Menuju Kedai Buku
Sebuah koordinat di GPS jadi acuan saya untuk menuju sebuah
tempat: Kedai Buku Jenny. Toko buku dan rumah baca itu saya ketahui kala sebuah
band asal Jogja bernama FSTVLST merilis album dan rajin berjualan. Saya sendiri
hampir beli CD albumnya. Sangat hampir. Hehe.*
Setelah menembus kemacetan kota Makassar sore itu, sekitar
45 menit kemudian saya tiba di lokasi yang dituju. Satu yang di ujung komplek
perumahan. Spanduk nama toko meyakinkan bahwa saya tidak salah alamat. Mobil
yang saya sewa berhenti dan memekikkan bunyi singkat klakson. Seorang ibu yang
memangku anaknya menghambur keluar rumah. Gelagat itu tak lazim tampak di
sebuah toko buku. Maka saya memastikan apakah itu benar-benar tempat yang
dituju. Rupanya meski di GPS nama lokasinya bertanda lokasi baru, ini tempat
lama. Justru yang tanpa keterangan "new store" di peta digital itulah
kedai buku sebenarnya. Suami sang ibu kemudian mengatur motornya keluar, dan
memandu saya ke lokasi sebenarnya.
Yang Terinspirasi
Pria berjaket kuning itu kemudian memandu saya ke ujung
sebuah perumahan lain. Kami pun berkenalan. Namanya Bobhy. Rumah berpagar kami
masuki. "Itu Farid yang buat" katanya menunjuk sebuah triplek
bergambar di depan rumah itu. Farid yang dimaksud adalah vokalis FSTVLST, band
yang jadi mula dari nama kedai buku itu: Jenny.
Koleksi Kedai Buku Jenny (KBJ) tidak selengkap Kineruku.
Katalog penjualan musik dan bukunya pun tak seberada Omuniuum. Tapi sulit
dipungkiri, pengalaman pertama memasukinya, serupa dengan mengunjungi dua toko
buku dan musik di Bandung itu. Bobhy kemudian mengakui bahwa memang dua toko
itulah diantara acuannya membentuk KBJ: mengawinkan buku dan musik. Lalu
bagaimana bisa FSTVLST alias Jenny bisa punya tempat khusus? Bobhy mengajak
saya duduk untuk mendengar pemaparannya.
Pada tahun 2010, Jenny merilis album Manifesto. Di dalam
album itu ada lagu Mahaoke. Lagu itu turut masuk dalam OST film Radit dan Jani.
Bobhy mengenang Mahaoke sebagai sebuah karya yang religius. Ia berkisah tentang
rasa syukur yang menurutnya sangat anak muda. Dari sanalah ia kemudian jatuh
cinta, hingga nama band itu melekat di nama kedai buku yang dikelolanya bersama
seorang teman.**
Kesukaan Bobhy terhadap Jenny, tidak berubah ketika kemudian
band itu bersalin nama menjadi FSTVLST. Pergantian nama dilakukan menyusul
hengkangnya sang drummer dan bassis. Dampaknya, Jenny menjadi asing. “Beberapa teman
bilang albumnya berat”, Bobhy mengawali kisah. Kala Jenny merilis album
Manifesto, masih ada lirik-lirik cinta.*** Tapi ketika Hits Kitsch dirilis saat
Jenny bernama FSTVLST, liriknya memang lebih berat. Meski demikian Bobhy paham
bahwa sumber inspirasi penulisan lirik justru datang dari kehidupan
sehari-hari, tidak seberat itu.
Pengakuan tentang sumber inspirasi ia dapat melalui
percakapan langsung dengan sang penggubah. “Saya lumayan kenal dengan si Farid-nya
yang vokalis itu, jadi kalau ketemuan sangat jarang bicara tentng musik an sich
gitu, pasti terlibat percakapan yang lebih filsafat misalnya”, Bobhy yang menempuh kuliah S2 di Yogyakarta ketika mengenal Farid, melanjutkan kisah dalam logat Makassar yang khas. Kedekatan itu terbukti ketika
lagu Hal-Hal Ini Terjadi, diciptakan khusus untuk ayah dua anak itu. Lirik si lagu
kelima di album Hits Kitsch awalnya adalah tulisan untuk buku yang dibuat Bobhy
bersama istri berjudul Maha Tanpa Huruf Kapital. Si buku yang perwujudan lain
dari sebuah blog adalah hadiah bagi anak mereka yang kala itu berulang tahun ketiga.
Farid menambahkan tulisan sebagai salah seorang pembaca blog
bapakmaha.blogspot.com. Tulisan itulah yang kemudian menjadi lirik Hal-Hal Ini
Terjadi.
Perkenalan saya dengan FSTVLST melalui Bobhy, ditutup dengan
kisah tentang kedatangan kuartet itu ke kota Makassar beberapa hari lalu. Kata
Bobhy, tidak terlalu banyak penonton yang menyaksikan band asal Yogyakarta itu
tampil. Tapi ia meyakini satu hal: “tapi saya tahu benar teman-teman yang
menikmati FSTVLST ini tahu, menikmati lirik, menghayatinya, menjadikannya bahan
perbincangan, menjadikan FSTVLST referensi membicaran hal yang transformatif misalnya”.
Setelah itu, saya menuju rak penjualan CD dan membeli Hits Kitsch versi kemasan
berwarna hitam. [rhezaardiansyah]
* Saya pernah memesan digipack album Hits Kitsch. FSTVLST
hanya menjual karyanya dalam dua wujud: box set dan digipack. Intinya, melalui
dua metode itu, mereka tak hanya menjual music dalam wujud CD, tapi juga nilai
band dalam bentuk lain. Ketika itu pemesanan saya lewat SMS balasannya lama
banget. Akhirnya alokasi uang jajan digipack Hits Kitsch saya belikan ke yang
lain. Eeeeh, ternyata nomor di seberang saya minta konfirmasi apakah jadi beli
atau tidak. Dengan berat hati SMS itu dijawab: saya urung beli digipack maaf.
Hehe.
** Beberapa hari kemudian saya dikabari bahwa Bobhy dan
Aswin Baharuddin diwawancarai dalam rubrik Sosok Koran Kompas hari Jumat, 20 November
2015.
*** Kata “lirik-lirik cinta” saya maknai sebagai lirik yang banal,
bukan berarti lagu “lirik-lirik cinta” kurang bagus.
Suasana bagian depan kedai buku. Meski bernama kedai, tidak ada makanan yang dijual di dalamnya. Gambar di bagian kanan itulah yang diperkenalkan Bobhy sebagai buatan Farid |
Lukisan di bagian dalam ruangan |
Arena CD jualan |
Bobhy mencatat data pembelian CD. "Karena tokonya kecil jadi harus disiplin", ujarnya. |
Tenang sebentar membaca.
ReplyDeleteMembaca jejak-jejak perjalanan karya pemuda Jogja
ReplyDelete