau karena tingkat pengendalian emosi di tahap usia remaja, beda dengan psikologis pria paruh baya. Yang jelas, kita jadii mafhum bahwa mungkin, orang baik dan orang jahat bisa lahir dari kondsi yang sama.
Pada akhirnya, tokoh Inuyashiki memilih tetap dikesankan sebagai pecundang. Setidaknya di hadapan si sulung yang tega mengaku tidak bangga--meski anak ini akhirnya tahu bahwa bapaknya punya kekuatan super. Pilihan konsisten juga nampaknya tetap dijalani si rival. []
Kami hadir sebagai agen togel terbaik dengan menyediakan pasaran togel online resmi dari seluruh penjuru dan berasal dari ragam negara di Asia maupun belahan benua lainnya. Banyaknya jumlah dari pasaran togel resmi membuat setiap orang yang daftar togel dan bermain di situs togel ini tidak akan pernah mengalami yang namanya bosan apalagi jenuh, kalian bisa dengan puas berpindah dari satu pasaran togel ke pasaran togel resmi lainnya tanpa adanya batasan akses dari saldo yang ada di akun agen togel toto terbaik Laetoto
ReplyDelete