Sunday, August 9, 2020

Jurnalisme Musik

Sepuluh tahun lalu, profesi ini jadi cita-cita saya: jurnalis musik. Ketika itu, Rolling Stone Indonesia masih ada.  Trax Magazine dan Hai yang legendaris itu juga tetap dicetak. Tiga majalah itu, menurut Idhar Resmadi dalam bukunya Jurnalisme Musik, “memberikan pengaruh sangat penting bagi perkembangan jurnalisme musik di Indonesia setelah reformasi.” Saya berikhtiar untuk bisa menulis di setidaknya satu nama besar itu. Pada akhirnya memang gagal. Saya bikin media sendiri: blog ini.

Keikutsertaan saya menulis musik di blog, bisa dibilang dampak dari berkembangnya media musik di internet, pasca popularitas majalah cetak yang mulai meredup. Dalam buku itu juga, Idhar justru memuji kemunculan blog, webzine, radio streaming dan video sebagai momen “mengembalikan keautentikan penulisan musik oleh orang-orang yang memang antusias dan memiliki renjana (passion) terhadap musik.” Dia menambahkan, penulis musik di webzine biasanya “non-jurnalis”.

 

Kilasan sejarah media musik mengisi bab pertama buku Jurnalisme Musik yang terbit pertama kali tahun 2018. Idhar merunut sejarah perkembangan media musik yang muncul sejak tahun 1940. Ketika itu pemberitaan atau kritik terhadap musik ada dalam majalah Suara NIROM. Nama singkatan itu diambil dari sebutan bagi radio yang populer kala itu: Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschapij.

 

Geliat perkembangan jurnalisme musik memuncak di tahun 1970-an. Ketika itu, Aktuil digdaya. Nama majalah itu sendiri terpengaruh dari majalah asal Belanda, Actueel. Ada beberapa hal fenomenal yang dicatatkan majalah bentukan Denny Sabri—mantan wartawan majalah musik Diskorina yang muncul tahun 1957. Idhar mencatat, pasca Aktuil tutup tahun 1975, “sudah tak ada lagi tulisan-tulisan musik yang kritis terhadap industri atau melakukan propaganda budaya layaknya Aktuil”.

 

Aktuil fenomenal karena pertama, mereka “mampu memberikan opini yang lugas tanpa tedeng aling-aling”.

“Majalah ini pernah merendahkan lagu-lagu Koes Plus meski band itu sangat digemari dan laku di pasaran (Mulyadi, 2009). Aktuil bahkan tak segan menyebut musik pop cengeng atau lagu-lagu easy listening dengan sebutan ‘kue pancongan’, ‘kacang goreng’ atau ‘kuacian’.” (Hal. 13)

Kedua, Aktuil menyulut pertempuran antara penggemar musik rock dan musik dangdut. Nama “dangdut” sendiri awalnya disematkan redaktur Aktuil, Billy Silabumi “untuk menyebut (atau ‘mengejek’) musik melayu yang dianggapnya kacangan”. Dan fakta itu diamini Rhoma Irama. Dalam video wawancara Si Raja Dangdut ketika menghadiri Archipelago Festival tahun 2019, ia paparkan bahwa musik sejenis yang dimainkannya, bernama musik “melayu” atau “orkes melayu”.

 

Ketiga, Aktuil membuat populer kata “belantika”. Kata ini disadur dari Bahasa Sunda “balantik” yang berarti usaha atau dagang. Aktuil memang berkantor di Kota Bandung hingga akhirnya tutup redaksi setelah boncos akibat menggelar konser Deep Purple.

 

Sekarang saya lanjut membaca Bab 02 buku setebal 200-an halaman ini. Setelah sejarah, Idhar mengajak pembaca berkenalan dengan beberapa nama jurnalis musik. Ada pula tabel perbedaan antara “jurnalis umum” dan “jurnalis musik” yang diukur dari berbagai segi. Dalam sesi ini Idhar menjabarkan jurnalisme musik sebagai Perpanjangan Tangan Industri. []

No comments:

Post a Comment